Di negara ini, ada 3 orang yang sering digagalpahami. Fahri Hamzah, Fadli Zon, dan Rocky Gerung. Pengikutnya membabi buta kutip mereka, tapi gagal mencerna. Gagal jadi nutrisi yang baik bagi pikiran. Pengikutnya begitu, apalagi haters dan segenap cebong seantero jagat. Tambah kacau.
Apa pasal? Mereka hanya mengutip apa-apa yang di twit dan di share di medsos. Tanpa sempat membaca karya pikiran mereka di buku-buku, atau karya lain yang mereka tulis. Kalaupun mereka mendengar, paling mereka hanya melihat penjelasan terbatas di ILC.
Kritik Fahri pada KPK, misalnya, yang ada dalam pikiran haters dan pengikutnya hanya satu kata: #BubarkanKPK. Padahal, untuk mencapai satu titik kesimpulan yang tajam itu, Fahri mendedahnya lebih dulu di buku-buku yang dia tulis, seperti buku "Demokrasi, Transisi, Korupsi".
Itu baru satu, ada banyak buah pikiran Fahri yang terbukukan, lalu dieksplorasikan di media sosial. Lalu gagal lagi dipahami dengan baik.
Benarlah apa yang di katakan Nicolas Carr, media sosial membuat pikiran kita menjadi dangkal. Informasi yang tak terkonfirmasi, tambah Carr, akan menjadi hoax. Kita hidup dalam kedangkalan informasi.
Fadli juga tak kalah di bully. Di Twitter kritik tajamnya, diyakini secara otomatis sebagai ujaran kebencian oleh pendukung pemerintah. Meskipun terkadang, itu bukan kritik, sekedar anekdot. Itu konsekuensi bagi dirinya sebagai orang Prabowo, yang notabene akan selalu di cap opposite Jokowi.
Pengikutnya, membeo. Hantam sana sini. Tanpa uraian yang sebetulnya wajib ada untuk menjelaskan satu kalimat kritik 140 karakter cuitan itu. Sama seperti Fahri, bukunya banyak, tapi sayang, orang cuma mau cuitannya.
Dan.. Rocky, mampus sudah. Tiap hari cebong ngamuk. Tiap hari pula di retwit dan di komen ratusan akun.
Sama seperti Fahri dan Fadli, Rocky nampaknya tak hanya menghadapi para haters yang tiap hari ngamuk, juga lovers yang acap membeo. Dungu secara tak sengaja. Jiplak kata-kata tanpa paham makna. Mereka suka sekali nyebut-nyebut orang lain dungu, bong200, biar ikutan dikira pintar macam Rocky. Padahal, gaya Rocky cocoknya sama Rocky. Tak bisa orang lain maksa diri mirip. Biar di sebut profesor juga apa?.
Sayang sekali, kita punya kritikus tajam yang kerap digagalpahami. Padahal, kalau saja publik internet alias netizen mau bersabar, dan sejenak belajar dari tiap uraian yang mereka sampaikan, itu bisa membikin pikiran mereka lebih terbuka, tajam, dan gak menjadi dungu tanpa sengaja.
Okelah, kebutuhan orang beda-beda. Ada suka baca, ada yang tidak. Ada yang main twitter, ada yang Instagram. Tapi, dunia kritisme tetaplah dunia yang kompleks. Bukan dunia yang sepotong-potong sebatas cuitan dan caption. Ayolah, kegaduhan politik kita ini terjadi, bukan karena kita rajin twitwar dan adu berita. Melainkan rendahnya minat kita untuk membaca. Selebihnya, yah karena kita penikmat berita pelintiran.
Menjadi analis yang tajam itu butuh waktu. Kita punya hak bicara. Komentar sana sini boleh. Tapi kualitas "pembicaraan" kita menurun akhir-akhir ini, sebab publik kerap latah dan rentan gagalpaham.
Sebaiknya kita kembali ke muasal cara belajar kita: iqro', membaca. Kita himpun ulang kekuatan kata, fakta, analisa, dan sintesa. Agar produksi kata-kata di jagat medsos kita berkualitas. Menenangkan kata-kata dalam percakapan demokrasi kita.Â
Jangan sampai, seperti yang di bilang Fahri Hamzah di ILC beberapa waktu lalu, kita akan menjadi korban dari ketidakmampuan kita memahami apa yang terjadi dalam masyarakat kita. Tersebab, kata-kata yang diproduksi itu adu domba, tidak tenang, dan memicu perbenturan.
Satu lagi sosok yang kerap kita gagalpahami: Pak Joko Widodo, satu kata, beragam makna. Penjelasannya? Cari sendiri.
Perkara lain, terserah anda. Selamat melanjutkan perkelahian!. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H