Salam. Sampurasun. Dua poe kamari kuring beres maos buku biografi Nabi Muhammad saw anu diserat ku Karen Armstrong. Saminggon dikeureuyeuh maos "Muhammad Prophet for Our Time". Sebuah karya orientalis yang layak dapat dipuji, sekaligus menyadarkan umat Islam tentang perlunya melakukan kajian kritis historis.
Ini juga yang diserukan Ustadz Jalal (Jalaluddin Rakhmat) dalam pengantar untuk "Muhammad Prophet for Our Time". Sebab buku yang terbit dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan Mizan ini mengandung persoalan sejarah, terutama dari sumber-sumber yang disajikan menjadi narasi sejarah Nabi.
Ustadz Jalal menemukan dua hal yang peru dikaji secara kritik historis. Pertama, tentang gharaniq, pengakuan Rasulullah saw atas sembahan kaum musyrikin Quraisy. Ditelaah oleh Ustadz Jalal ternyata sumbernya tidak kuat dan bertentangan dengan pribadi Rasulullah saw yang tercantum dalam Al-Quran.
Kedua, mengenai penerimaan wahyu yang menyatakan Nabi dalam keadaan terbebani, tidak tahu kalau ia seorang nabi, dan hendak bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari gunung.
Kemudian baru diketahui bahwa ia seorang Nabi ketika diberitahu oleh Waraqah bin Naufal, seorang tokoh Nasrani. Semua itu disangsikan kebenarannya oleh Ustadz Jalal dengan pendekatan kritik historis sehingga diketahui sumber-sumber yang digunakan Karen Armstrong tidak valid.
Dari kajian tersebut layak menjadi kesadaran bagi umat Islam bahwa tidak semua sumber klasik dari sejarawan dan muhadis benar-benar bersih dari kepalsuan.
Saya temukan yang lainnya lagi dalam buku "Muhammad Prophet for Our Time" tentang daya pikat Nabi atas perempuan. Karen mengisahkan tentang Ummu Salamah yang janda. Kemudian ditawari menjadi istri Nabi. Ummu Salamah awalnya tidak mau.
Ketika ditemui oleh Nabi kemudian senyum kepadanya, yang senyuman tersebut meluluhkan setiap wanita sehingga Ummu Salamah menerimanya. Seakan-akan Nabi adalah seorang yang memiliki ilmu pellet sehingga perempuan yang diinginkan langsung tunduk dan menerimanya.
Narasi lainnya yang cukup membuat geli tentang hubungan suami istri. Sangat tidak etis tampaknya jika seorang Nabi melakukan hubungan senggama ketika sahabat-sahabat masih berada di rumah dan hanya ditutupi dengan tirai saja. Karena merasa terganggu kemudian turun wahyu memerintahkan sahabat untuk keluar dari rumah Nabi.
Kemudian ini, yang saya kira kurang menelusuri kronologi sejarah, adalah hilangnya peristiwa ghadir khum. Â Padahal, sumber tentang ini banyak tercantum dalam sumber-sumber klasik.
Mengapa tidak ada? Kalau Karen seorang Sunni bisa dianggap wajar. Hanya saja Karena seorang sarjana, tentu ini layak dipertanyakan. Jawaban yang dikira adalah karena sumber yang digunakan adalah yang mendukung pada plot dan grand design atas karya yang diciptakannya.
Secara narasi harus diakui---meski terjemahan---memiliki cita rasa renyah ketika dibaca. Maklum seorang sarjana sastra sehingga piawai dalam rangkai kata menjadi kalimat. Dari kalimat menjadi narasi yang satu sama lain saling terhubung sekaligus menguatkan. Coba saja Anda baca dari narasi yang dibangun dengan bab dan bagian yang terbatas, terbentuk satu jalinan kisah Nabi Muhammad saw. Â Mungkinkah sosok Muhammad yang Nabi bisa terwadahi dengan jalinan narasi yang terbatas?
Tentunya di luar narasi Karen masih terdapat narasi yang lebih luas dan lebih baik untuk dibaca. Satu di antaranya Annemarie Schimmel yang menulis "And Muhammad is His Messenger: The Veneration of the Prophet in Islamic Piety". Insya Allah buku tersebut akan dibaca dalam rangka mengisi keseharian hidup.
Kembali pada buku "Muhammad Prophet for Our Time." Karen Armstrong memang sarjana sastra dan orang yang minat dengan studi Islam.
Sayangnya, seperti yang ditulis oleh Ustadz Jalal, tidak kritis. Bagi orang Barat yang baru mengenal Islam tentu bisa dibilang wajar karena tidak kenal sampai mendalam, tidak mendarah daging. Persoalannya bukan pada Karen, tetapi pada sumber yang digunakan.
Tampaknya Karen tidak belajar dari studi-studi kontemporer berkaitan dengan hadis atau tidak belajar langsung dari ulama kontemporer yang memiliki kedalaman ilmu-ilmu Islam dengan kajian ilmu-ilmu kontemporer.
Bila saja mengenal itu, pasti tidak jatuh dalam kubangan lumpur yang sama seperti para orientalis lainnya yang memang sudah punya niat untuk mencitrakan Islam sebagai agama yang buruk. Â
Narasi yang dibangun Karen didasarkan pada plot kemudian mengumpulkan bahan yang mendukung plot yang telah disusunnya.
Karena itu, hasilnya tentu sesuai dengan plot yang dirintisnya. Andai saja Karen melakukan pembacaan dahulu atas seluruh sumber kemudian melakukan penelaahan berdasarkan metode sejarah, pasti akan lebih baik dari karya yang telah dihasilkannya.
Baik di sini maksud saya adalah sesuai dengan yang tercantum dari sumber utama, Al-Quran, dan keyakinan umat Islam. Memahami sosok Muhammad dari orang yang cinta tentu akan lebih baik ketimbang dari yang benci. Keduanya juga bisa disatukan dalam merajut narasi sejarah Rasulullah saw.
Sedangkan Karen Armstrong, seorang freelnace monotheis sehingga pemahaman bebasnya lebih muncul. Tentu ini yang harus disadari oleh pembaca Muslim atas karya-karya Armstrong.
Mohon maaf, ini hanya pembacaan awal saja. Belum masuk pada kajian metodologis dan telaah sumber-sumber atau filsafat sejarah digunakan Armstrong.
Hatur nuhun anu parantos ngersakeun maos ieu seratan. Manawi aya anu teu sapagodos sareng simkuring, mangga tiasa didugikeun ngalangkungan seratan.Â
nsya Allah, isuk jaganing geto urang tepang deui dina lambaran sajarah enggal. Mugi Allah Ta'ala ngersakeun simkuring aya dina kasehatan sareng panangtayunganNa.*** (ahmad sahidin) Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H