Saat ini, konflik sektarianisme kembali bergolak di India. Konflik ini dipicu adanya amandemen UU Kewarganegaraan.
Dalam UU tersebut dijelaskan, bahwa imigran asal Pakistan, Bangladesh dan Afganistan hanya bisa mendapatkan kewarganegaraan Indonesia jika bukan muslim. UU tersebut juga mewajibkan muslim Indonesia membuktikan kewarganegaraannya.
Aturan ini pun langsung mendapatkan reaksi dari masyarakat muslim di Indonesia. Protes kelompok muslim di negara tersebut, mendapat respon dari kelompok Hindu konservatif yang mendukung aturan tersebut. Akibatnya, puluhan warga tewas dan ratusan lainnya mengalami luka.
Apa yang terjadi di India merupakan salah satu contoh masih adannya politik sektarianisme. Padahal, pola sektarianisme ini semestinya tidak diterapkan, karena berpotensi memicu melahirkan berbagai kekerasan.
Di negara-negara timur tengah pun juga mengalami hal yang sama. Ketika bibit sektarianisme masih menguat, disitulah potensi perpecahan akan muncul.
Dalam konteks Indonesia, politik sektarianisme juga pernah terjadi. Ketika memasuki tahun politik di 2017 silam, politik sektarianisme begitu menguat ketika pemilihan kepala daerah. Khususnya ketika pilkada DKI Jakarta, provokasi, ujaran kebencian dan berita bohong berkumpul menjadi satu dan memenuhi dunia maya.
Akibatnya amarah masyarakat tak terkendali ketika sentimen SARA dimunculkan. Tidak sedikit masyarakat yang ditetapkan menjadi tersangka, karena begitu aktif menebar kebencian.
Kondisi ini pun, akhirnya membangkitkan kelompok radikal untuk kembali muncul. Beruntung ketika itu potensi konflik berhasil diredam, dan kekhawatiran terjadinya konflik SARA tidak terjadi.
Meski demikian, bibit konflik itu belum sepenuhnya hilang. Masih ada kelompok-kelompok yang tak bertanggung jawab, yang secara masif menebarkan pesan kebencian di dunia maya.
Mereka itulah yang kadang secara sengaja menyebarkan berita bohong dan propaganda radikalisme di Indonesia. Apa yang terjadi di Suriah dan Iraq pernah dibawah ke Indonesia, sampai akhirnya melahirkan ratusan orang meninggalkan Indonesia dan bergabung dengan ISIS ketika itu.
Belajar dari pengalaman yang sudah, kita harus jeli terhadap setiap informasi yang berkembang. Jangan mudah terprovokasi dan terbujuk oleh janji-janji yang tidak masuk akal. Begitu juga dengan para elit politik yang sering menggunakan sentiment kebencian untuk menjatuhkan lawan politik, semestinya tidak lagi dilakukan.