Maka, melandaskan penyelenggaraan SKM dengan memegang prinsip Transparan, Partisipatif, Akuntabel, Berkesinambungan, Keadilan, dan Netralitas, sebagaimana digariskan dalam peraturan terkait menjadi penting untuk mencapai manfaat-manfaat tersebut. Dengan harapan bahwa hasil survei yang diperoleh dapat memenuhi kriteria-kriteria yang benar, sesuai dan bermanfaat.
Kata kunci penting lainnya dari penyelenggaraan SKM ini terletak pada tindak lanjut yang harus dilakukan terhadap hasil survei. Maka, tahapan evaluasi hasil survei merupakan langkah penting pertama yang harus dilakukan, yang kemudian dilanjutkan dengan hal/upaya perbaikan apa saja yang harus diambil guna menunjang peningkatan kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh penyelenggara pelayanan. Sehingga hasil survei tidak menjadi "barang" yang sia-sia atau hanya sebatas formalitas belaka.
Bicara soal siapa pemegang kewenangan (hak) untuk menyelenggarakan survei, maka perlu dilihat peraturan terkait. Sebagaimana disarikan dari Permen PANRB No. 14 Tahun 2017 disebutkan bahwa penyelenggara pelayanan publik berkewajiban melakukan SKM untuk mendapatkan Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) terhadap unit penyelenggaraan pelayanan publik, dan dapat bekerja sama dengan lembaga lain yang memiliki kredibilitas dan reputasi di bidang penelitian dan survei.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penyelenggara pelayanan publik (oleh masing-masing unit/institusi/lembaga) merupakan lembaga pemegang kewenangan (hak) untuk melakukan SKM. Meskipun ada ketentuan yang membolehkan pelibatan lembaga lain dalam pelaksanaan SKM tersebut, namun ini dimaknai hanya sebatas pelaksana bukan pemegang kewenangan (hak), dengan catatan bahwa pelibatan lembaga lain tersebut dimungkinkan karena atas kemauan dari unit penyelenggara, yang berarti ini merupakan suatu opsi/pilihan saja bukan suatu keharusan.
Sampai disini, muncul potensi persoalan, karena dengan menempatkan 2 urusan yang "bertentangan, namun berpengaruh terhadap urusan lainnya" dalam satu "wadah", dapat menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest). Dalam hal ini pada lembaga yang sama, di satu sisi bertindak sebagai penyelenggara pelayanan publik, sedangkan di sisi lain juga merupakan pemegang kewenangan (hak) untuk menyelenggarakan survei terhadap pelayanan publik yang diselenggarakannya. Tentu hal tersebut berpotensi membuka celah terjadinya penyimpangan dalam penyelenggaraan SKM.
Potensi terjadinya Penyimpangan ini tentu saja dapat menjadi kontra produktif terhadap tujuan murni yang ingin dicapai dari diselenggarakannya SKM. Dimana penyimpangan yang terjadi akan mencederai upaya perbaikan/peningkatan kualitas pelayanan publik, yang juga akan turut menghambat upaya-upaya Reformasi Birokrasi. Maka, untuk mengelakkan potensi penyimpangan sekaligus untuk mencapai tujuan penyelenggaraan SKM, menurut penulis akan lebih baik jika kewenangan penyelenggaraan Survei Kepuasan Masyarakat (SKM) ini diserahkan kepada lembaga lain yaitu Lembaga Ombudsman.
Mengapa Ombudsman, jika ditelaah dari sudut pandang UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, karena Ombudsman merupakan lembaga negara yang:
1.memiliki kewenangan dalam mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik;
2.bersifat mandiri;
3.tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya; dan
4.bebas dari campur tangan kekuasan lain dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.