[caption caption="www.paudni.kemdikbud.go.id"][/caption]Persoalan mendasar berkenaan dengan kemiskinan dank ke tidak keberdayaan masyarakat merupakan salah satu ketidak tersentuhan pendidikan. Deklarasi Dakkar berkenaan dengan pendidikan untuk semua (education for all). Semakin menguatkan dan memacu Negara-negara berkembang untuk berbuat dan berusaha menepati komitmennya dalam memberikan bahwa permasalahan di bidang pendidikan baik di Indonesia maupun di kawasan Asia Pasifik lainnya adalah jumlah angka buta aksara yang masih besar.
Sehubungan dengan itu, pertemuan Dakkar di Senegel tahun 2000 (UNESCO) dengan tema “pendidikan untuk semua”, menekankan komitmen atas pokok-pokok tersebut, yaitu sebagai berikut:
1. Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini, terutama bagi anak-anak yang sangat rawat dan kurang beruntung.
Pendidikan merupakan langkah awal yang harus dilakukan sebuah Negara, jika ingin maju di bidang pembangunan ekonomi. Tidak ada Negara yang maju perekonomiannya hanya berdasarkan kekayaan alam. Negara harus berinvestasi pada manusia karena manusia biasa selalu di perbaharui (renewed).
2. Menjamin bahwa menjelang tahun 2015 semua anak, khususnya anak perempuan, anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka yang termasuk minoritas etnik, mempunyai akses dan menyelesaikan pendidikan dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas baik.
3. Menjamin bahwa kebutuhan belajar semua manus muda dan orang dewasa terpenuhi melalui akses yang adil pada program-program belajar dan kecakapan hidup (life skills) yang sesuai.
4. Mencapai perbaikan 50% pada tingkat kenirak saran orang dewasa menjelang tahun 2015, bagi semua orang dewasa.
5. Menghapus disparitas gender dalam pendidikan dasar dan menengah menjelang tahun 2005 dan mencapai persamaan gender dalam pendidikan menjelang tahun 2015 dengan suatu focus jaminan bagi perempuan atas akses penuh dan sama pada prestasi dalam pendidikan dasar dengan kualitas yang baik.
6. Memperbaiki semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin keunggulannya, sehingga hasil-hasil belajar yang diakui dan terukur dapat diraih oleh semua, terutama dalam keaksaraan, angka dan kecakapan hidup (lifes skills) yang penting.
Upaya yang dilakukan untuk menangani persoalan pendidikan khususnya (illiteracy) atau buta aksara adalah di selenggarakannya program pendidikan keaksaraan fungsional (KF). Program ini dianggap strategis dan harus menjadi gerakan nasional yang perlu dikampanyekan secara menyeluruh dengan beberapa alasan aktual, yaitu:
1. Merupakan salah satu unsur utama yang mempengaruhi indeks pembangunan manusia
2. Masih ada kelompok masyarakat yang buta aksara,
3. Adanya kelompok masyarakat yang telah melek huruf namun menjadi buta huruf kembali, dan
4. Kemelekan hurufan merupakan dasar pengetahuan bagi setiap individu.
Undang-undang Sisdiknas Republik Indonesia Tahun 2003 Pasal 26 menegaskan peran pendidikan non formal bagi pendukung pelaksanaan pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan sepanjang hayat, merupakan suatu sistem baru yang berbeda dengan sistem pendidikan yang sekarang sedang berjalan. Dalam pendidikan sepanjang hayat peran-peran baru dan kelembagaan di kembanigkan agar dapat menjangkau layanan pendidikan yang lebih luas. Dalam system pendidikan sepanjang hayat, semua aktivitas pendidikan yang terkotak-kotak dan terpisah (seperti: kejuruan dan umum, formal dan informal, sekolah dan luar sekolah, kebudayaan dan pendidikan, dll.), diupayakan uni-education atau self directed learning).
Aktivitas belajar yang dilakukan secara terorganisasi oleh diri sendiri dengan tujuan bagi pengembangan diri perlu memperoleh penghargaan sebagai bagian dari kegiatan pendidikan. Apalagi saat ini berkembang ungkapan bahwa hampir seluruh aktivitas dalam kehidupan dapat dipandang sebagai bagian dari belajar sepanjang hayat.
Apa yang penting dalam sistem pendidikan sepanjang hayat adalah adanya kemauan untuk terus menerus belajar dalam diri setiap individu masyarakat, kemauan untuk mengembangkan diri berkelanjutan (continuing self development). Persoalanya adalah sudah siapkah individu dan masyarakat dengan budaya belajar yaitu sikap dan perilaku menyenangi dan menghargai aktivitas belajar bagi pengembangan dirinya. Apakah layanan pendidikan sekarang ini baik formal, nonformal, dan informal sudah dapat membentuk suatu nilai sikap dan perilaku yang menyenangi kegiatan belajar dalam diri individu dan masyarakat.
Dalam Rencana Membangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004-2009 dan Rencana Strategis Pendidikan Nasional tahun 2005-2009 serta dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2006 ditegaskan bahwa akhir tahun 2009, angka buta huruf usia 15 tahun keatas tersisa 5% atau 7,7 juta orang. Sementara itu, sampai akhir tahun 2008 menunjukkan bahwa penduduk buta huruf 9,76 juta orang atau setara dengan 7,51% populasi (www.diknas.depdiknas.co.id).
Ada beberapa alasan mengapa mereka buta huruf, antara lain disebabkan: 1. Tidak sekolah sejak awal (karena alas an georafis dan ekonomi), 2. Drop out sekolah dasar (SD Kelas 1-3), 3. Keterbatasan kemampuan pemerintah pusat dan daerah dalam memberikan pelayanan kepada kelompok marginal, 4. Buta huruf kembali, karena tidak diaplikasikannya hasil pendidikan keaksaraan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mencapai hal ini Direktorat Pendidikan Masyarakat melaksanakan program pemberantasan buta aksara yang sejalan dengan prakarsa keaksaraan untuk pemberdayaan.
Sesuai dengan amanat UU No. 20 Tahun 2003 tentang system Pendidikan Nasional pasal 26 ayat 3 dinyatakan bahwa: “Pendidikan non formal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan, pendidikan non formal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesataraan serta pendidikan lain yang ditujukkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik untuk mengenyam pendidikan”.
Gerakan pemberantasan buta aksara merupakan salah satu program untuk menuntaskan penduduk yang masih buta aksara, mereka dituntut untuk bisa menulis, membaca dan menghitung dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai realisa untuk menuntaskan penduduk yang belum melek aksara terdapat strategi baru dalam pembelajaran pendidikan keaksaraan,yaitu pendidikan keaksaraan keluarga bagi masyarakat.
Upaya pendampingan dalam proses pembelajaran pendidikan keaksaraan keluarga adalah anggota keluarga yang mempunyai kemampuan membaca, menulis, berhitung dan paling utama mempunyai kesabaran yang tinggi untuk mendampingi warga untuk belajar. Dengan teknik pendampingan dalam keluarga, proses pembelajaran pendidikan keaksaraan akan lebih efektif dan efisien dalm percepatan pemberantasan buta aksara di Indonesia yang tercinta ini.
Melihat masyarakat masih banyak yang buta aksara sehingga tidak bisa menulis, membaca, dan berhitung. Mengapa saya ingin untuk memberantaskan buta aksara supaya meningkatkan masyarakat untuk menuju masyarakat yang sejahtera, kemudian tidak ada lagi yang buta aksara, untuk melakukan pemberantasan buta aksara supaya Negara Indonesia ini bisa berkembang dan untuk bersaing dengan Negara-negara lain. Sehingga pemerintah mampu untuk mengimlementasikan kebijakan sekolah gratis bagi anak usia dini dan orang dewasa sehingga mampu untuk berekolah, mampu untuk memberantaskan buta aksara, sehingga tidak ada lagi orang yang buta aksara di Indonesia tercinta ini.
DAFTAR PUSTAKA
· Admuddipura, E dan Atmaja,SB. (1986). Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta : Karunika
· Arixs. (2006). Enam Penyebab Rendahnya Minat Baca. Sumber: http://www.cybertokoh.com/mod, yang diakses selama tahun 2008.
· Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Acuan Penyelenggaraan Program Pendidikan keaksaraan: Direktorat Pendidikan Luar Sekolah, Direktorat Pendidikan Masyarakat.
· Faisal, S. (2006). Paradigma Baru Pendidikan Keaksaraan, Tawaran Bagi Pengembangan Program Keaksaraan di Indonesia. Jakarta: Dirjen PLS, Depdiknas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H