Mohon tunggu...
R Ahmad Rosyiddin Brillyanto
R Ahmad Rosyiddin Brillyanto Mohon Tunggu... Lainnya - Sosiolog

Pengamat sosial dan pegiat literasi yang suka minum kopi hasil gilingan sendiri

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Orang Berjiwa Iblis ini Menggunakan Dating Apps Untuk Mencari Korbannya

12 September 2024   15:24 Diperbarui: 12 September 2024   16:19 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The VG investigation featured images

Malu-malu tapi mau barangkali adalah kalimat yang tepat untuk 'mengqiyaskan' bagaimana sebagian kita memandang aplikasi Dating Apps saat ini. Bagaimana tidak? Dengan cukup bermodalkan smartphone dan jempol saja kita bisa menunjukkan rasa ketertarikan dengan orang lain yang fotonya sudah terpampang di layar gadget kita silih berganti dengan mudahnya.

Tidak bisa dipungkiri keberadaan Dating Apps beberapa tahun belakangan sudah menjamur di kalangan remaja urban kekinian yang turut berkontribusi pada beberapa perubahan perilaku seperti munculnya hookup culture yang sudah menjadi lazim bagi sebagian kalangan.

Keberadaan Dating Apps pun juga muncul bukan tanpa alasan, bagi sebagian besar generasi milenial dan Z yang lahir, tinggal, dan mencari penghasilan di perkotaan barangkali Dating Apps dapat menawarkan mereka sebuah jalan keluar atas kurangnya afeksi dari seseorang yang dianggap spesial di tengah hiruk pikuk masyarakat urban yang terus menekan mereka dengan fast paced lifestyle-nya.

Namun yang bergemerlap dengan indah itu tidaklah selalu intan permata. Dating Apps dengan segala kemudahan yang ditawarkan, dengan segala fitur yang memungkinkan kita mendapatkan sosok "malaikat" atau "bidadari" dengan cepat itu rupanya juga memiliki risiko untuk dapat menghancurkan kehidupan seseorang dengan mudahnya.

Film dokumenter besutan sutradara Felicity Morris berjudul The Tinder Swindler yang tayang perdana di Netflix  pada Februari 2022 barangkali dapat menyajikan kita suatu contoh ekstrem dari bagaimana jika Dating Apps disalahgunakan oleh orang dengan niatan serupa iblis.

Ringkasnya dokumenter tersebut mewartakan bagaimana seorang laki-laki bernama Shimon Hayut, melakukan aksi penipuan terhadap banyak sekali perempuan dari berbagai negara yang berujung pada yang bersangkutan mengelabuhi korbannya agar dapat mengirimkan uang dalam jumlah yang fantastis.

Skema yang digunakan pun dapat kita tebak, si pelaku bertemu dengan korban melalui aplikasi Dating Apps, mengelabuhinya dengan penampilan dan rayuan manis, kemudian dengan segala tipu muslihatnya meminta (atau mungkin lebih tepat kita gunakan kata "memaksa") korbannya untuk mencari hutang dan dapat mengirimkan uang yang diperoleh kepadanya.

Kurang ajarnya, Shimon Hayut pun menggunakan skema ponzi dalam aksi bejatnya. Ia menggunakan uang dari korban pertama untuk melakukan flexing kepada calon korbannya, hingga akhirnya si korban pun dimanfaatkan untuk kembali dijadikan sumber pendanaan untuk melakukan flexing kepada calon korban berikutnya dan begitu seterusnya.

Patut kita semua akui bahwa apa yang dilakukan oleh Shimon sebenarnya merupakan konsekuensi logis yang sangat mungkin terjadi dengan adanya platform Dating Apps. Dikarenakan adanya potensi anonimitas yang tinggi, pada platform ini semua orang dapat membuat citra baru akan dirinya untuk menutupi siapa dan apa niat dia sebenarnya.

Selain itu, kita juga perlu melihat fenomena Dating Apps sebagai salah satu produk pola hidup masyarakat yang kini dituntut serba cepat (instant culture) termasuk di dalamnya cepat mendapatkan apa yang dia inginkan. Dalam hal ini pasangan.

Budaya instant culture ini anehnya juga masuk bahkan ke dalam alam bawah sadar banyak pemuda urban yang dengan singkatnya dapat memiliki instant connection dengan seorang yang baru beberapa hari, jam, atau bahkan beberapa menit lalu dikenalnya melalui Dating Apps.

Celakanyanya instant connection ini memiliki kecenderungan besar untuk berevolusi menjadi instant feeling bagi beberapa orang (yang sudah pasti perasaan ini bersifat semu) dan memiliki kemungkinan untuk berakhir dengan instantly disappear.

Fenomena instantly disappear ini kerap kali disebut sebagai fenomena "ghosting" atau pasangan online yang hilang dengan begitu mudahnya tanpa jejak. Banyak orang beranggapan bahwa perbuatan ini adalah perbuatan keji nan tercela, seolah mereka lupa bagaimana perasaan yang muncul di antara mereka pun muncul dengan begitu mudahnya.

Emotional deception yang dilakukan oleh Shimon dan banyak orang tercela lainnya di dunia Dating Apps hingga saat ini pun masih ada dan terus memakan korban. Bahkan Shimon sendiri, ia telah bebas atas kasus hukum yang menjeratnya dan kembali melakukan aksi kriminalnya dengan identitas palsu yang dibuatnya.

Akhirul kalam, dalam opini penulis menggunakan Dating Apps bukanlah suatu perbuatan yang nista atau bahkan aib sehingga harus dijauhi dengan terlalu bahkan seolah diabaikan keberadaannya sebagai suatu fenomena yang muncul di tengah masyarakat kita.

Bagi penulis penggunaan Dating Apps adalah sah selama memang tidak merugikan orang lain dan segala yang dilakukan masih berapa di dalam batas etika yang berlaku. Toh pun bukankah banyak saat ini, orang di sekitar kita, yang dapat berakhir dalam sebuah pernikahan bahagia yang awalnya bertemu di Dating Apps.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun