Kisah Perjalanan Pulang dari Sleman-Yogyakarta-Surabaya
Sabtu malam tanggal 11 Desember 2021, saya dan rekan-rekan CGP dari Kecamatan Lembar menyempatkan diri untuk berwisata di Malioboro dan Candi Borobudur. Sekitar pukul 14.30 WIB, saya dan rekan-rekan menyudahi menikmati megahnya Candi Borobudur. Saya dan rekan-rekan harus segera balik ke tempat penginapan di Sleman karena sehabis sholat maghrib nantinya, saya dan rekan-rekan harus sudah berada di Stasiun Tugu yang merupakan salah satu stasiun kereta api di Yogyakarta. Setelah semua berkumpul saya dan rekan-rekan segera ke mobil masing-masing. Saya dan rekan-rekan segera naik, mobilpun segera berangkat. Sang sopir membawa mobil dengan kecepatan yang lumayan tinggi maklum saat itu waktu harus dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Setelah kurang lebih dua jam perjalanannya, saya dan rombongan tiba di rumah tempat kami menginap yang ada di Sleman. Kami tiba sekitar pukul 16.30 WIB. Waktu saat itu sangat terasa singkat sekali. Begitu sampai di rumah penginapan, tanpa menunggu waktu, saya dan rekan-rekan yang lain segera sholat Ashar. Selesai sholat, saya langsung berkemas-kemas untuk persiapan pulang ke Lombok. Semua barang-barang saya cek satu persatu dan memastikan tidak ada yang tertinggal. Setelah semua barang masuk ke dalam tas, perasaanku terasa lega dan bahagia sekali. Begitu saatnya berangkat, barang tinggal diangkut saja.
Sebelum saya dan rekan-rekan pulang ternyata sang tuan rumah sudah menyiapkan makan malam. Beliau segera mempersilakan kami semua untuk makan. Tanpa pikir panjang karena terdesak dengan waktu, saya dan rekan-rekan segera makan. Tak beberapa lama selesai makan, waktu maghrib pun tiba. Saya segera mengambil air wudlu' begitu juga dengan teman-teman yang lain. Saya dan teman-teman sholat maghrib secara berjamaah namun tidak ke masjid, tetapi sholat di rumah saja karena keburu dengan waktu.
Selesai sholat maghrib, saya dan rekan-rekan tanpa menunggu lama lagi langsung berpamitan kepada seisi rumah. Saat itu saya dan yang lain mengucapkan terima kasih atas segala jamuan yang diberikan. Saya segera mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Seakan ada perasaan sedih meninggalkan tempat itu walaupun menginap hanya semalam sehari. Terlebih lagi dengan rekan saya Suhirno. Beliau adalah anak kandung dari ibu yang punya rumah tempat saya menginap. Ketika Suhirno berpamitan dengan seluruh keluarganya, tampak rasa sedih di raut wajah mereka masing-masing. Yang paling menyedihkan lagi melihat Suhirno bersujud dan mencium kaki ibundanya tersayang. Dalam hatiku ada perasaan yang sulit untuk diungkapkan.
Acara perpisahan dan permohonan ijin berangkat pulang pun selesai. Kami semua mengucapkan salam perpisahan dan segera mengambil tas bawaan masing-masing untuk dimasukkan ke mobil. Setelah semua barang bawaan masuk mobil, saya dan rekan-rekan segera masuk. Sebelum pintu ditutup, sekali lagi saya melambaikan tangan dan mengucapkan salam terhadap keluarga Suhirno. Mobil pun perlahan-lahan bergerak meninggalkan kampung halaman Suhirno sang calon guru penggerak.
Dalam perjalanan menuju stasiun saya dan rekan-rekan kembali bersenda gurau. Terkadang mereka suka mengerjain saya maupun rekan yang lain. Itu sudah biasa dalam pergaulan kami. Dalam anganku sudah terbayang akan keseruan di dalam kereta api. Terus terang saja, salah satu tujuan kami ke Kota Gudeg itu adalah ingin naik kereta api. Setelah beberapa lama kemudian mobil sudah mendekati Stasiun Tugu. Karena menurut sang sopir walaupun saya dan rekan-rekan membeli tiket di Stasiun Lempuyangan, Saya dan rekan-rekan harus naik di Stasiun Tugu karena tiket yang dibeli adalah tiket kelas ekonomi. Saya dan rekan-rekan menurut saja apa kata sang sopir maklum tidak punya pengalaman terkait dengan naik kereta api di Yogyakarta. Waktu saat itu untuk naik kereta api mungkin sekitar 25-30 menit. Terasa masih agak lama. Setelah tiba di depan pintu stasiun mobil segera berhenti. Saya dan rekan-rekan segera turun dan tak lupa semua barang bawaan diturunkan semua tanpa satupun yang tertinggal.
Setalah saya dan rekan-rekan berkumpul dan semua barang bawaan sudah memenuhi depan-belakang badan dan kanan-kiri tangan sudah sarat dengan barang masing-masing, saya dan rekan segera berjalan dan masuk ke ruang tunggu penumpang. Namun, sebelumnya melapor dulu ke petugas yang berdiri di sekitar tempat mencetak tiket perjalanan. Salah seorang rekan saya  yang memesan tiket segera menghampiri sang petugas. Setelah beberapa lama berkomunikasi, rekan saya diberitahu bahwa saya dan rombongan tidak bisa naik kereta api lewat Stasiun Tugu karena kode tiket tidak sesuai. Tiket yang dibeli tadi pagi kodenya tidak ditemukan di Stasiun Tugu karena tiket itu dibeli di Stasiun Lempuyangan.
Dengan ditolaknya saya dan rekan-rekan di Stasiun Tugu membuat saya dan rekan-rekan menjadi panic dan sangat khawatir. Waktu saat itu sudah mepet sekali ditambah malam minggu lagi. Suasana jalanan malam itu sangat padat sekali. Setelah positif tidak bisa diberangkatkan melalui stasiun tersebut, saya dan rekan-rekan segera keluar dari stasiun untuk segera menuju Stasiun Lempuyangan. Sungguh sebuah keadaan yang sangat genting. Begitu sampai di luar stasiun, mobil tempat saya menumpang tadi sudah tidak ada di tempat.
Saya dan rekan-rekan berusaha menghampiri orang-orang sekitar stasiun untuk meminta mereka mengantar saya dan rekan-rekan ke Stasiun Lempuyangan. Tak seorang pun dari mereka yang mau. Untuk menghubungi gojek juga sudah sangat mepet sekali. Dengan berdelapan dengan barang bawaan yang lumayan banyak membuat keadaan semakin sulit. Jalan satu-satunya saat itu adalah jalan kaki sambil berusaha mendapatkan mobil. Saya dan teman-teman berjalan sambil menggerutu tidak karuan. Setelah beberapa lama berjalan, salah seorang rekanku baru sadar bahwa salah satu tasnya ketinggalan di stasiun. Dia pun segera kembali dengan berlari. Setelah beberapa lama berjalan dengan tujuan stasiun yang belum jelas di mana tempatnya karena waktu malam hari, saya pun kembali lagi. Untung saja saya kembali lagi karena saat itu saya terpisah dengan rekan-rekan saat jalan. Saya dan mereka berjauhan jaraknya. Begitu saya bertemu rekan-rekan, ternyata mereka sudah naik mobil. Perasaan sedikit menjadi tenang setelah naik mobil.
Di dalam mobil saya dan rekan-rekan menjadi harap-harap cemas. Sang sopir memberikan informasi bahwa kereta api kalau sudah jam itu sudah berada di stasiun dan sebentar lagi pasti berangkat. Setelah mendengar informasi dari sopir itu, saya menjadi gundah gulana. Perjalanan pasti akan tertunda, tiket pasti hangus karena kesalahan sendiri. Dalam hatiku dan bahkan secara terang-terangan saya berdoa semoga tidak ketinggalan kereta. Di depanku sang sopir mencoba memacu kendaraan dengan cepat, namun apalah daya. Malam itu adalah malam Minggu. Suasana kota sangat ramai dan padat merayap. Beberapa kali sopir berbuat nekat dengan mencoba menerobos padatnya lalu lintas dan sesekali menyalip dengan tidak wajar. Sopir lagi-lagi mengatakan hanya keajaiban saja yang diharapkan. Di depan terjebak lagi dengan lampu merah. Semakin membuatku hampir menangis saja.
Selama sopir berjuang agar segera sampai di Stasiun Lempuyangan, saya dan rekan-rekan juga berdiskusi kecil-kecilan. Nanti setelah sampai di stasiun begitu mobil berhenti kita langsung berhamburan turun. Satu orang langsung berlari ke petugas dan yang lain menyambar barang-barang bawaan menuju kereta api. Keadaan semakin mepet waktu kereta api berjalan juga sudah tinggal hitungan beberapa menit lagi bila melihat jadwal keberangkatan di tiket. Saya dan rekan-rekan semakin panik. Akhirnya kurang dari tiga tiga menit saya tiba di stasiun. Begitu tiba pintu mobil langsung saya buka, dan langsung berlari menuju ruang tunggu. Tanpa basa-basi rekan yang membawa tiket dalam bentuk digital langsung menghampiri petugas dan setelah dicek secara marathon langsung diperbolehkan naik kereta api. Saya tanpa menunggu lagi langsung berlari secepat mungkin sambil membawa empat tas. Benar saja baru saja naik dan belum sempat duduk kereta sudah berjalan. Dalam hati saya mengucapkan syukur Alhamdulillah karena bisa sampai stasiun dan naik kereta api tepat waktu.
Saya dan rekan-rekan akhirnya merasa senang sekali. Setelah bersusah payah berjuang untuk sampai stasiun dan akhirnya bisa berangkat dengan kereta api yang dipesan. Kebahagiaan saya dan rekan-rekan tidak bertahan lama. Sebelum saya dan teman-teman duduk, saya dan teman-teman belum lengkap. Sementara kereta secara perlahan-lahan bergerak untuk berangkat. Saat itu satu orang rekan saya belum terlihat. Setelah dicari ternyata dia masih di luar. Saya dan rekan-rekan memanggil beliau tetapi beliau tidak mendengar. Akhirnya ditelpon oleh salah seorang rekan. Beliau menjawab dengan jawaban yang sungguh membuat saya dan rekan-rekan merasa bersalah sekali. "Selamat menikmati" itulah jawabannya. Kebetulan di dekatku ada petugas kereta api, saya pun meminta bantuan agar kereta berhenti dan memanggil rekan saya yang belum naik. Namun jawaban dari petugas itu membuat saya bersedih. Kereta sudah jalan, tidak bisa berhenti lagi. Ya Allah, saat itu kebahagiaan yang sudah dirasakan baru saja menjadi sebuah kesedihan yang amat memilukan. Dalam hati lebih baik gagal semua berangkat daripada ada yang harus tertinggal.
Setelah kereta agak jauh meninggalkan stasiun, saya dan rekan-rekan baru sadar bahwa yang tertinggal bukan satu orang, tetapi dua orang. Sungguh cita-cita naik kereta api dengan penuh suka cita menjadi duka lara. Semua rekan saat itu hanya terdiam seribu bahasa. Saya mencoba menghubungi mereka berdua lewat WAG dan yang lain kontak langsung. Namun mereka berdua tidak mau lagi merespon. Berkali-kali mencoba menghubungi tetap saja tidak diangkat maupun mebalas WA. Hingga akhir salah seorang rekan saya memberi tahu bahwa mereka berdua keluar dari WAG. Lengkap sudah rasa sedih dan bersalah malam itu. Apa yang akan saya katakan setelah bertemu nanti.
Setelah beberapa lama dalam kebisuan dan rasa penyesalan, saya memberikan ide kepada rekan-rekan. Ide saya adalah mengganti uang pembelian tiket mereka untuk yang kedua kali secara urunan. Rekan-rekan sepakat dengan ide itu. Akhirnya lewat WA pribadi saya sampaikan kepada dua rekan yang teringgal. Namun, tetap saja mereka tidak satupun yang mau menjawab. Saya dan rekan-rekan hanya mampu berdoa dan pasrah saja dengan keadaan. Yang menjadi pemikiran saya saat itu adalah jangan sampai telat sampai Bandara Juanda. Kalau sampai telat maka tiket pesawat mereka juga akan hangus.
Dibalik kesedihan itu, salah seorang rekan dalam kereta tersadar bahwa satu buah tas yang berisi oleh-oleh tertinggal di mobil karena tergesa-gesa turun. Setalah mengetahui tasnya ketinggalan semakin membuat keadaan menjadi sangat menyedihkan. Sudah susah-susah membeli hadiah untuk orang tercinta di rumah, malah tertinggal di mobil. Namun, masih ada harapan barang yang tertinggal itu akan dibawakan oleh rekan yang tertinggal kereta api. Tapi, akankah mau dibawakan setalah mereka berdua merasa kecewa karena ditinggal?
Saya akhirnya diam saja, sesekali waktu bertegur sapa dengan rekan yang lain. Jika ketemu besok apa yang akan dikatakan kepada mereka. Sungguh perjalanan dengan kereta api yang sebelumnya akan dijadikan momen bersejarah dengan penuh riang gembira menjadi pupus sudah. Selama di perjalanan tidak ada tawa dan kebahagiaan. Perjalanan itu adalah perjalanan yang dibalut dengan rasa sedih, kecewa, berbaur rasa khawatir akan nasib jalinan persahabatan.
Setalah berjam-jam dalam perjalanan, akhirnya waktu dini hari entah pukul berapa kereta api sampai di Stasiun Gubeng Surabaya. Saya dan rekan-rekan segera turun bersama para penumpang yang lain. Setelah semua turun, kereta api melanjutkan perjalanan menuju stasiun berikutnya di Jawa Timur. Saya dan rekan-rekan segera menuju ruang singgah yang ada di stasiun sambil memesan mobil grab untuk segera ke tempat penginapan terdekat sebelum menuju ke bandara besok paginya.
Setelah beberapa lama, mobil grab yang dipesanpun tiba. Dia menanyakan berapa orang jumlah kami. Setalah menjawab enam orang, diapun mau membawa kami ke tujuan selanjutnya. Saya dan rekan-rekan masuk ke mobil. Sang sopir terkejut sekali dengan barang bawaan yang ada. Seharusnya kalau seperti itu harus pakai dua mobil katanya. Setelah dipaksakan akhirnya semua rekan dan barang bawaan bisa masuk walaupun terasa sesak. Sang sopir selanjutnya bertanya mau dibawa ke mana? Jawab saya kalau bisa tempat penginapan yang dekat dengan bandara, Pak. Sang sopir pun berkata lagi "Mengapa ke penginapan? Kan susah lagi mencari mobil besok ke bandara. Sekarang langsung saja ke bandara." Saya pun bertanya lagi, apakah jam seginian masih buka bandara? Beliau menjawab "Nanti saya antar ke masjid bandara. Di sana banyak orang yang menginap untuk menunggu penerbangan besok pagi." Setelah mendengar penjelasan sang sopir saya dan rekan-rekan menjadi agak tenang karena bisa langsung ke bandara. Saya dan rekan tidak perlu lagi membayar uang penginapan dan jasa transportasi.
Setelah menyetujui penawaran sang sopir, sopir pun berangkat menuju bandara. Selama perjalanan saya dan rekan-rekan tidak banyak bicara. Selain bersedih dengan rekan yang tertinggal, rasa letih dan ngantuk juga membuat saya menjadi lebih baik diam saja sambil sesekali melihat ke luar sana. setelah beberapa lama dalam perjalanan, mobil pun tiba di Bandara Juanda. Mobil segera masuk dan langsung menuju masjid bandara. Setalah sampai masjid saya segera turun dan membayar biaya jasa angkutan. Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H