Membaca buku butuh motivasi dari diri sendiri. Umumnya aspek manfaat dan kebutuhan ilmu. Saya rasa dua hal itu yang dominan kalau orang membaca buku. Ada juga editor di penerbit yang membaca buku untuk memperbaiki tata bahasa, mengatur ulang sistematika, dan penyesuaian. Untuk yang ini membaca adalah profesi yang berujung keuntungan finansial.Dari aneka motivasi itu, saya tambah satu lagi yakni menunaikan janji pada diri sendiri untuk mengulas buku sebagai tanda terima kasih atas ilmu yang diperoleh. Ini yang dilakukan. Tapi kecepatan baca dan daya ungkap lewat kalimat dan kata tidak seperti membalik telapak tangan.
Buku yang kali ini diulas setelah beres baca sampai tuntas, yakni Doa Bukan Lampu Aladin karya Jalaluddin Rakhmat. Diterbitkan Serambi Jakarta tahun 2012 dengan tebal buku 198 halaman. Tipis tapi tidak mudah diselesaikan. Pasalnya, saat baca dua sampai tiga lembar langsung ngantuk. Entah kenapa? Mungkin faktor nyaman diam di rumah, sehingga enaknya bermalas ria. Meski dalam suasana malas, saya paksa diri ini untuk selesaikan baca buku. Akhirnya selesai juga.
Apa yang saya dapat dari buku Doa Bukan Lampu Aladin? Tentu yang pertama adalah pengetahuan mengenai doa, makna dan penjelasannya.
Kedua adalah tingkatan doa yang dipanjatkan ternyata beda-beda. Ada doa dengan untaian kalimat perintah kepada Allah seperti tambahkan aku rezeki, beri kami jabatan, sembuhkan aku dan lainnya. Seakan-akan Tuhan merupakan pegawai (pembantu) yang harus menuruti seluruh permintaan majikannya. Ada doa bentuk kalimat pujian, tetapi dibagian ujung masih ada ungkap permohonan. Doa semisal ini tampak dalam surah al-Fatihah yaitu diawali sanjungan kemudian ada permohonan seperti tunjukilah jalan yang lurus. Kemudian doa yang dianggap baik oleh Allahyarham Jalaluddin Rakhmat adalah kalimatnya penuh ungkap cinta dan pujian. Ungkap permohonan dari pembaca doa tidak tampak, tetapi terselip pada niat dalam hati dan asma Allah yang diulang-ulang bacanya.Â
Tentu saja Allah memahami semua laku doa dari setiap manusia yang berdoa. Jenis doa mana yang sering dibaca? Tentu yang kebanyakan bentuk perintah dan sedikit sanjungan. Namun yang menarik dalam Alquran justru model sanjungan, ungkap kerendahan manusia, bahkan bentuk doa perintah pun tercantum dalam Alquran. Mana yang layak? Pelajari saja doa yang diteladankan Nabi Muhammad Saw. Nanti akan diketahui bentuk dan dominan mana dari yang dipanjatkan kepada Allah.
Ketiga adalah saya menjadi tahu ternyata doa para Nabi pun berdurasi waktu dan tidak langsung dijawab saat itu. Doa Nabi Musa as  untuk kehancuran Firaun sekira 40 tahun, Nabi Zakaria dikabulkan setelah 60 tahun berdoa, dan Nabi Adam as dikabulkan atas ampunan dosa berjarak juga waktunya.
Tentang pengabulan doa, menurut Kang Jalal, bergantung pada si pendoanya dan kebijakan Tuhan. Kadang manusia berdoa memohon sesuatu, lantas Allah kabulkan dengan bentuk lain, yang lebih manfaat dan relevan dengan kehidupannya. Meski si pendoa itu memohon sesuatu yang beda dengan diberikan Allah. Karena itu, doa selayaknya dijadikan bentuk ibadah kepada Allah dalam konteks memenuhi perintah-Nya dalam Alquran yakni "Berdoalah kepada Aku (Allah) niscaya dikabulkan."
Pertanyaan klasik yang berulang pun terjawab. Apa itu? Dalam perang, kedua pihak berdoa ingin menang. Setiap orang yang lomba atau berjualan berdoa agar menang dan dapat untung besar.Â
Orang yang  ulang tahun ingin panjang umur dan tambah rezeki. Kalau semua dikabulkan Tuhan pasti kehidupan ini tidak berjalan dengan baik, bahkan mengalami ketidakteraturan. Karena itu, pengabulan doa oleh Allah disesuaikan dengan kebutuhan, keperluan, dan relevansi dengan orang tersebut.Â
Dalam hal ini, Allah Maha Mengetahui yang pantas diberikan untuk manusia. Sedangkan manusia hanya dibebankan berdoa saja kepada-Nya diiringi dengan ikhtiar sebagai bentuk keseriusan dari doa. Dikabulkan di dunia atau kelak di akhirat diberikannya, yang pasti hanya Allah yang menentukan yang terbaik bagi manusia.
Setelah membaca buku Doa Bukan Lampu Aladin, dapat diketahui sang penulis buku ini memang orang yang piawai dalam memilih kata dan menata kalimat. Terasa enak dibaca. Diberi contoh riwayat dan rujukan ilmiah serta peristiwa dari manusia yang relevan dengan setiap narasi kalimat yang dibangunnya. Karena itu, bernas dan mencerahkan.
Kalau membaca buku Kang Jalal, kemudian menyimak audio ceramah atau hadir dalam seminar, maka tidak ada beda. Sama-sama menarik, enak disimak, dan mudah dicerna akal. Meski sering berulang cerita yang disajikan, tetap saja enak disimak dan selalu ada pemberian makna atasnya. Ini saya kira khas dari Kang Jalal.
Terakhir, saya sarankan Anda baca buku ini. Ada banyak pengetahuan mengenai doa yang berguna bagi kita. Ada penjelasan atas doa-doa, termasuk amalan sebelum tidur, bahkan dicantumkan teks doa-doa seperti munajat ibu untuk anaknya, doa ramadhan, doa Rasulullah Saw untuk memohon agar kehidupan yang baik, doa perlindungan dan keluasan rezeki, berlindung dari kezaliman, doa orang yang dizalimi dan yang dilanggar haknya, kemudian buku ini ditutup dengan doa pagi dan sore.
Sayangnya buku Doa Bukan Lampu Aladin ini tidak cantumkan daftar pustaka. Saya duga buku ini transkripsi dari ceramahnya. Walau demikian, buku ini enak dibaca dan sangat diperlukan untuk orang yang ingin meningkatkan kualitas berdoa kepada Tuhan.
Terakhir dari yang terakhir, saya sepakat dengan judul buku ini bahwa doa bukan lampu aladin, yang digosok lantas keluar jin yang memenuhi permintaan. Doa adalah doa. Hanya kepada Tuhan seluruh doa disampaikan. *** (Ahmad Sahidin)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H