Malu-malu tapi mau barangkali adalah kalimat yang tepat untuk 'mengqiyaskan' bagaimana sebagian kita memandang aplikasi Dating Apps saat ini. Bagaimana tidak? Dengan cukup bermodalkan smartphone dan jempol saja kita bisa menunjukkan rasa ketertarikan dengan orang lain yang fotonya sudah terpampang di layar gadget kita silih berganti dengan mudahnya.
Tidak bisa dipungkiri keberadaan Dating Apps beberapa tahun belakangan sudah menjamur di kalangan remaja urban kekinian yang turut berkontribusi pada beberapa perubahan perilaku seperti munculnya hookup culture yang sudah menjadi lazim bagi sebagian kalangan.
Keberadaan Dating Apps pun juga muncul bukan tanpa alasan, bagi sebagian besar generasi milenial dan Z yang lahir, tinggal, dan mencari penghasilan di perkotaan barangkali Dating Apps dapat menawarkan mereka sebuah jalan keluar atas kurangnya afeksi dari seseorang yang dianggap spesial di tengah hiruk pikuk masyarakat urban yang terus menekan mereka dengan fast paced lifestyle-nya.
Namun yang bergemerlap dengan indah itu tidaklah selalu intan permata. Dating Apps dengan segala kemudahan yang ditawarkan, dengan segala fitur yang memungkinkan kita mendapatkan sosok "malaikat" atau "bidadari" dengan cepat itu rupanya juga memiliki risiko untuk dapat menghancurkan kehidupan seseorang dengan mudahnya.
Film dokumenter besutan sutradara Felicity Morris berjudul The Tinder Swindler yang tayang perdana di Netflix  pada Februari 2022 barangkali dapat menyajikan kita suatu contoh ekstrem dari bagaimana jika Dating Apps disalahgunakan oleh orang dengan niatan serupa iblis.
Ringkasnya dokumenter tersebut mewartakan bagaimana seorang laki-laki bernama Shimon Hayut, melakukan aksi penipuan terhadap banyak sekali perempuan dari berbagai negara yang berujung pada yang bersangkutan mengelabuhi korbannya agar dapat mengirimkan uang dalam jumlah yang fantastis.
Skema yang digunakan pun dapat kita tebak, si pelaku bertemu dengan korban melalui aplikasi Dating Apps, mengelabuhinya dengan penampilan dan rayuan manis, kemudian dengan segala tipu muslihatnya meminta (atau mungkin lebih tepat kita gunakan kata "memaksa") korbannya untuk mencari hutang dan dapat mengirimkan uang yang diperoleh kepadanya.
Kurang ajarnya, Shimon Hayut pun menggunakan skema ponzi dalam aksi bejatnya. Ia menggunakan uang dari korban pertama untuk melakukan flexing kepada calon korbannya, hingga akhirnya si korban pun dimanfaatkan untuk kembali dijadikan sumber pendanaan untuk melakukan flexing kepada calon korban berikutnya dan begitu seterusnya.
Patut kita semua akui bahwa apa yang dilakukan oleh Shimon sebenarnya merupakan konsekuensi logis yang sangat mungkin terjadi dengan adanya platform Dating Apps. Dikarenakan adanya potensi anonimitas yang tinggi, pada platform ini semua orang dapat membuat citra baru akan dirinya untuk menutupi siapa dan apa niat dia sebenarnya.
Selain itu, kita juga perlu melihat fenomena Dating Apps sebagai salah satu produk pola hidup masyarakat yang kini dituntut serba cepat (instant culture) termasuk di dalamnya cepat mendapatkan apa yang dia inginkan. Dalam hal ini pasangan.