Mohon tunggu...
Ahmad Robi Ulzikri
Ahmad Robi Ulzikri Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Pusat Kajian Ilmu Politik Lokal dan Studi Civil Society (Polstac Studies)

Peneliti Pusat Kajian Ilmu Politik Lokal dan Studi Civil Society (Polstac Studies) dan Juga CPNS Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Palangka Raya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Oposisi: Relevansi dalam Sistem Politik Indonesia Hari Ini

11 Mei 2024   09:07 Diperbarui: 11 Mei 2024   09:11 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lalau bagaimana dengan oposisi? Penulis berpikir bahwa istilah oposisi nampaknya menimbulkan kerancuan dalam konsep pemerintahan hari ini. Oposisi seolah nampak sebagai pihak yang idealis, atau mungkin hanya belum kebagian roti saja? Ini bukan tanpa dasar jika melihat beberapa kasus di mana oposisi yang berada di luar pemerintahan justru akan melunak jika sudah diberikan jatah kursi di kabinet.

Ini juga diperkuat oleh Edward Aspinall dalam bukunya "Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia" (2019) membahas bagaimana kegamangan itu terjadi karena ada persolan kronis yang sulit sembuh dalam demokrasi kita.

Aspinal berpendapat bahwa dinamika politik uang, patronase, dan oligarki mempengaruhi ketidakjelasan oposisi di Indonesia.Selain itu, praktik politik uang dan patronase membuat partai oposisi kesulitan untuk membangun dukungan yang berkelanjutan dan bersaing secara fair dalam arena politik.

Sementara, Eve Warburton dalam tulisannya yang berjudul "Opposition Strategies in Electoral Authoritarian Regimes: Evidence from Indonesia" (2018) mengulas strategi oposisi di Indonesia yang cenderung mengandalkan taktik kolaboratif dengan elit politik yang berkuasa daripada konfrontasi terbuka. 

Maka kedua ahli ini setidaknya telah memvalidasi argumentasi penulis bahwa idiologi bukan lagi menjadi basis gerakan parpol, melainkan bergeser pada kepentingan oportunis.

Sama seperti Aspinall, Warburton juga menyoroti bahwa ketidakjelasan strategi oposisi ini mencerminkan tantangan dalam menjalankan peran oposisi yang efektif dalam sistem politik yang kompleks.

Jika menengok sejarah, dilema oposisi dalam konteks pemerintahan kita mengalami pergseran yang juga sedikit banyak dipengaruhi oleh konteks dan gaya rezim yang berkuasa. 

Misalnya kita lihat bagaimana peran partai Masyumi, PSI, dan Murba pada masa orde lama. Dimana sistem demokrasi liberal dan terpimpin pada saat itu sangat tidak berpihak pada keberlangsungan oposisi yang meredup dan seolah dimandulkan.

Kemudian pada masa orde baru peran oposisi diperankan oleh PDI dan PPP.  Meskipun keduanya menghadapi tantangan besar menghadapi superioritas Golkar yang didukung berbagai sumberdaya pada masa itu. Ditambah dengan terbatasanya ruang politik dan kompetisi yang tidak seimbang.

dilanjutkan dengan istilah oposisi pada era reformasi khusunya pada dekadi 2004 hingga 2014. Dimana PDIP kembali berperan sebagai oposisi dalam pemerintahan rezim Demokrat pada saat itu. Konsep "Wong Cilik" sebagai nadi gerakan perlawanan dan kontrol mereka terhadap pemerintah.

Langkah oposisi juga dilakukan oleh PKS sejak 2009 hingga saat ini. Artinya Lebih dari satu dekade PKS memposisikan dirinya sebagai partai yang berada di luar pemerintahan. Meskipun pada tahun 2024 ini sangat dinantikan sikapnya apakah akan konsiten dijalur oposisi atau justru melunak bergabung dengan pemerintahan terpilih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun