Dalam kasus ini, keuntungan yang dihasilkan dari beternak babi adalah sekitar Rp. 1.420.000 per-satu ekor babi, dan rata2 masyarakat memiliki 5-10 ekor bahkan lebih dalam satu kandang. Namun, penting untuk diingat bahwa angka-angka ini hanya mencerminkan aspek finansial semata. Implikasinya lebih dalam dari sekadar nilai angka.
Dalam konteks yang lebih luas, praktik budaya berternak babi memiliki implikasi yang lebih dalam terhadap keberlanjutan ekonomi masyarakat Tana Toraja. Keuntungan finansial yang dihasilkan dari penjualan babi memungkinkan para peternak untuk menginvestasikan kembali dalam aktivitas ekonomi mereka atau untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka.Â
Hal ini juga dapat mengurangi tekanan ekonomi dan meningkatkan stabilitas keuangan keluarga. Seiring waktu, kontribusi ekonomi ini juga dapat membantu membangun dan memperkuat infrastruktur lokal serta layanan publik.
Selain itu, praktik budaya beternak babi juga memberikan peluang ekonomi kepada berbagai lapisan masyarakat. Peternak babi, pedagang pakan ternak, dan pelaku bisnis terkait lainnya semuanya terlibat dalam rantai nilai ekonomi ini. Ini berarti bahwa praktik budaya ini tidak hanya memengaruhi peternak langsung, tetapi juga menciptakan pekerjaan dan peluang ekonomi di berbagai sektor terkait, menghidupkan ekonomi lokal secara keseluruhan
Kontribusi terhadap Ketahanan Sosial melalui Praktik Budaya
Di tengah perubahan yang cepat, praktik budaya seperti beternak babi juga berfungsi sebagai landasan stabilitas sosial. Permintaan berkelanjutan terhadap babi dalam konteks budaya memperkuat ikatan sosial di antara anggota masyarakat. Hal ini menciptakan kerangka yang kokoh untuk kehidupan sosial yang saling mendukung, mengatasi tantangan dari komunitas yang beragam, dan melestarikan identitas budaya mereka.
Kontribusi praktik budaya beternak babi terhadap ketahanan sosial masyarakat multikultural di Tana Toraja tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi. Lebih jauh lagi, praktik ini berperan dalam memelihara kerukunan sosial, mengurangi ketidakpastian, dan membangun kohesi dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok budaya.
Dalam konteks masyarakat multikultural, ketahanan sosial mengacu pada kemampuan masyarakat untuk tetap bersatu dan beradaptasi dalam menghadapi perubahan dan tantangan eksternal.Â
Praktik budaya seperti beternak babi menciptakan ruang komunal yang memungkinkan interaksi antarindividu dari latar belakang budaya yang berbeda. Ini membantu mengurangi prasangka dan mempromosikan pemahaman lintas budaya.
Selain itu, upaya kolektif dalam praktik budaya ini, seperti persiapan bersama acara budaya dan kebersamaan dalam merawat ternak, mendorong solidaritas dan saling ketergantungan. Ini memberikan dasar yang kuat untuk mengatasi perubahan sosial dan ekonomi dengan bersama-sama, sehingga masyarakat lebih mampu mengatasi ketidakpastian dan menghadapi tantangan yang mungkin muncul
Kesimpulan