Senin, 11 Juli 2022
Hari ini adalah hari pertamaku masuk sekolah semenjak libur mulai tanggal 26 Juni 2022 lalu. Sebelum masuk sekolah sudah terbayang dengan berbagai kondisi sekolahku yang jauh dari keramaian. Selain itu, dalam benakku murid-muridku tersayang pastilah yang masuk dapat dihitung dengan beberapa kejap mata.Â
Maklum saja sekolahku terletak di sebuah dusun yang lumayan terpencil dan berpenduduk sedikit. Jumlah penduduk satu dusun itu kalau dibandingkan dengan jumlah penduduk satu RT di dusunku, masih banyakan penduduk di RT ku. Sehingga bisa dibayangkan berapa jumlah siswaku secara keseluruhan di sekolahku.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit, saya pun tiba di sekolah. Alhamdulillah seorang guru rupanya sudah terlebih dahulu tiba di sekolah. Begitu saya memandang sekolahku, hatiku terasa bersedih sekali.
Sekolahku begitu sunyi, tidak ada teriakan keras maupun siswa yang disibukkan dengan berbagai kegiatan dan permainan. Apalagi berbelanja.Â
Bukannya siswaku malas masuk sekolah di hari pertama. Tapi, memang sekolahku yang memiliki siswa yang sangat sedikit. Mungkin kalau dibandingkan dengan sekolah lain, keenam kelas di sekolahku mungkin sama dengan satu kelas di sekolah lain.
Berdiam sejenak di motor untuk mengatur napas setelah itu, saya pun turun dan segera menuju ruang guru sekaligus ruang kepala sekolah. Begitu sampai di teras sekolah, tampak seorang anak perempuan duduk di bok pada teras sekolahku. Aku mencoba menyapanya, dengan malu-malu dia menjawab.Â
Maklum saja anak itu masih sangat kecil. Dalam bathinku, beginilah nasib bertugas di sekolah terpencil dan sedikit murid. Perasaan sedih segera kuhilangkan atau buang jauh-jauh. Segera kubuka pintu ruang guru. Tampak beberapa helai kertas saat kenaikan kelas dua minggu lalu berserakan di sekitar meja guru.Â
yang pertama kali kucari adalah sapu bulu atau kemoceng. Setelah menemukannya, kubersihkan meja dan kursi tempatku duduk. Dalam hatiku terbersit rasa "Beginilah sehari-hari yang akan kutemui selama aku bertugas di sini."Â
Setiap datang ke sekolah bukannya duduk dan mengatur napas membuang rasa lelah setelah berkendara dari rumah naik ke tempat tugas. Setiap datang ke sekolah, maka sapu bulu dan sapu lantai akan menjadi tujuan ketika baru sampai. Entah aku maupun teman yang lain yang duluan datang, maka menyapu ruang kantor adalah keniscayaan.Â
Setelah ruang guru dan kepala sekolah aku sapu bersama rekan guru yang lain, yang aku lakuikan pada hari pertama adalah membersihkan sekitar halaman sekolah.Â
Sekitar dua belas orang anak yang masuk pada hari pertama, kuajak mereka untuk bersama-sama membersihkan halaman sekolah. Ranting-ranting kayu yang tidak teratur di depan halaman sekolah aku tebang bersama guru dan siswaku. Setelah banyak  ranting yang potong bersama siswa di buang di tempat yang sudah disediakan. Setelah itu dibakar.Â
Hatiku merasa terhibur dengan melakukan aktivitas membersihka lingkungan sekolah bersama siswa. Tampak halaman menjadi agak bersih. Namun, sayang sekali setelah memandang ke segala arah di halaman sekolahku terdapat patok-patok tempat mengikat sapi. Selain ada patok, kotoran sapipun berserakan di sana sini.Â
Beginilah nasib sekolahku. Setiap hari kala sekolah tutup dijadikan sebagai tempat mengembalakan sapi. Apa yang harus kuperbuat karena selama ini, penduduk di sekitar sekolah memang agak cuek terhadap keberadan dan keselamatan sekolah.Â
Selama membersihkan halaman sekolah, walaupun hanya beberapa orang siswa mereka tetap semangat untuk bekerja. Hatiku kembali merasa terhibur. Dalam suasana yang sepi terdapat kenyamanan sebagai imbal baliknya. Namun, namanya manusia menemukan sekolah yang normal adalah sebuah impian.
Setelah beberapa lama ngobrol dengan guru lain, tiba-tiba datang seorang perempuan paruh baya membawa seorang anak perempuan untuk didaftarkan di sekolahku.Â
Ada perasaan senang sejenak. Namun, rasa senang itu tiba-tiba hilang entah ke mana bak ditelan bumi. Betapa tidak menghilang, anak perempuan calon siswa baru itu ternyata ada masalah besar dengan identitas dirinya.Â
Dia tidak bergantung pada satu KK pun. Selama ini dia tinggal bersama bapak tirinya jauh dari rumahnya. saya merasa kasihan melihat anak itu. Â Bagaimana caranya agaar bisa masuk sekolah seperti teman-temannya yang lain. Ada perasaan merasa kasihan.Â
Anak seumur itu harus sekolah dan bersosialisasi dengan teman sebaya di sekolah. Apa yang harus aku lakukan? Seelah menanyakan KK neneknya, ternyata neneknya juga bermasalah dengan KKnya, berhubungan dengan bapaknya juga jauh dan belum tentu memasukkan anaknya di KK. Begitu juga mau menghubungi ibunya, jelas-jelas ibunya tidak dikasih bawa anaknya oleh suami barunya.Â
Keegoan orang tua membuat anak menjadi korbannya, kini calon siswa tersebut masih kupikirkan bagaimana ke depannya. Karena tanpa KK dan Akte lahir pastilah akan menemukan kesulitan dalam memasukkan data di dapodik. Semoga saja ada jalan keluar yang menguntungkan bagi siswa yang bersangkutan. Aamiin.
Setelah beberapa lama mengobrol dengan nenek calon peserta didik baru itu, aku melanjutkan bergotong royong bersama siswa dan guru lain.Â
Setelah selesai gotong royong, aku mengajak rekan guru untuk segera duduk bersama sambil membahasa keadaan yang sedang terjadi di sekolah. Banyak hal terkait dengan awal tahun pelajaran. Setelah menjelang siang, aku dan rekan-rekan guru lain termasuk siswa segera berbenah-benah untuk pulang dan kebetulan juga di luar sana sedang mendung.
Demikian pengalaman hari pertamaku masuk sekolah.Â
Wasslam
Salam Literasi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H