Mohon tunggu...
AHMAD RIDWAN
AHMAD RIDWAN Mohon Tunggu... Lainnya - Universitas Karya Persada Muna

sedang gabut

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Bisnis Berkeadilan yang Berorientasi pada Human Rights

21 Februari 2024   18:53 Diperbarui: 22 Februari 2024   14:20 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENDAHULUAN

Pada tanggal 10 Desember 1948 terjadi peristiwa bersejarah. Saat itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi dokumen Universal Declaration of Human Rights (UDHM). Peristiwa ini menjadi tonggak penting dalam pengakuan hak asasi manusia (human rights) secara universal.

Di antara poin kunci yang termaktub dalam deklarasi tersebut meliputi pengakuan bahwa semua manusia dilahirkan setara dalam martabat dan hak-haknya. Tidak boleh ada diskriminasi atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, kebangsaan, atau asal-usul sosial. Semua individu memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum yang adil dan tanpa diskriminasi. 

Relevansi deklarasi human rights PBB tidak hanya berlaku bagi negara dan individu, tetapi juga memiliki implikasi yang signifikan bagi perusahaan atau bisnis.

Sangat disayangkan, kenyatannya, tidak sedikit praktik bisnis di era modern ini yang justru "menganulir" isu human rights. Sebagai contoh kecil saja, melalui Laporan Komnas HAM periode semester 1 2023, dilaporkan bahwa telah terjadi kriminalisasi pekerja/buruh di salah satu perusahaan pengolah nikel di Kabupaten Morowali Utara pada 14 januari 2023. Tidak hanya itu, melalui siaran pers WALHI tanggal 15 Juni 2021 silam, dilaporkan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia di dalam industri minyak sawit Indonesia yang memasok perusahaan-perusahaan besar. 

Pelanggaran hak asasi manusia yang didokumentasikan oleh WALHI waktu itu, di antaranya perampasan tanah masyarakat tanpa persetujuan, pemindahan paksa, pengingkaran hak lingkungan dasar, kekerasan terhadap masyarakat adat dan komunitas yang tergusur, pelecehan, kriminalisasi dan bahkan korban jiwa bagi mereka yang berusaha mempertahankan tanah dan hutan mereka.   

Sebenarnya, para cendekiawan telah meninjau secara kritis isu human rights dalam bisnis. Telah banyak uraian teoritis dan publikasi ilmiah, sebagai rambu-rambu peringatan bagi bisnis. Supaya segala kebijakan, prosedur, dan tindakan bisnis dapat sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan yang melibatkan human rights. 

Lantas, bagaimana perspektif para cendekiwan itu dalam membela isu human rights? 

Secara terbatas, dua perspektif yang dapat penulis uraikan dalam tulisan ini yaitu perspektif Rawlsian yang dikembangkan oleh Rawls (1999), dan perspektif stakeholder theory yang dikembangkan oleh Freeman (2020).

Keduanya mengemukakan gagasannya secara inheren mengenai bisnis berkeadilan yang berorientasi pada isu human rights.

KONSEP KEADILAN BISNIS - HUMAN RIGHTS

Dalam konteks bisnis, prinsip-prinsip Rawls (1999) dalam teori Rawlsian dapat diaplikasikan untuk membahas distribusi keuntungan dan tanggung jawab sosial bisnis dengan mempertimbangkan unsur hak asasi manusia. 

Rawls (1999) berfokus pada gagasan bahwa setiap bentuk ketidaksetaraan sosial atau ekonomi harus diorganisir sedemikian rupa sehingga memberikan manfaat terbesar bagi yang paling tidak beruntung di masyarakat. 

Dalam konteks bisnis, ini bisa diartikan sebagai tanggung jawab bisnis untuk meminimalkan dampak negatifnya pada isu hak asasi manusia dan berusaha menciptakan lingkungan bisnis yang berkeadilan.

Prinsip-prinsip Rawls (1999) tentang keadilan dalam bisnis yang dapat penulis catat di sini, meliputi:

  • Prinsip Kesetaraan Dasar (The Principle of Equal Basic Liberties): Rawls (1999) berargumen bahwa setiap orang memiliki hak yang sama terhadap sistem dasar kebebasan. Dalam konteks bisnis, ini berarti bisnis harus memastikan bahwa semua individu yang terlibat dalam operasionalnya memiliki akses yang setara terhadap peluang dan kebebasan dasar yang merupakan hak asasinya, termasuk hak untuk bekerja, hak berserikat, dan hak untuk tidak mengalami diskriminasi.
  • Prinsip Diferensiasi yang Adil (The Difference Principle): Prinsip ini menyatakan bahwa tidak boleh ada ketidaksetaraan sosial dan ekonomi, oleh karena itu manfaat terbesar harus diberikan bagi yang paling tidak beruntung. Dalam konteks bisnis, ini dapat diterjemahkan sebagai tanggung jawab bisnis untuk menciptakan value-added yang adil dan mengurangi ketimpangan ekonomi antara berbagai pihak yang terlibat dalam aktivitas bisnis, seperti karyawan, konsumen, masyarakat sekitar dan pemegang saham hingga bagi keberlangsungan lingkungan hidup.

Adapun stakeholders theory yang dikemukakan oleh Freeman (2020) menekankan bahwa bisnis memiliki tanggung jawab terhadap seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) dan bukan hanya kepada pemegang saham. 

Teori ini menunjukkan bahwa bisnis harus mempertimbangkan dampaknya terhadap semua pihak yang terlibat, termasuk karyawan, konsumen, masyarakat, dan lingkungan. 

Melalui pendekatan stakeholders theory ini, bisnis dapat membentuk lingkungan yang mendukung dan mempromosikan human rights. 

Fokus pada kepentingan seluruh stakeholders secara adil, membantu mencegah pelanggaran hak asasi manusia dan menciptakan nilai jangka panjang bagi perusahaan. 

Penerapan stakeholders theory dalam konteks hak asasi manusia melibatkan upaya memahami dan menanggapi dampak operasional bisnis terhadap hak asasi manusia, serta memastikan keterlibatan dan perlindungan hak-hak stakeholders yang terkait. Stakeholders dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang dapat memengaruhi hak asasi manusia. 

Secara praktik, dilakukan melalui dialog terbuka, pertemuan, atau bentuk keterlibatan lainnya untuk memahami perspektif dan kebutuhan stakeholders. Ini termasuk mengembangkan pedoman etika, kode etik, dan kebijakan tanggung jawab sosial yang mencerminkan komitmen untuk menghormati hak asasi manusia.

Stakeholders theory mendorong kolaborasi dengan berbagai pihak untuk mengidentifikasi solusi yang dapat menghormati hak asasi manusia. 

Ini mencakup kerjasama dengan organisasi non-pemerintah, lembaga pemerintah, dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap hak asasi manusia. 

Melalui sudut pandang stakeholders theory yang dikemukakan oleh Freeman (2020), bisnis diharapkan tidak saja hanya berfokus pada profit-oriented, tetapi juga mempertimbangkan dampaknya terhadap hak asasi manusia dan kepentingan semua stakeholders yang terlibat. 

Dengan demikian, secara sekaligus bisnis dapat berkontribusi pada pembangunan masyarakat juga kepedulian lingkungan yang lebih berkeadilan.

PENUTUP

Bisnis berkeadilan bagi hak asasi manusia (human rights) mengacu pada praktik bisnis yang menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia dalam semua aspek operasional dan keputusan bisnisnya. Dengan menerapkan prinsip-prinsip yang mengutamakan isu human rights, bisnis dapat berperan sebagai agen perubahan positif dalam mendorong penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia.

REFERENSI:

  • Rawls, John. 1999. A Theory Of Justice (Revised Edition). United State: Harvard University Press.
  • Freeman, R. Edward. 2020. Responsible Business Without Trade-Offs. New York: Columbia University Press.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun