Sebaliknya warga-masyarakat dari sisi utara yang sekarang secara administratif adalah bagian dari desaku malah kurang terhubung baik dengan warga masyarakat kami.Â
Daun hijau berembun diterpa cahaya matahari pagi memperlihatkan senyum indah wajah desaku yang tercinta ini. Setiap perayaan hari raya Idul Adha tidak seberapa lama setelah selesai sholat Ied, warga desaku (dan masyarakat ujung desa sebelah) berkumpul disamping rumah besar kuno yang mulai rusak.
Rumah itu sekarang berstatus Cagar Budaya Nasional memiliki nilai historis yang amatlah kuat yaitu bekas berlangsungnya peristiwa bersejarah perundingan antara Pemerintahan Gubernur Tentara ALRI D IV dengan Pemerintah Belanda yang ditengahi oleh PBB melalui UNCI dan juga dihadiri oleh delegasi Republik Indonesia.Â
Disamping rumah itu kami menunggu prosesi penyembelihan sapi kurban sambil bersilaturahmi dan bercengrama antar warga desa.Â
Dulu seingatku, setelah selesai acara pemotongan sapi kurban seluruh masyarakat desa berkumpul dirumah kuno itu untuk sekedar makan bersama sembari mendokan seluruh kakek-nenek serta para datuk (leluhur) dan semua pendahulu yang sudah meninggalkan kami.Â
Kegiatan itu kami menyebutnya "Aruh Ganal" mengadaptasi istilah untuk kegiatan adat di pegunungan Meratus. Namun, praktiknya prosesi tersebut berpuncak dimana tokoh agama (Islam) ditempat kami mengadakan doa haul jama' pada acara tersebut yang tentu bukan persis seperti acara "Aruh Ganal" pada masyarakat pegunungan Meratus.Â
Terakhir, kami para anak muda di desa Karang Jawa Muka berharap kelak nanti ada perubahan di desa ini "kembali" dan mendapati kejayaanya seperti dulu serta juga bisa terbebas dari pengaruh orang-orang picik dan licik yang ingin mengatur desa kami agar menuruti kepentingan pribadinya beserta para pengikut dan kerabatnya.
Salam,
Cucu-cicit Tumenggung Kartawidana.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H