ISLAM DAN KEPEMIMPINAN PEREMPUAN
Dalam bab yang berisi tujuh sub bab yang yang memiliki kesamaan tema ini, penulis memberikan gambaran kepada pembaca tentang isu-isu terkini yang terjadi dalam dunia perpolitikan Indonesia, khususnya yang pernah menjadi trending topic pada zamannya.Â
Seperti persoalan munculnya sebagaina organisasi keislaman yang secara terang-terangan menolak sosok perempuan jika dijadikan sebagai pemimpin urusan kenegaraan, hal ini terjadi di Indonesia khususnya pada saat Megawati Soekarno Putri melenggang menduduki kursi RI 1. Ada berbagai macam pro dan kontra dalam menafsirkan ayat "Arrijalu qawwamuna 'alan nissa", apakah "qawwam" yang disini bermaksud mutlak sebagai pemimpin atau hanya karena secara fisik laki-laki dianggap lebih kuat ketimbang perempuan.
Selain itu dalam bab ini diangkat pula sebuah analisa bahwa karena budaya patriarki yang masih sangat mendarah daging secara global hampir diseluruh permukaan bumi, di banyak tempat pemimpin perempuan sering dilihat bahwa ia mendapatkan kepercayaan dari rakyatnya karena efek/dampak dari tokoh laki-laki di sekitarnya.Â
Dari analisis ini seolah-olah perempuan tidak bisa secara mandiri memebentuk citra di masyarakat tentang dirinya sendiri tanpa bantuan tokoh laki-laki.
Tidak hanya melulu kasus yang diangkat dalam bab ini adalah isu yang berkaitan langsung dengan perempuan, permasalahan tentang awal mula konsep otonomi daerah pun tak luput menjadi bahan bahasan.Â
Dikarenakan kehidupan bangsa Indonesia yang sangat multikultural, sehingga pemerintah merasa kesulitan untuk mengatur keseluruhan daerah hanya dengan mengandalkan sistem pemerintahan terpusat, terlebih lagi karena pemerintahan pusat pada saat itu terkesan sangat "jawasentris" maka menimbulkan berbagai penolakan dari banyak daerah hingga mengancam untuk memisahkan diri dari NKRI.Â
Oleh karena itu daerah diberikan mandat berupa otoritas untuk mengurus urusan daerah nya sendiri. Akan tetapa walaupun demikian, peran perempuan pun masih dinilai kurang oleh penulis.Â
Tidakhanya ditingkat daerah, hal ini pun terlihat hingga tingkat pusat, atmosfer kehidupan politisi yang dinilai sebagai sebuah profesi yang kotor dan berat sehingga terasa sangat maskulin dinilai tidak cocok bagi perempuan untuk ada di sana.
Dalam bab ini pula, penulis memasukan kisah singkat tentang nenek dari penulis itu sendiri, H. Siti Masyitoh, yang menurut penulis menerapkan nilai-nilai feminisme walupun ia sendiri tidak tau konsep feminisme itu sendiri sebelumnya, inilah yang disebut sebagai "Indigenous feminis".Â
Beliau sebagai sosok perempuan yang memimpin pondok pesantren dan kesehariannya diisi dengan memberikan pengajaran nilai-nilai ajaran agama sangat disegani dan dihormati oleh banyak orang bahkan oleh laki-laki sekalipun.