"Opposition parties play a crucial role in democracies by providing voters with alternatives and incentives for governments to be accountable and responsive to public preferences." (Bueno de Mesquita et al., 2003)
Setidaknya penulis sangat setuju dengan apa yang dikatakan Masqueta dkk dalam buku "The Logic of Political Survival " tentang pentingnya oposisi dalam sistem politik dan pemerintahan. Meskipun belum mewakili pemikiran bagi penulis.
Menurut mereka, Oposisi yang berfungsi dengan baik dapat memberikan kritik yang konstruktif, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan memastikan akuntabilitas pemerintah.
Dialektika "oposisi" acapkali muncul pasca pemilihan umum (pemilu) baik eksekutif maupun legislatif, masyhurnya pada kontestasi pemilu nasional yang menjadi obrolan hampir disemua warung kopi di masa perhelatannya.
Partai politik (parpol) pemenang pemilu akan memposisikan diri sebagai partai atau koalisi pemerintah, sebaliknya partai pesakitan harus berlapang dada berada pada posisi "oposisi".
Masalahnya, istilah koalisi dan oposisi dalam panggung demokrasi di Indonesia pasca reformasi saat ini tidak ajeg atau secara lebih sopan penulis katakan koalisi dan oposisi yang cenderung oportunis.
Mengapa oportunis? Begini penjelasannya. Partai pengusung presiden dan wakil presiden dalam ajang pemilu dasawarsa terakhir misalnya, acap kali berubah dinamis sesuai dengan dinamika yang berkembang. Bahkan tidak memandang kawan dan lawan dalam roda pemerintahan sebelumnya.
Sederhananya, partai politik bisa berubah haluan, mendadak bekerjasama maupun berubah berlawanan dengan koalisi partai pemerintahan sebelumnya, oleh karena bukan pada prinsip dan nilai idiologi melainkan kepentingan situasional sehingga mengadaikan nilai prinsipal partai merka sendiri.
Penulis katakan sebagai "Koalisi Tak Tau Malu" seolah menjadi lazim dengan dalih rekonsiliasi dan atas nama "kepentingan bangsa". Koalisi baru yang menjadi lawan tak segan mengkritik pemerintahan, padahal beberapa kabinet pemerintah masih diisi oleh menteri yang berasal dari partainya.
Begitupun sebaliknya, koalisi baru yang sebelumnya bersebrangan dan kini bergabung dengan pemerintahan menjadi berbalik memuji habis, seolah lupa atas kritik yang dikatakan pada saat menjadi bagian luar pemerintahan.