Belum lama ini tim peneliti MIT Auto-ID Lab Report telah mengembangkan alat kecerdasan buatan untuk mendeteksi infeksi COVID-19 pada manusia. Alat ini dikenal dengan sebutan Sigma berbasis teknlogi pengenalan suara. Sigma dapat mendengarkan dan dapat membedakan antara orang sehat dan orang yang terinfeksi COVID-19.
Pada tahap penelitian, tim peneliti memperoleh model data dengan cara crowd sourcing dan memperbarui model data secara sinkron berdasarkan data real-time. Tim peneliti memperkenalkan proyek Sigma pada tanggal 9 april 2020 di situs web https://arxiv.org/pdf/2004.06510.pdf, dengan artikel berjudul “Hi Sigma, do I have the Coronavirus?”: Call for a New Artificial Intelligence Approach to Support Health Care Professionals Dealing With The COVID-19
Penelitian ini masih dalam tahap pengembangan dan perkembangan penelitian diupdate di https://opensigma.mit.edu. Bahkan disitus tersebut semua orang bisa mengakses dan mencobanya. Adapun point penting dari hasil penelitian tersebut adalah :
1. Menggunkan algoritma pengenalan suara yang dapat mengenali batuk pasien yang terinfeksi COVID-19
Jumlah kumulatif pasien COVID-19 secara global yang dikonfirmasi lebih dari 250 juta dan jumlah kematian lebih dari 17 juta. Dalam hal ini, banyak lembaga penelitian telah membuat alat kecerdasan buatan sebagai solusi untuk membantu tenaga medis dalam pengujian COVID-19 atau melakukan pra-skrining.
Namun, tim peneliti MIT Auto-ID Lab Report menemukan bahwa penelitian yang ada menggunakan kumpulan data statis di dilakukan di bawah naungan perusahaan besar yang memiliki batasan tertentu. Kumpulan data statis tidak dapat mencerminkan perkembangan atau perubahan epidemi. Terlebih rencana yang dipimpin oleh perusahaan besar juga dipertanyakan karena risiko privasi.
Tim peneliti Auto-ID Lab Report mencoba memecahkan masalah ini., Akhirnya mereka mendapat inspirasi dari penelitian sebelumnya, Dengan menggunakan kecerdasan buatan untuk analisis prediktif. Studi tersebut membuktikan bahwa model kecerdasan buatan dapat membedakan pasien COVID-19 dengan orang normal menggunakan cara merekam suara batuk. Bahkan rekaman dari ponsel murah pun tidak akan mempengaruhi hasil penilaian.
2. Kecerdasan buatan dapat mengenali perbedaan antara batuk orang sehat dan batuk orang yang terinfeksi COVID-19
Dalam studi lain pada pasien dengan penyakit neurologis, algoritma pengenalan suara juga menilai morbiditas pasien lebih awal daripada ahli manusia ( pasien psikiatri dengan ukuran sampel kurang dari 50 dan pasien gangguan kognitif dengan ukuran sampel kurang dari 1.000 ).
Oleh karena itu, tim peneliti mengusulkan untuk merancang alat pengenalan suara kecerdasan buatan dan melatihnya dengan data real-time yang dikumpulkan dalam skala besar. Setelah beberapa kali mencoba, tim peneliti membuat model pengenalan suara kecerdasan Buatan Sigma.
3. Membedakan antara orang sehat dan orang yang terinfeksi COVID-19.
Model Sigma didasarkan pada jaringan saraf untuk pelatihan. Pertama, peneliti menggunakan database percakapan harian untuk mempelajari berbagai model suara. Kemudian, peneliti menggunakan banyak data yang serupa tetapi berbeda untuk membandingkan model. Proses ini disebut model transfer untuk dapat meningkatkan kemampuan prediksi model.
Pada model transfer tahap pertama, model tersebut mempelajari dan membedakan antara hasil suara batuk dan non-batuk. Para peneliti percaya bahwa tahap ini yang paling penting. Oleh karena itu, mereka membandingkan suara menggunakan SVM, algoritma k-Nearest Neighbours, Random Forest dan Regresi Logistik. Ternyata 4 model yang digunakan ini masih minim Keakuratan dan mereka sedang mencoba untuk menemukan solusi terbaik.
Perbandingan akurasi dari 4 algoritma
Selanjutnya peneliti menggunakan kurang dari 200 sampel data, dengan komponen utama analisis ( Principal the Component Analisis membuat grafik). untuk orang sehat batuk batuk dan pneumonia mahkota baru adalah analisis cluster (Analisis Cluster ), akses keduanya Fitur batuk.
Ciri-ciri batuk pada orang yang terinfeksi COVID-19
Artikel tersebut tidak memberikan nilai akurasi, namun tertulis bahwa setelah transfer learning model Sigma dapat secara aktif membedakan kedua kelompok masyarakat tersebut.
4. Pengembangan model dengan data real-time skala besar
Untuk lebih meningkatkan akurasi model Sigma, peneliti berencana untuk mengumpulkan data real-time dalam jumlah besar di masa mendatang. Tujuannya untuk melakukan pembelajaran dan penelitian yang lebih mendalam. Mereka menekankan: "Jika kami memiliki lebih banyak data klinis dan relawan, kami dapat melakukan lebih banyak.
Selain itu, peneliti meminta lebih banyak pasien COVID-19 untuk mengirimkan rekaman suara melalui website dan media sosial. Artikel tersebut dengan jelas menyatakan persyaratannya sebagai berikut:
1. Konten rekaman bisa berupa batuk "Ommmmmmmmm";
2. Waktu perekaman adalah 12 detik.
Para peneliti mengatakan bahwa jika sumber data real-time yang cukup besar dapat dibuat, model Sigma dapat dikembangkan dengan lebih banyak fungsi.
Untuk pasien yang telah didiagnosis dengan gejala COVID-19 akan disolasi di rumah. Sigma dapat melakukan tes audio longitudinal untuk memberikan saran kepada mereka yang terinfeksi apakah mereka harus dirujuk ke rumah sakit. Sigma juga dapat membedakan pasien yang paling parah terinfeksi COVID-19 dan akan memberikan prioritas kepada mereka untuk mendapatkan perawatan intensif.
Kesimpulan
Sigma model kontribusi kecerdasan buatan dalam kehidupan nyata yang diluncurkan oleh tim riset MIT Auto-ID Lab Report untuk pengecekan infeksi COVID-19 sedini mungkin. Menggunakan model Big Data Rael-time untuk penelitian dan pengujian yang lebih akurat. Sehingga hasilnya dapat membantu dokter dalam membuat keputusan klinis. Rencana ini masih dalam proses dan diharapkan akan mencapai kematangan secepatnya dan berperan dalam memerangi epidemi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H