Aku tinggal disebuah kampung dengan nuansa alam pedesaan yang masih asri tepat berada di pinggiran kota Kandangan, Ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan di Kalimantan Selatan. Meski berstatus desa jalanan di desaku sudah diaspal dengan satu dua kendaraan bermotor berlalu-lalang.Â
Tidak berlebihan jika kujuluki kampung halamanku "desa yang tak pernah ditundukan oleh penjajah Belanda". Tentu sebutan tersebut bukan keluar atau berasal dari bilik ruang "hampa" belaka.
Puluhan tahun silam desa yang kutinggali ini adalah basis utama para gerilyawan pejuang kemerdekaan di Kalimantan dan bahkan jauh ratusan tahun yang lalu saat pecahnya perang Banjar di tahun 1859.
Kampung halamanku ini sudah menjadi basis perjuangan di lalawangan batang Amandit dibawah komando Tumenggung Antaluddin yang dijuluki Hoofd der Opstandeling atau kepala pemberontak oleh pejabat militer Belanda.Â
Disepanjang jalan "Gerilya" nama jalan utama yang melintang membujur didekat rumahku adalah saksi bisu perjalanan sejarah seorang bapak Gerilya Kalimantan yaitu Brigjend (Purn) H. Hassan Basry yang saat awal kedatangannya ke Kalimantan pasca ia menyelesaikan pendidikannya di Pulau Jawa.
Brigjend Hassan Basry awalnya harus disembunyikan dari rumah ke rumah disepanjang luran jalan (Gerilya) itu guna menghindari patroli militer Belanda yang memburunya saat masa-masa pahit dan getir dalam kemelut awal iklim perjuangan revolusi di tanah kelahirannya di Kalimantan Selatan.Â
Ya, beliau (Brigjend H.Hasan Basry) adalah tokoh sentral dalam sejarah Revolusi Kemerdekaan di Kalimantan Selatan (1945-1949) dan berkat pengaruhnya kelompok-kelompok bersenjata pro kemerdekaan Indonesia yang tercerai-berai di wilayah Hulu Sungai bisa dipersatukan dalam satu komando yang dipimpinnya.Â
Setelah Brigjend H.Hassan Basry dan kawan-kawan mendirikan satuan ALRI Divisi IV pertahanan Kalimantan di Haruyan dan kemudian menegaskan posisi satuannya disamping sebagai organisasi militer bersenjata juga sebagai badan pemerintahan yang berkuasa atas daerah-daerah yang mereka rebut dari pemerintahan Hindia-Belanda.Â
Penegasan posisi ALRI Divisi IV sebagai badan pemerintahan dan komando militer tepat pada tanggal 17 Mei 1949 di Niih Loksado melalui sebuah (deklare) proklamasi yang sekaligus menyatakan Kalimantan adalah bagian yang tak terpisahkan dari Republik Indonesia. ALRI divisi IV Pertahanan Kalimantan saat itu memposisikan satuan mereka sebagai representasi dari Republik Indonesia yang berdaulat.
Akibat dari peristiwa itu desaku juga kembali dan semakin kokoh pula menjadi basis perjuangan terlebih ketika ditariknya titik awal "garis demarkasi" yang membatasi antara kekuasaan Gubernur Tentara ALRI D IV Pertahanan Kalimantan dan kekuasaan Pemerintah Hindia-Belanda. Posisi desaku saat itu begitu penting yakni sebagai "gerbang" dari wilayah kekuasaan Gubernur Tentara ALRI Pertahanan Kalimantan.Â
Demi mempertahankan "kedaulatan" di desaku Pemerintahan Gubernur ALRI D IV Pertahanan Kalimantan membuat sebuah satuan komando khusus yang disebut "Komando Militer Daerah Tengah (KMDT)" yang berada tepat di jantung desaku.Â
Tidak tanggung-tanggung pasukan utama dari KMDT adalah para putera-putera terbaik dari daerah setempat. Mereka kemudian dinamakan "Pasukan Pengawal Garis Demarkasi" yang langsung dikomandani oleh Samideri Dumam seorang gerilyawan setempat.
Sebelumnya adalah wakil komandan pasukan tempur "Yon Mobile" pimpinan Letnan Ibnu Hajar yang merupakan inti satuan tempur Rx-8 Amandit yang menjadi pasukan andalan utama milik ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan yang begitu ditakuti oleh pasukan militer Belanda dimana dalam setiap aksinya yang kerap berhasil menghancurkan pos-pos militer dan "membantai" para serdadu dan polisi NICA.Â
Letnan Samideri yang memimpin "Pasukan Pengawal Garis Demarkasi" juga diketahui adalah anak ke-2 dari Guru Dumam seorang intelektual dan aktivis politik pro Republik dari Desa Karang Jawa yang saat itu bertugas menjadi penasehat khusus untuk memberikan masukan serta pandangan kepada Brigjend Hassan Basry.
Bulan Agustus tahun 1949 desaku digempur habis-habisan oleh tentara Belanda dan Polisi NICA beserta dengan pasukan-pasukan pendukungnya seperti Partai Indonesia Anti Merdeka (PAIM) yang terdiri dari Pasukan Parang Bungul, Laung Kuning dan Kucing Hitam dibawah pimpinan Kiai Besar Pangeran Merah Nadalsyah.Â
Juga tidak tanggung-tanggung pasukan Baret Hijau yang semula dipimpin oleh Raymond Westerling dalam peristiwa pembantaian 30.000 masyarakat Sulawesi Selatan juga turut dikerahkan bersama pasukan Cakra dari Jawa Timur dibawah pimpinan Letnan Venendaal (atasan Raymond Westerling) yang ingin menguasai wilayah gerbang demarkasi yang ada di desaku.Â
Namun semua itu lantas tidak membuat para gerilyawan menjadi gentar atau ketakutan namun sebaliknya kecamuk pertempuran-pertempuran sengit itulah yang kemudian menjadi pemantik api semangat perjuangan.
Kian hari semakin membakar relung jiwa mereka (para gerilyawan) dengan api semangat yang menyala-nyala meneguhkan bara patriotisme yang sudah mengakar lama di dada mereka.
Semangat itu pada gilirannya memunculkan manuver-manuver yang menggila. Gempuran dahsyat militer Belanda ke wilayah "Garis Demarkasi" dibayar jua dengan serangan-serangan balik yang begitu mematikan oleh para gerilyawan KMDT ALRI Divisi IV seperti pada Tangsi militer Belanda di Kandangan yang akhirnya digempur habis-habisan oleh gerilyawan serta tak luput pula kantor-kantor pemerintahan kolonial Hindia-Belanda yang dilumpuhkan kegiatannya oleh "Pasukan Pengawal Garis Demarkasi".Â
Peristiwa ini dikenang sebagai "Perang Garis Demarkasi di Desa Karang Jawa". Peristiwa tersebut merupakan titik paling penting bagi misi perjuangan ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan dan seluruh rakyat Kalimantan terhadap kedaulatan Republik Indonesia di tanah Kalimantan yang tercinta ini.Â
"Sekarang, nampaknya tidak begitu berlebihan bukan? jika diawal tulisan ini kusebut kampung halamanku adalah Desa yang tidak dapat ditaklukan oleh Penjajah Belanda."Â
Tapi itu hanya masa lalu, sekarang desaku bak daun kering yang diterpa angin. Tidak ada arah kejelasan kemana angin akan membawanya.Â
Dalam 72 tahun setelah pengakuan Kalimantan sebagai bagian dari negara Republik Indonesia desaku tidak banyak berubah. Memang dari segi tampilannya jauh lebih modern ketimbang dulu dimana sekarang rumah-rumah beton mulai massif menggantikan rumah-rumah panggung dan kawasan hutan serta semak belukar yang dulu sangat banyak disisi kanan dan kiri jalan di desaku.Â
Tokoh-tokoh di desaku bergantian "kembali" kehadirat Tuhan YME. Disadari atau tidak kehilangan mereka yang terlalu cepat juga ikut berdampak tergerus dan hilangnya jati diri kami sebagai generasi muda penerus.Â
Terlebih dengan banyaknya kawasan komplek perumahan-perumahan baru yang dikembangkan oleh para developer juga turut andil menjadi mangnet pengundang orang-orang baru yang semula tidak kami kenal datang dan bermukim di desa kami.Â
Namun tidak hanya sampai disitu saja mereka kemudian juga membuat "lingkungan sosial"mereka sendiri tanpa langsung terhubung dengan sosial masyarakat desa setempat yang tentu membuat sekat tebal antara warga masyarakat pendatang dan warga desa setempat.
Kondisi-kondisi tersebut kian diperparah dengan "rancunya" pembagian administrasi wilayah oleh pemerintah.
Desa Karang Jawa Muka kini mengalami perubahan dalam segi wilayah. Untuk sekedar diketahui Desa Karang Jawa Muka sekarang melingkungi desa-desa yang ada disekitar (utara) yang sudah sejak dulu tidak begitu saling terhubung secara sosial-masyarakatnya dengan warga yang ada di desaku.Â
Padahal sebaliknya wilayah ujung desa sebelah (sisi sebelah timur desaku) yakni Desa Karang Jawa (hulu) yang dibatasi oleh bekas sungai Amandit Lama dari dulu hingga sekarang merupakan bagian dari sosial-masyarakat yang tak terpisahkan bahkan sangat erat talian hubungannya dengan warga masyarakat di desaku.Â
Bukan hanya jarak yang sangat dekat. Tetapi memang sejak dulu, warga (mereka) memang bagian dari keluarga besar warga masyarakat di desaku.Â
Hamparan ladang persawahan yang terhampar luas nan indah di desa mereka sebagian besar juga milik warga didesaku yang diwariskan secara turun-temurun sejak zaman nenek moyang kami. Sejatinya penduduk ujung desa sebelah yang berbatasan dengan desaku (ujung Karang Jawa Hulu) merupakan bagian dari keluarga besar masyarakat di desaku sejak dari dahulu kala.Â
Misalnya dalam kegiatan gotong royong jika ada hajatan pernikahan maupun perihal meninggal dunia salah seorang dari warga kampungku atau warga bagian ujung desa sebelah (yang kusebutkan tadi) mereka pasti akan berkumpul bersama bersatu padu dengan warga yang ada di desaku.Â
Sebaliknya warga-masyarakat dari sisi utara yang sekarang secara administratif adalah bagian dari desaku malah kurang terhubung baik dengan warga masyarakat kami.Â
Daun hijau berembun diterpa cahaya matahari pagi memperlihatkan senyum indah wajah desaku yang tercinta ini. Setiap perayaan hari raya Idul Adha tidak seberapa lama setelah selesai sholat Ied, warga desaku (dan masyarakat ujung desa sebelah) berkumpul disamping rumah besar kuno yang mulai rusak.
Rumah itu sekarang berstatus Cagar Budaya Nasional memiliki nilai historis yang amatlah kuat yaitu bekas berlangsungnya peristiwa bersejarah perundingan antara Pemerintahan Gubernur Tentara ALRI D IV dengan Pemerintah Belanda yang ditengahi oleh PBB melalui UNCI dan juga dihadiri oleh delegasi Republik Indonesia.Â
Disamping rumah itu kami menunggu prosesi penyembelihan sapi kurban sambil bersilaturahmi dan bercengrama antar warga desa.Â
Dulu seingatku, setelah selesai acara pemotongan sapi kurban seluruh masyarakat desa berkumpul dirumah kuno itu untuk sekedar makan bersama sembari mendokan seluruh kakek-nenek serta para datuk (leluhur) dan semua pendahulu yang sudah meninggalkan kami.Â
Kegiatan itu kami menyebutnya "Aruh Ganal" mengadaptasi istilah untuk kegiatan adat di pegunungan Meratus. Namun, praktiknya prosesi tersebut berpuncak dimana tokoh agama (Islam) ditempat kami mengadakan doa haul jama' pada acara tersebut yang tentu bukan persis seperti acara "Aruh Ganal" pada masyarakat pegunungan Meratus.Â
Terakhir, kami para anak muda di desa Karang Jawa Muka berharap kelak nanti ada perubahan di desa ini "kembali" dan mendapati kejayaanya seperti dulu serta juga bisa terbebas dari pengaruh orang-orang picik dan licik yang ingin mengatur desa kami agar menuruti kepentingan pribadinya beserta para pengikut dan kerabatnya.
Salam,
Cucu-cicit Tumenggung Kartawidana.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H