Mohon tunggu...
Ahmad Ricky Perdana
Ahmad Ricky Perdana Mohon Tunggu... Wiraswasta - gemar travelling, fotografi dan menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

seringkali mengabadikan segala hal dalam bentuk foto dan tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar dari India, Tinggalkan Politik Sektarianisme

7 Maret 2020   15:42 Diperbarui: 7 Maret 2020   16:26 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stop Sektarianisme - merdeka.com

Saat ini, konflik sektarianisme kembali bergolak di India. Konflik ini dipicu adanya amandemen UU Kewarganegaraan.

Dalam UU tersebut dijelaskan, bahwa imigran asal Pakistan, Bangladesh dan Afganistan hanya bisa mendapatkan kewarganegaraan Indonesia jika bukan muslim. UU tersebut juga mewajibkan muslim Indonesia membuktikan kewarganegaraannya.

Aturan ini pun langsung mendapatkan reaksi dari masyarakat muslim di Indonesia. Protes kelompok muslim di negara tersebut, mendapat respon dari kelompok Hindu konservatif yang mendukung aturan tersebut. Akibatnya, puluhan warga tewas dan ratusan lainnya mengalami luka.

Apa yang terjadi di India merupakan salah satu contoh masih adannya politik sektarianisme. Padahal, pola sektarianisme ini semestinya tidak diterapkan, karena berpotensi memicu melahirkan berbagai kekerasan.

Di negara-negara timur tengah pun juga mengalami hal yang sama. Ketika bibit sektarianisme masih menguat, disitulah potensi perpecahan akan muncul.

Dalam konteks Indonesia, politik sektarianisme juga pernah terjadi. Ketika memasuki tahun politik di 2017 silam, politik sektarianisme begitu menguat ketika pemilihan kepala daerah. Khususnya ketika pilkada DKI Jakarta, provokasi, ujaran kebencian dan berita bohong berkumpul menjadi satu dan memenuhi dunia maya.

Akibatnya amarah masyarakat tak terkendali ketika sentimen SARA dimunculkan. Tidak sedikit masyarakat yang ditetapkan menjadi tersangka, karena begitu aktif menebar kebencian.

Kondisi ini pun, akhirnya membangkitkan kelompok radikal untuk kembali muncul. Beruntung ketika itu potensi konflik berhasil diredam, dan kekhawatiran terjadinya konflik SARA tidak terjadi.

Meski demikian, bibit konflik itu belum sepenuhnya hilang. Masih ada kelompok-kelompok yang tak bertanggung jawab, yang secara masif menebarkan pesan kebencian di dunia maya.

Mereka itulah yang kadang secara sengaja menyebarkan berita bohong dan propaganda radikalisme di Indonesia. Apa yang terjadi di Suriah dan Iraq pernah dibawah ke Indonesia, sampai akhirnya melahirkan ratusan orang meninggalkan Indonesia dan bergabung dengan ISIS ketika itu.

Belajar dari pengalaman yang sudah, kita harus jeli terhadap setiap informasi yang berkembang. Jangan mudah terprovokasi dan terbujuk oleh janji-janji yang tidak masuk akal. Begitu juga dengan para elit politik yang sering menggunakan sentiment kebencian untuk menjatuhkan lawan politik, semestinya tidak lagi dilakukan.

Politik sektarian tidak hanya berbahaya, tapi juga menganggu demokratisasi itu sendiri. Politik sectarian hanya akan membangkitkan amarah dan kebencian baru, padahal sebelumnya kita bisa salah ramah dan toleran kepada siapapun.

Saatnya mengembangkan solidaritas kebangsaan di setiap lini kehidupan, agar kita tetap bisa saling berdampingan, saling menghargai dan tolong menolong dalam keberagaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun