Mohon tunggu...
Ahmad Septian Said
Ahmad Septian Said Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA Negeri 90 Jakarta

Menyukai buku-buku fiksi dan topik pendidikan, sesekali menulis opini atau cerpen.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kado Terbaik Hari Guru adalah Kebijakan yang Memihak

25 November 2024   06:00 Diperbarui: 25 November 2024   07:38 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap tanggal 25 November, para guru di Indonesia didapuk sebagai orang paling terhormat bahkan diposisikan bak pahlawan. Hari itu diperingati sebagai bentuk rasa terimakasih atas perjuangan serta dedikasi para guru di berbagai wilayah di Indonesia. Banyak instansi mulai dari unsur pemerintah maupun swasta akan memberikan ucapan selamat, menyusun acara peringatan bahkan upacara atau membuat lomba-lomba.

Berbagai macam seremoni digelar, dengan maksud mengangkat harkat dan martabat profesi guru yang tidak lain adalah penghantar kemajuan suatu bangsa. Namun, apakah benar begitu adanya? Pertanyaan itu adalah bentuk kritik atas realitas yang terjadi pada sebagian guru di wilayah-wilayah terluar Indonesia.

Perjalanan Panjang Guru Daerah

Project Multatuli baru saja merilis sebuah reportase dari Kepulauan Mentawai, salah seorang guru di pulau Siberut harus berhadapan dengan kondisi yang dilematis. Aloy seorang guru di Kecamatan Siberut Selatan harus menempun jarak selama 3-4 jam perjalanan dengan kapal untuk memenuhi syarat administrasi kenaikan pangkat atau mengurus sertifikasi. Tak hanya itu, biaya yang harus ia keluarkan untuk melakukan perjalanan pulang pergi ke pusat kecamatan Madobag minimal sebesar 2 juta rupiah. Kepergiannya dari sekolah untuk mengurus administrasi berarti meninggalkan kelas beserta siswa yang harus belajar, sementara kebutuhan ekonomi merupakan hal yang harus ia perjuangkan.

Di Siberut Barat bahkan lebih pelik, Fahri bisa menghabiskan waktu 1-2 minggu perjalanan untuk mengurus administrasi. Belum lagi, keterbatasan akses internet sering membuatnya terlambat dalam mendapatkan informasi, hal itu berakibat pada tertundanya pengurusan kenaikan pangkat. Ketersediaan internet yang belum baik ini juga dirasakan oleh para guru di daerah Bataet, mereka harus membeli voucher dari penginapan sekitar yang memasang Starlink untuk bisa mengakses berbagai kebutuhan dari internet.

Sialnya, salah satu syarat bagi para guru agar dapat mengurus kenaikan pangkat adalah sertifikat pelatihan yang disediakan pemerintah melalui aplikasi Platform Merdeka Mengajar (PMM). Di tengah kondisi jaringan yang tidak tersedia dengan baik itu, dapat kita bayangkan betapa nestapanya para guru di Mentawai dalam memperjuangkan hak profesinya.

Kita beralih sejenak ke Kabupaten Sukabumi, daerah yang jaraknya hanya sekitar 100 km dari Jakarta. Alvi seorang guru berusia 57 tahun harus menerima kenyataan pahit, gaji yang ia terima per bulan hanya sebesar 120 ribu rupiah. Namun, tekadnya untuk mendidik anak-anak tak membuatnya surut, ia mengajar di beberapa sekolah sebagai guru mata pelajaran IPS dan Sejarah, sehingga insentifnya bertambah menjadi sebesar 1,5 juta rupiah per bulan. Namun, seringkali penghasilannya tersebut habis hanya untuk biaya transportasi. Sehingga, Alvi mau tak mau mencari pekerjaan sampingan sebagai pemulung barang bekas yang dari hasil memulung itulah baru dapat ia rasakan bersama keluarganya.

Problematika Sistemik 

Sejak pemerintah memperkenalkan berbagai program-program unggulannya, seperti Guru Penggerak, Sekolah Penggerak dan berbagai hal serupa, harapan akan perbaikan kompetensi guru mulai terbuka. Para guru yang mengikuti program tersebut diberikan fasilitas pelatihan yang praktis, bimbingan teknis bahkan akomodasi untuk melakukan seminar hasil.

Dari gegap gempita program-program yang telah disuguhkan itu, belum ada yang mampu menyentuh persoalan mendasar dari pendidikan kita hari ini, ketersediaan fasilitas bagi guru di berbagai wilayah 3T. Problem ini semakin menunjukkan fenomena gunung es, yang nampak baik namun menyembunyikan kekalutan.

Realitas yang diterima oleh para guru di banyak daerah tertinggal adalah problem yang tidak pernah terselesaikan. Bukan tidak mungkin, persoalan ini dapat berakibat pada hasil pendidikan itu sendiri. Beban berat yang dipikul oleh guru seringkali tak sebanding dengan penghidupan yang mereka terima. Tuntutan sebagai pendidik untuk mencerdaskan putra-putri Indonesia juga sering tak dinilai sebagai perjuangan panjang menciptakan masyarakat yang maju.

Upaya pemerataan fasilitas sangat dibutuhkan bagi para guru selain dari pemerataan kesejahteraan guru yang tentu harus menjadi program prioritas. Karena, dengan meratanya akses fasilitas, kemungkinan meningkatnya kualitas pendidikan dapat dirasakan secara signifikan. Tanggung jawab ini tentu tidak hanya dibebankan pada pemerintah pusat, sebab tata kelola guru juga merupakan tanggung jawab pemerintah daerah sesuai Undang-Undang Otonomi Daerah.

Perlunya Komitmen 

Hasil baik dari pendidikan adalah konsekuensi atas komitmen pemerintah dalam memperhatikan kondisi kesejahteraan para guru. Sebab, pendidikan tak bisa dipandang dikotomis, guru adalah garda terdepan dalam mentransformasi putra-putri bangsa. Perlu adanya kerjasama dari berbagai pihak untuk memberikan kesempatan dan penghidupan yang setara bagi para guru agar dapat dengan baik meningkatkan mutu pembelajaran.

Selain itu, perbaikan atas pemerataan kesejahteraan guru mesti dilakukan, karena dengan begitu pemerintah dapat menghilangkan stigma masyarakat bahwa profesi guru di daerah merupakan profesi dengan penghasilan rendah. Sebab jika hal ini dibiarkan, maka ketertarikan masyarakat untuk menjadi guru kian berkurang sehingga akan menimbulkan ketimpangan ketersediaan guru antara satu daerah dengan daerah lain.

Lebih lagi, Keterbatasan fasilitas pendidikan seperti alat dan bahan ajar, laboratorium, perpustakaan bahkan bangunan sekolah yang layak juga mesti jadi fokus utama pemerintah di daerah 3T. Ketidakmerataan fasilitas pendidikan di daerah 3T akan menghambat pengalaman belajar siswa. Bahkan motivasi belajar siswa dapat terpengaruh dengan ketersediaan fasilitas belajar yang kurang baik. (Luthfia, Wahiddiyah, Safitri, & Sujarwo, 2023)

Tak kalah penting adalah memperhatikan keterjangkauan pelatihan-pelatihan guru untuk mengoperasionalisasi alat dan bahan ajar tersebut. Pemerintah perlu memperluas perhatiannya pada daerah-daerah tertinggal, agar pembangunan pendidikan tidak hanya terjadi di wilayah-wilayah perkotaan. Peningkatan kompetensi dan kemampuan guru adalah satu di antara banyak cara membangun pendidikan di wilayah tertinggal.

Refleksi Hari Guru

Guru dan pendidikan adalah dua hal yang tidak dapat terpisah. Kendati para guru di daerah merasakan adanya ketimpangan terutama pada kesejahteraan dan fasilitas pendidikan. Akan tetapi hal itu tidak serta merta menjadikannya abai pada pendidikan, penghasilan dan kesempatan mereka memang kecil tetapi harapan untuk pendidikan anak-anak Indonesia jauh lebih besar. Itulah sebabnya Pak Alvi masih memilih menjadi guru di tengah penghasilan yang belum layak.

Mereka tidak memilih pada tanggal 25 November saja mereka mengajar, atau di hari-hari ketika usaha dan perjuangannya dipandang mulia. Tetapi, mungkin setiap hari adalah hari mengajar bagi para guru itu. Pikiran dan hatinya tertuju pada bagaimana caranya mengajar siswa-siswi, apa yang harus ia persiapkan untuk pembelajaran esok. Tentu bukanlah perkara mudah menjadi mereka, beban berat yang ditanggung itu tak sebanding dengan keterbatasan yang dimiliki.

Perhatian pemerintah pada kebijakan yang berpihak pada para guru yang marjinal adalah harapan untuk peningkatan mutu pendidikan di seluruh wilayah Indonesia. Lebih jauh, hal itu adalah kado terbaik bagi para guru yang sudah berjuang mengabdikan hidupnya untuk pendidikan.

Sepertinya, memperhatikan kondisi para guru di daerah tertinggal dan nasib guru honorer merupakan perayaan terbaik dalam momentum hari guru, jika dibandingkan dengan ucapan selamat, kegiatan-kegiatan seremonial atau bahkan pujian-pujian semu, karena sejatinya setiap hari adalah hari guru.

PUSTAKA ACUAN :

Luthfia, A. N., Wahiddiyah, N. P., Safitri, D., & Sujarwo. (2023). Analisis Problematika Pendidikan Indonesia Di Wilayah 3T. GURUKU: Jurnal Pendidikan dan Sosial Humaniora, 40.

Baittri H. J. (2024) Beban Guru di Mentawai: Kantong Dikuras Urusan Administrasi, Sulit Sertifikasi. https://projectmultatuli.org/beban-guru-di-mentawai-kantong-dikuras-urusan-administrasi-sulit-sertifikasi/

https://www.tempo.co/politik/kisah-guru-honorer-di-sukabumi-menyambi-jadi-pemulung-untuk-menyambung-hidup-44760

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun