3. Membedakan antara orang sehat dan orang yang terinfeksi COVID-19.
Model Sigma didasarkan pada jaringan saraf untuk pelatihan. Pertama, peneliti menggunakan database percakapan harian untuk mempelajari berbagai model suara. Kemudian, peneliti menggunakan banyak data yang serupa tetapi berbeda untuk membandingkan model. Proses ini disebut model transfer untuk dapat meningkatkan kemampuan prediksi model.
Pada model transfer tahap pertama, model tersebut mempelajari dan membedakan antara hasil suara batuk dan non-batuk. Para peneliti percaya bahwa tahap ini yang paling penting. Oleh karena itu, mereka membandingkan suara menggunakan SVM, algoritma k-Nearest Neighbours, Random Forest dan Regresi Logistik. Ternyata 4 model yang digunakan ini masih minim Keakuratan dan mereka sedang mencoba untuk menemukan solusi terbaik.
Perbandingan akurasi dari 4 algoritma
Selanjutnya peneliti menggunakan kurang dari 200 sampel data, dengan komponen utama analisis ( Principal the Component Analisis membuat grafik). untuk orang sehat batuk batuk dan pneumonia mahkota baru adalah analisis cluster (Analisis Cluster ), akses keduanya Fitur batuk.
Ciri-ciri batuk pada orang yang terinfeksi COVID-19
Artikel tersebut tidak memberikan nilai akurasi, namun tertulis bahwa setelah transfer learning model Sigma dapat secara aktif membedakan kedua kelompok masyarakat tersebut.
4. Pengembangan model dengan data real-time skala besar
Untuk lebih meningkatkan akurasi model Sigma, peneliti berencana untuk mengumpulkan data real-time dalam jumlah besar di masa mendatang. Tujuannya untuk melakukan pembelajaran dan penelitian yang lebih mendalam. Mereka menekankan: "Jika kami memiliki lebih banyak data klinis dan relawan, kami dapat melakukan lebih banyak.
Selain itu, peneliti meminta lebih banyak pasien COVID-19 untuk mengirimkan rekaman suara melalui website dan media sosial. Artikel tersebut dengan jelas menyatakan persyaratannya sebagai berikut:
1. Konten rekaman bisa berupa batuk "Ommmmmmmmm";