Tak hanya Perempuan bernama Emah Kastimah dalam hal ini pun terdapat perempuan-perempuan lain yang juga menjadi korban dari kekejaman tentara Jepang seorang perempuan tersebut menceritakan kisah kelamnya juga dan beliau masih ingat betul akan kejadian yang dialaminya walaupun usian beliau sudah tak lagi dikatakan muda, padahal usia beliau pada saat kejadian berkisar antara 13 tahunan namun kini sudah berkisar 70-80 tahun seorang perempuan tersebut bernama Mbah Sarmu beliau menceritakan demikian:Â
Saya Ketika mengasuh, ayah saya pergi kesawah, ibu saya juga pergi ke sawah, Cuma sendiri mengasuh adik-adik saya...ada jepang datang kemudian menculik saya, Seumpamanya Berbicara Bahasa jawa itu 'Ayo saya ajak kerja nanti kalau sudah kerja enak ikut saya naik delman karena waktu itu saya masih kecil, saya tidak pernah naik apa-apa.
Saya ikut, saya langsung datang sebentar ke tempat itu, Saya diajak lalu pergi datang ke tempat Jepang itu" (Tempat tersebut semacam tempat berkumpulnya para perempuan atau dalam masa kini dapat dikatakan semacam Hotel atau tempat penginapan). : "Memang benar, saya diajak oleh Jepang, Tapi saya bisa, melaksanakan niat saya sendiri untuk kabur, kalau malam tidak bisa keluar karena takut suaranya tembakan itu, Cuma dibelakang dan disekitar rumah, kalau keluar rumah Cuma sama dokter itu,.
Siapa yang mau memberi semua yang kerja disana tidak ada yang diberi uang...". semua kenangan dan ingatan para mantan-mantan Jugun Ianfu ini masih ingat betul dan terpateri di dalam benak mereka, batin mereka sangat ingin sekali berteriak untuk menolak tetapi setiap ancaman dan tekanan yang didapatkan memang sepertinya hal yang sulit bagi mereka yang merasakannya, seperti dalam penjelasan diatas Jepang Menghegemoni Indonesia secara langsung. "...Harapan saya kepada pemerintah Jepang supaya meminta maaf kepada saya sebab saya telah dirusak dan bagaimana keadaan saya sudah begini tua", salah satu keterangan dari para mantan Jugun Ianfu dalam Konverensi di Tokyo yang menuntut ganti rugi kepada Pemerintahan Jepang.
Nursyahbani Katjasungkana, SH., selaku koordinator LBH APIK Indonesia mengatakan ada upaya yang dapat diselesaikan dalam contoh kasus ini dalam uraian yang beliau jelaskan demikian pemaparannya "Ada markas-markas tantara Jepang seperti misalnya di Balikpapan, di Banjarmasin, di Malaysia, di Timor-Timur, di Pulau Buru bahkan juga sampai ke Malaysia ataupun Taiwan sendiri nah itu sebenernya berlaku juga di negara-negara jajahan Jepang waktu itu seperti misalnya Filiphina, Korea baik itu Korea Selatan Maupun Korea Utara kemudian China dan juga terdapat dokumen dimana orang-orang atau  perempuan-perempuan Jepang sendiri dikirim ke markas-markas itu untuk memenuhi kebutuhan seksual daripada tantara Jepang itu,Â
ya saya mengetahui tentang Jugun Ianfu untuk pertama kali ya itu tahun 1992 ketika Japanise Ball Association itu menulis surat kepada Persatuan Advokat Indonesia, untuk meminta data-data tentang Jugun Ianfu di Indonesia, Tokyo Tribunal tentu saja bukan Tribunal yang beneran, Apa  ya Legaly buyling tapi itu adalah keadilan rakyat sebagai satu cara kita menganalisis dan apa mengumpulkan data-data yang secara hukum bisa dipertanggung jawabkan, di awal-awal itu bukan saya yang ikut di dalam persiapan Tokyo Tribunal itu, melainkan Ita Nadya dari Kayananitra saya juga meminta apa teman-teman di LBH Jakarta atau LBH Yogya saja yang ikut, itu semua panitianya datang ke Indonesia mengumpulkan 17 Organisasi waktu itu untuk mendiskusikan itu dan akhirnya rapat itu menunjuk tetap saya yang untuk me-leading proses Tokyo Tribunal itu nah itulah saya ambil tugas itu sejak bulan April tahun.Â
'Selamat Pagi yang mulia, Saya Nursyahbani Katjasungkana, tim dari advokat Indonesia, pada kesempatan kali ini, saya dan tim Jaksa dari Indonesia : Antarini Arna, Asni Damanik, mewakili Ibu-ibu Survivor korban praktek perbudakan "Seksual" yang dilakukan oleh pemerintahan militer Jepang di Indonesia selama kurun waktu seperti tercantum dalam gugatan kami ini', (Dalam Pidatonya di Tokyo Tribunal semacam sidang pengadilan dengan terdakwa Pemerintahan Jepang pada kala itu untuk menuntut ganti rugi, permohonan maaf dan Kompensasi kepada Korban eks Jugun Ianfu),Â
Sapu Lete Yang terus menerus datang di konferensi-konferensi yang diadakan oleh, kita kan ada semacam networknya ya untuk Jugun Ianfu itu nah itu dia datang nah itu yang saya panggil nah dia yang mengikuti terus sebetulnya saya juga memanggil Nata Serena kemudian saya mengikutsertakan Asni Fianti dari LBH APIK 'Apakah pada saat itu ibu tidak bisa menolak atau  apakah jika Ibu menolak Ibu akan mendapat suatu pengakuan dari Chikada...?',Â
Pemrakarsanya adalah seorang mantan wartawan asal Hisimbun bernama Yayori Matsui memang dia sangat progresif memperjuangkan kaum perempuan di Asia, yang kemudian mengundang teman-teman lain seperti misalnya Haisusen yang sudah lama memperjuangkan Jugun Ianfu di Korea Selatan,Â
kemudian dari Filiphina ada beberapa Lawyers yang diundang dan semua perwakilan dari Tim, 'Tentara kekaisaran Jepang mengontrol Jawa dan Sumatera AL Jepang menguasai Kalimantan dan bagian timur Indonesia, Â sebagai symbolnya waktu pembacaan keputusan itu ada di Den Haag, Karena Den Haag kan kota ini tempat perjanjian dunia diadakan dan disana ada pengadilan-pengadilan Internasional, semuanya di Den Haag , di Jepang itu semua perwakilan negara-negara itu membacakan surat dakwaaan di Hall Besar seperti ini pengadilan gitu kemudian hakimnya bertanya korbannya didatangkan, kemudian ada saksi ahli dan lain sebagainya,Â