Oleh : Rendra
Kurator Museum Rakyat HSS
Akhir-akhir ini khususnya pada Desember tahun 2024 sedang booming salah satu film horor nasional yang berlatar kisah tentang salah satu elemen yang terkait dengan Kalimantan Selatan yakni “Racun Sangga” yang didefiniskan merupakan salah satu varian jenis “santet” yang ada di Kalimantan Selatan. Hal ini tentu membuat kita yang sedari kecil akrab dengan istilah “Sangga” tersebut akan terkejut, khususnya kita yang berada di daerah Hulu Sungai (kawasan Banjar klasik) dan tumbuh besar di hunjuran kaki pegunungan Meratus. Tidak hanya itu, teman-teman para budayawan dan sastrawan lokal pun terkejut. Istilah “Sangga’ yang kita kenal selama ini tiba-tiba memiliki definisi baru sebagai salah satu nama “santet” di Kalimantan Selatan.
Sangga/Wisa Sangga bagi kita masyarakat Kalimantan Selatan sudah lama di kenal apalagi bagi kita yang berada di daerah (bukan kota). Tidak jarang orang tua kita kadang mewanti-wanti kita “hati-hati lah bila bajalanan ka ( hutan) di gunung kalu pina kana wisa/ sangga” (hati-hati kalau jalan-jalan ke hutan di pegunungan dikawatirkan nanti ke sangga)” atau Si A tu sumalam kana wisa /sangga, garing pina maiyun, awak pina kuning inya kana wayah umpat mangayu dihutanan digunung ( Si A itu kemarin kena Wisa Sangga, ia sakit-sakitan lama, tubuhnya jadi kuning pucat dia kena saat ikut bekerja mencari kayu di hutan -gunung). Beberpaa kalimat diatas adalah sebagian umum buah bibir masyarakat yang sering kita dengar terkait wisa sangga.
Penulis sendiri sering dinasehati orang tua ketika sedang ingin melaukan aktivitas ke daerah pegunungan atau penelitian ke pedalaman agar berhati-hati terhadap wisa/sangga. Umumnya di Kalimantan Selatan, sangga sendiri di percaya sebagai Wisa/Bisa alam yang tidak terlihat, bisa mengenai manusia hingga menyebabkan sakit yang serius. Sangga dipercaya ada di hutan-hutan seperti hutan di pegunungan Meratus dan lainnya. Entah di tanah, pohon atau air.
Menurut kepercayaan di masyarakat klasik di Kalimantan Selatan, juga ada segelintir orang yang bisa mengambil sangga (wisa/bisa alam) ini untuk di taruhya di kebunnya agar kebunnya tidak dirusak oleh binatang dan manusia, hal tersebut dinamai “Sangga Kabun”. Tapi umumnya Sangga didefiniskan sebagai bisa/wisa (gaib) karena tidak terlihat oleh mata telanjang.
Dahulu kala juga ada mitos atau larangan jika mandi di sungai jangan teralalu sering berendam dengan menghadap melawan arus sungai karena di khawatirkan air sungai tersebut membawa hal-hal negatif dari daerah hulu termasuk Wisa/Sangga. Di hutan juga ada beberapa keadaan yang dulu dianggap ciri-ciri tempat itu bisa jadi mengandung wisa/wisa sangga, contohnya seperti sungai yang seolah hampir mati menggenang dan berwana kuning. Hutan tropis yang basah dan lembab juga dikhawatirkan menjadi tempat wisa atau sangga berada.
Dari sekian banyak korban yang diduga “kena wisa” umumnya mereka maiyun atau sakit-sakitan parah yang tak kunjung sembuh namun yang paling umum ada yang terkena wisa dengan ciri-ciri tubuh korbannya menguning jika di diagnosis secara ilmiah mereka terkena penyakit yang menyerang fungsi liver/hati. Hal yang demikian sangat sering penulis temui pada penderita/korban terkena wisa alam tersebut pada masyarakat khususnya di daerah Hulu Sungai tempat penulis tinggal.
Mengutip jurnal Saefudin dan Sisva Mariadi dalam “Tradisi Pengobatan Batimung dalam Masyarakat Banjar dan Dayak Meratus di Kalimantan Selatan” penyakit sangga sendiri memang didefinisikan merupakan penyakit kuning (liver).