Secara narasi harus diakui---meski terjemahan---memiliki cita rasa renyah ketika dibaca. Maklum seorang sarjana sastra sehingga piawai dalam rangkai kata menjadi kalimat. Dari kalimat menjadi narasi yang satu sama lain saling terhubung sekaligus menguatkan. Coba saja Anda baca dari narasi yang dibangun dengan bab dan bagian yang terbatas, terbentuk satu jalinan kisah Nabi Muhammad saw. Â Mungkinkah sosok Muhammad yang Nabi bisa terwadahi dengan jalinan narasi yang terbatas?
Tentunya di luar narasi Karen masih terdapat narasi yang lebih luas dan lebih baik untuk dibaca. Satu di antaranya Annemarie Schimmel yang menulis "And Muhammad is His Messenger: The Veneration of the Prophet in Islamic Piety". Insya Allah buku tersebut akan dibaca dalam rangka mengisi keseharian hidup.
Kembali pada buku "Muhammad Prophet for Our Time." Karen Armstrong memang sarjana sastra dan orang yang minat dengan studi Islam.
Sayangnya, seperti yang ditulis oleh Ustadz Jalal, tidak kritis. Bagi orang Barat yang baru mengenal Islam tentu bisa dibilang wajar karena tidak kenal sampai mendalam, tidak mendarah daging. Persoalannya bukan pada Karen, tetapi pada sumber yang digunakan.
Tampaknya Karen tidak belajar dari studi-studi kontemporer berkaitan dengan hadis atau tidak belajar langsung dari ulama kontemporer yang memiliki kedalaman ilmu-ilmu Islam dengan kajian ilmu-ilmu kontemporer.
Bila saja mengenal itu, pasti tidak jatuh dalam kubangan lumpur yang sama seperti para orientalis lainnya yang memang sudah punya niat untuk mencitrakan Islam sebagai agama yang buruk. Â
Narasi yang dibangun Karen didasarkan pada plot kemudian mengumpulkan bahan yang mendukung plot yang telah disusunnya.
Karena itu, hasilnya tentu sesuai dengan plot yang dirintisnya. Andai saja Karen melakukan pembacaan dahulu atas seluruh sumber kemudian melakukan penelaahan berdasarkan metode sejarah, pasti akan lebih baik dari karya yang telah dihasilkannya.
Baik di sini maksud saya adalah sesuai dengan yang tercantum dari sumber utama, Al-Quran, dan keyakinan umat Islam. Memahami sosok Muhammad dari orang yang cinta tentu akan lebih baik ketimbang dari yang benci. Keduanya juga bisa disatukan dalam merajut narasi sejarah Rasulullah saw.
Sedangkan Karen Armstrong, seorang freelnace monotheis sehingga pemahaman bebasnya lebih muncul. Tentu ini yang harus disadari oleh pembaca Muslim atas karya-karya Armstrong.
Mohon maaf, ini hanya pembacaan awal saja. Belum masuk pada kajian metodologis dan telaah sumber-sumber atau filsafat sejarah digunakan Armstrong.