Mohon tunggu...
AHMAD RIDWAN
AHMAD RIDWAN Mohon Tunggu... Dosen - Buruh di Kemendikbudristek

Fakultas Manajemen dan Bisnis | Universitas Karya Persada Muna

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Korporasi dan Keberlanjutan Lingkungan [Bagian 1: Pengantar]

28 September 2024   07:14 Diperbarui: 10 Oktober 2024   11:09 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ket. Gambar: Desain penulis pada platform Canva

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, mulai dari hasil hutan, pertambangan, hingga sumber daya laut. 

Namun, pengelolaan sumber daya ini sering kali diwarnai oleh eksploitasi besar-besaran tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan yang dihasilkan. 

Beberapa perusahaan yang beroperasi di sektor pengolahan sumber daya alam di Indonesia lebih mengutamakan keuntungan semata daripada menjaga keberlanjutan lingkungan. 

Tindakan ini menimbulkan kritik keras, terutama dari berbagai lembaga lingkungan, aktivis, dan masyarakat yang terdampak. 

Eksploitasi Hutan dan Pembukaan Lahan

Salah satu sektor yang kerap menjadi sorotan adalah sektor kehutanan. Indonesia memiliki salah satu kawasan hutan tropis terbesar di dunia, tetapi deforestasi di Indonesia terjadi pada tingkat yang mengkhawatirkan. 

Menurut data Global Forest Watch, Indonesia kehilangan lebih dari 30,8juta hektar tutupan hutan antara 2001 hingga 2023. Setara dengan penurunan 19% tutupan pohon sejak tahun 2000. Pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dan penebangan kayu secara ilegal menjadi penyebab utama.

Contoh nyata perusahaan yang kerap disorot adalah perusahaan kelapa sawit yang tidak menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan.

Banyak dari mereka membuka lahan hutan secara besar-besaran dengan cara membakar, yang mengakibatkan kebakaran hutan setiap tahun dan merugikan kualitas udara di seluruh kawasan Asia Tenggara. 

Laporan Greenpeace Indonesia pada 2019 menyebutkan bahwa sekitar 80% dari kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatra berkaitan dengan pembukaan lahan untuk perkebunan sawit.

Pertambangan yang Merusak Ekosistem 

Sektor tambang juga tidak luput dari kritik. Indonesia memiliki cadangan mineral yang sangat besar, termasuk batu bara, nikel, dan tembaga. 

Namun, pengelolaan tambang sering kali dilakukan tanpa memperhatikan dampak lingkungan jangka panjang. 

Sebagai contoh, pertambangan batu bara di Kalimantan telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah. Menurut kajian WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), operasi tambang batu bara di Kalimantan telah mencemari sungai-sungai utama yang menjadi sumber air bagi penduduk setempat.

Kasus PT Freeport Indonesia di Papua juga menjadi sorotan global terkait kerusakan lingkungan akibat limbah tambang. 

Menurut laporan dari WALHI, lebih dari 250.000 ton limbah tailing dibuang ke sungai setiap hari, yang mengakibatkan pencemaran lingkungan dan rusaknya ekosistem di daerah sekitarnya. 

Selain pencemaran, dampak lain adalah hilangnya lahan subur bagi masyarakat adat yang bergantung pada alam untuk hidup.

Keengganan Mengadopsi Teknologi Ramah Lingkungan

Salah satu aspek penting dalam menjaga keberlanjutan adalah penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dalam proses produksi.

 Sayangnya, banyak perusahaan di Indonesia masih enggan berinvestasi pada teknologi ini, dengan alasan biaya yang lebih tinggi.

 Mereka lebih memilih teknologi konvensional yang murah namun menghasilkan limbah berbahaya, polusi udara, dan emisi gas rumah kaca yang tinggi.

Menurut laporan dari Institute for Essential Services Reform (IESR), emisi gas rumah kaca dari sektor energi di Indonesia meningkat sebesar 8,5% per tahun antara 2000 dan 2018. 

Hal ini disebabkan oleh masih tingginya penggunaan bahan bakar fosil dan kurangnya inisiatif dari perusahaan untuk beralih ke energi terbarukan.

Krisis Sosial dan Lingkungan yang Ditimbulkan

Aktivitas perusahaan yang mengabaikan lingkungan ini tidak hanya berdampak pada kerusakan alam, tetapi juga memicu krisis sosial bagi masyarakat sekitar. 

Masyarakat adat, petani, dan nelayan yang bergantung pada alam sering kali menjadi korban utama (Lihat: artikel situs berita lingkungan "mongabay" berjudul Nasib Nelayan Indonesia ditengah Jepitan Krisis Iklim dan Industri Ekstraktif; dan Nelayan Kecil Hadapi Ancaman Kehilangan Penghidupan Dampak dari Pembangunan, artikel yang ditulis oleh "Kantor Berita Ekonomi & Politik Republik Merdeka" berjudul Masyarakat Adat, Petani dan Nelayan dalam Bahaya!; serta artikel "Human Rights Watch" berjudul Mengapa Tanah Kami?).

Masyarakat adat, petani, dan nelayan kehilangan mata pencaharian, menghadapi polusi, dan bahkan harus pindah karena lahan mereka diambil alih untuk kepentingan korporasi.

Sebuah studi dari Rainforest Action Network menunjukkan bahwa lebih dari 700.000 orang di Indonesia terdampak langsung oleh praktik perusahaan sawit dan tambang yang tidak bertanggung jawab. 

Mereka mengalami krisis air bersih, kesehatan yang buruk akibat polusi, serta konflik lahan yang terus berlanjut.

Kritik Terhadap Kebijakan Pemerintah dan Lemahnya Penegakan Hukum

Kritik tidak hanya ditujukan kepada perusahaan, tetapi juga kepada pemerintah Indonesia yang dianggap gagal mengawasi dan menegakkan hukum secara tegas. 

Meski sudah ada berbagai regulasi seperti Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 32 Tahun 2009, penegakannya masih jauh dari harapan. 

Sebagian kalangan berasumsi, banyak perusahaan besar yang memiliki hubungan kuat dengan elit politik, sehingga terhindar dari sanksi meski terbukti melanggar aturan (Lihat: artikel "greenpeace" berjudul Elite Politik Dalam Pusaran Bisnis Batu bara; dan Pengaruh Elite Politik Dalam Pusaran Bisnis Batubara).

Pemerintah juga dinilai terlalu lambat dalam merespons permasalahan ini. Sejumlah aktivis lingkungan menyarankan agar pemerintah memperketat pengawasan terhadap perusahaan yang beroperasi di sektor pengolahan sumber daya alam serta memberikan insentif bagi perusahaan yang menerapkan prinsip keberlanjutan.

Penutup

Kritik terhadap perusahaan yang tidak bertanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia semakin keras. 

Praktik eksploitasi yang tidak memperhatikan lingkungan tidak hanya merusak alam, tetapi juga mempengaruhi kehidupan masyarakat lokal dan ekosistem yang lebih luas. 

Untuk itu, diperlukan tindakan tegas dari pemerintah, serta kesadaran perusahaan untuk beralih ke model bisnis yang lebih berkelanjutan. 

Keberlanjutan lingkungan seharusnya tidak dianggap sebagai penghalang keuntungan, melainkan investasi jangka panjang untuk kesejahteraan bersama.

Keseimbangan antara profitabilitas dan keberlanjutan adalah kunci untuk menjaga sumber daya alam Indonesia tetap lestari dan dapat dinikmati oleh generasi mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun