Mohon tunggu...
Ahmad Ali Rendra
Ahmad Ali Rendra Mohon Tunggu... Lainnya - Kartawedhana

Kurator sekaligus Edukator Museum Rakyat Hulu Sungai Selatan, Anggota Tim Ahli Cagar Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kalimantan Selatan, Urang Banjar terhadap suara "Representatif" pulau Kalimantan

3 Februari 2022   12:30 Diperbarui: 7 Februari 2022   10:16 1327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orang-Boekit uit de Afdeeling Amoentai en Dajaksche vrouw uit Longwai by Carl Bock

Ahmad Ali Rendra

Wakil Ketua (Syarikat Adat, Sejarah dan Budaya) SARABA Hulu Sungai

-----------------------------------(Sebuah ulasan sosio-kultural masyarakat pribumi Kalimantan dalam persfektif historis di tengah polemik "Jin buang anak")


Akhir-akhir ini kita diperlihatkan diberbagai media entah itu Televisi, harian berita online, maupun pada halaman sosmed tentang penyampaian sebuah pernyataan oleh sekelompok oknum perihal pemindahan IKN ke pulau Kalimantan dalam sebuah konferensi pers.


Dari segi hak menyampaikan pendapat tidak ada yang salah dari para oknum tersebut. Negara demokrasi ini tentu menjamin kebebasan berpendapat setiap warga negaranya namun demikian tetap diharapkan pendapat tersebut tentunya bisa disampaikan dengan cara dan bahasa yang “baik”. Polemik timbul ketika salah satu oknum yang terkesan “vokal” menyampaikan pendapatnya dengan berapi-api, namun ada beberapa diksi atau istilah yang kurang “patut” kemudian terlontar ringan dari mulutnya, bahkan justru cenderung menghina dan sangat menyakiti masyarakat Kalimantan yang sudah tentu dalam hal ini padahal bukan objek maupun subjek dari permasalahan yang ia kemukakan.


Pasca video itu bergulir masyarakat Kalimantan tentu sangat tersinggung dengan apa yang terlontar dari mulut oknum tersebut. Tidak sedikit para tokoh maupun ormas-ormas dan lembaga adat di Kalimantan kemudian membuat pernyataan sikap dan “protes” terhadap apa yang diungkapkan oknum tersebut.


Menariknya dalam hal ini “suara” protes lebih terdengar dari corong saudara-saudara kita dari masyarakat Dayak di Kalteng, Kaltim, Kalbar sedangkan dari Kalsel seakan tidak begitu terdengar dan tenggelam suaranya.  Kalsel “dianggap seolah” tidak begitu banyak memberikan pernyataan keberatanya terhadap peristiwa ini. Golongan masyarakat Banjar yang bersuara juga seolah dianggap bukan bagian dari orang “Dayak”, kurang bahkan mungkin dianggap tidak dapat merepresentasikan masyarakat “tempatan” atau golongan pribumi Kalimantan.


Memang pernah ada oknum tertentu yang menarasikan bahwasanya masyarakat Banjar (urang Banjar) kurang merepresentasikan sebagai pribumi Kalimantan, orang Banjar juga sering disebut “hanya” etnis pendatang, penjajah, bukan orang dayak, bahkan di tuduh sebagai musuh orang dayak dan tidak peduli dengan Kalimantan. Tentu anggapan itu salah besar dan kami juga sangat memaklumi asumsi seperti itu pasti berangkat dari sebuah wawasan yang dangkal mengenai Banjar dan Kalimantan Selatan.


Secara garis besarnya wilayah Kalimantan Selatan memang mayoritas dihuni oleh masyarakat yang menamakan mereka sebagai “masyarakat Banjar” yaitu kumpulan dari masyarakat etnis tempatan (Dayak) yang dahulu kala tinggal didalam suatu wilayah politik atau Negara (state) yang dikenal dengan Negeri Banjar (Kerajaan Banjar) dimana “wilayah inti” dari negri Banjar itu meliputi Kalimantan Selatan dan sebagian sebagian wilayah Kalimantan Tengah dimana  masyarakatnya kemudian telah mengalami berbagai dinamika sosial hasil dari kuatnya pengaruh difusi kebudayaan.


Proses dinamika sosial dan pergeseran kebudayaan pada masyarakat Banjar yang awalnya berasal dari etnis tempatan (Dayak) lalu kemudian mendapat pengaruh kuat dari berbagai kebudayaan lain seperti melayu, jawa, arab, china dan lainya, disebabkan karena nenek moyang masyarakat Banjar yang telah berinteraksi dan mengalami pertukaran serta persilangan kebudayaan dengan berbagai kebudayaan dari etnis dan bangsa lainnya melalui interaksi dan proses difusi kebudayaan yang sering terjadi pada tempat-tempat yang memiliki pelabuhan besar terlebih lagi Kerajaan Banjar yang merupakan kerajaan maritim dan pernah mencapai puncak kejayaanya di abad ke 17-18 sebagai pusat perdagangan Lada dunia.

Selaras dengan prosa rakyat Dayak Meratus menceritakan bahwa nenek moyang orang Banjar bernama Bambang Basiwara adalah adik dari nenek moyang orang Dayak Meratus yang bernama Sandayuhan (Ayuh) yang disini artinya orang Melayu Banjar berasal dari satu asal yang sama dengan orang Dayak.


Kita coba sedikit bedah akar atau asal muasal 3 etnis mayoritas masyarakat Banjar kontemporer ini. Pertama masyarakat Banjar Batang Banyu yang berakar dari masyarakat Maanyan yang tersebar mendiami sekitar hulu Sungai Bahan atau Sungai Nagara di wilayah Hulu Sungai dan hulu Barito yang kemudian mendapat sentuhan difusi kebudayaan Jawa dan Melayu. Kemudian yang kedua adalah Masyarakat Banjar Pahuluan yang berakar dari suku Bukit atau Dayak Meratus di Hulu Sungai yang mengalami persilangan dengan masyarakat Melayu. Lalu yang ketiga adalah masyarakat Banjar Kuala yang mayoritas berakar dari masyarakat Ngaju dan Bakumpai yang mendiami sekitar muara sungai Bahan dan Barito dimana kemudian mengalami asimilasi kebudayaan dengan orang pendatang dari Melayu, Jawa, China yang mendiami wilayah  bandar-bandar besar disekitar muara Sungai Bahan dan Barito.


Bahkan untuk ini penulis bisa menyatakan “tuduhan” yang sangat dangkal dan tidak memiliki dasar sejarah yang kuat ketika menyebut orang Banjar adalah musuh dari orang-orang Dayak. Padahal dimana kita ketahui dimasa lalu tidak sedikit para  Sultan Banjar yang lahir dari rahim perempuan-perempuan Dayak. Bahkan dalam “Perang Banjar” prajurit dan kesatria Dayak – Banjar saling bahu membahu memerangi kekuatan kolonialis Belanda. Saat periode terkhir perang Banjar dimana orang Bakumpai, Tewoyan, Siang-Murung serta sebagian besar klan-klan Dayak yang berada dikawasan Hulu Barito yang dipimpin oleh Tumenggung Surapati berjuang sampai titik darah yang penghabisan disamping saudaranya orang-orang Banjar.

Salah satu Raja terbesar dan paling berpengaruh di Kesultanan Banjar adalah Sultan Mustainbillah yaitu anak dari Sultan Hidayatullah I dengan permaisurinya dari seorang Dayak Ngaju. Pada era pemerintahan Sultan Mustainbillah ia juga di dukung penuh oleh etnis Dayak Ngaju . Mustainbillah juga mempunyai istri bernama Diang Lawai yang berasal dari Klan Dayak Ngaju (Biaju).

Dalam "Perang Banjar" Sultan Muhammad Seman (Raja Banjar terakhir yang disebut juga Raja Barito) adalah putra Pangeran Antasari yang berasal dari rahim istrinya seorang perempuan Dayak dari klan Siang-Murung.

Dimana kita ketahui bersama diantara seluruh Kerajaan-kerajaan bercorak Melayu yang ada di pulau Kalimantan ini, maka bisa kita lihat para”pemimpin” (Patih,Tumenggung dan elite lainnya) serta Sultan dari Banjar lah yang cenderung masih kental berdarah orang-orang Dayak. Bahkan tidak berlebihan jika penulis katakan Kerajaan Banjar (beserta pendahulunya) adalah “Modern State” pertama orang-orang Dayak yang didirikan diatas “pondasi” masyarakat Kalimantan bagian tengah dan selatan yang majemuk.


SUARA BANJAR TERHADAP KALIMANTAN DAN NASIONAL


Sebelum kita membahas lebih lanjut, terlebih dulu ada yang perlu kita ketahui. Pada masa lalu Kerajaan Banjar (bahkan pendahulunya seperti Kerajaan Dipa dan Daha) selama berabad-abad membentuk sebuah empirium besar yang kemudian menyatukan hampir seluruh wilayah tanah Kalimantan dimana 3/4 wilayah Kalimantan beserta seluruh Kerajaan-kerajaan yang ada didalamnya berada dalam naungan Panji Kerajaan Banjar. Itulah sebabnya Bahasa Banjar menjadi bahasa pemersatu di Kalimantan dan setidaknya ada dua daerah yang hingga saat ini menjadikan Bahasa Banjar sebagai Lingua Franca mereka yakni di daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.


Orang-orang Kalimantan Selatan hampir tidak pernah sunyi “perannya” terhadap bangsa ini dan juga sebagai suara yang terdengar dari lebatnya hutan-hutan pulau Kalimantan. Sepak terjang orang-orang Kalimantan Selatan sampai detik ini masih dapat kita telusuri jejak-jejak historisnya yang tentu telah menjadi bagian dari sejarah besar yang ditulis dengan tinta emas perjalanan panjang bangsa ini.


Pada era perintis kemerdekaan, organisasi-organisasi pergerakan kemerdekaan telah tumbuh subur di Kalimantan Selatan, atmosfir yang demikian menjadikan masyarakat di Kalimantan Selatan kala itu mayoritas berhaluan Republiken. Bahkan dalam salah satu pertemuan paling bersejarah  bangsa ini yaitu saat digelarnya pertemuan/rapat oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dimana salah seorang anggota yang hadir mewakili Kalimantan satu-satunya saat itu adalah putra Banjar bernama A.A Hamidan yang berasal dari daerah Rantau (Tapin-kalsel) terdaftar di nomer 18 sebagai anggota PPKI. Bahkan ada data yang menyebutkan ia jua sempat menghadiri upacara deklare pembacaan teks proklamasi 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur no 56 Jakarta.


Tanggal 24 Agustus 1945 A A.Hamidan dan A A.Rivai akhirnya tiba ditanah kelahiranya serta tanah leluhurnya di Kalimantan dan menyampaikan berita Kemerdekaan Republik Indonesia yang kemudian disiarkan di radio Borneo Shimbun di kota Banjarmasin dan Kandangan. Saat itulah sebagian masyarakat Kalimantan mengetahui kabar kemerdekaan, susunan pemerintahan dan kabinet serta mengetahui tentang pengangkatan Ir. Pangeran Muhammad Noor seorang tokoh berdarah bangsawan Banjar menjadi Gubernur “Kalimantan” (untuk seluruh Kalimantan) yang pertama.


Tidak hanya sampai disitu, saat bangsa ini memasuki masa paling kritis yaitu masa revolusi kemerdekaan. Kalimantan bernasib yang sama seperti Sulawesi dan daerah timur lainya yang harus lepas hubungan dengan NKRI akibat dampak dari perjanjian Linggarjati. Akibatnya Belanda (NICA) dengan dibantu pasukan Sekutu membabi buta merebut kembali bekas daerah jajahanya tersebut. Namun mayoritas masyarakat kalimantan selatan yang berjiwa republiken serta sudah terpancang semangat juangnya, kala itu tidak tinggal diam, organisasi-organisasi pergerakan bernuansa politik dan bersenjata menyeruak bermunculan di Kalimantan Selatan.


Tahun 1946 Gebernur Jendral Hindia -Belanda Van Mook membuat gagasan negara Boneka (jebakan) untuk daerah-daerah diluar kesepakatan Linggarjati. Dalam rangka itu pula pada pertengahan tahun 1946 diadakanlah sebuah konferensi di Malino Sulawesi Selatan yang dihadiri perwakilan dari daerah Kalimantan (Selatan, Timur dan Barat) daerah Timur Besar, Belitung dan daerah Kepulauan Riau. Dalam konferensi ini pemikiran federal mendapat penegasannya dari sebagian besar delegasi yang hadir. Mereka sebagian besar menyetujui pembangunan negara boneka (gagasan jebakan Van Mook) yaitu negara Kalimantan dan Timur Besar, kecuali perwakilan delegasi dari Kalimantan Selatan yang tampak “tidak sepakat” dengan keputusan pada konfrensi tersebut. Delegasi ini memutuskan tidak menerima hasil pertemuan Malino dan menunjukkannya dengan tidak mengikuti pertemuan selanjutnya di Denpasar, Bali. Hal ini justru sangat erat hubunganya dengan kondisi di Kalimantan Selatan  yang sedang lagi mati-matian memberikan perlawanan keras terhadap pihak Kolonial (NICA) yang tengah melakukan cengkraman penjajahanya lagi di Kalimantan


Untuk membantu kelangsungan perjuangan mempertahankan kemerdekaan di Kalimantan. Para tokoh pemuda di Kalimantan Selatan kemudian menginisiasi sebuah kongres Pemuda se-Kalimantan yang akan dilangsungkan di Kandangan, tanggal 17-19 Maret 1947. Kongres tersebut akhirnya menelurkan sebuah organisasi gabungan pemuda se-Kalimantan yang bernama Gabungan Pemuda Pemudi Kalimantan (GAPPIKA) setelah itu dipilihlah H.M.Rusli dan Hasnan Basuki sebagai pimpinan GAPPIKA dan para pengurus besar GAPPIKA yang berkedudukan di kota Kandangan.


Organisasi-organisasi bersenjata yang tumbuh subur di Kalimantan Selatan tepatnya di Hulu Sungai itu juga terus mengalami pasang surut hingga pada giliranya bisa dengan solid melebur dalam satu komando khusus yaitu ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan dimana dengan seiring menguatnya ALRI Divisi IV maka di deklarasikanlah sebuah Proklamasi berdirinya Pemerintahan militer sekaligus komando utama pasukan perang wilayah Kalimantan yang terpusat di daerah Hulu Sungai di Kalimantan Selatan.


Proklamasi gubernur tentara ALRI D IV di Kalimantan Selatan juga sebagai penegasan bahwasanya Kalimantan adalah bagian dari Republik Indonesia. Proklamasi itu dibacakan di Ni'ih, Loksado (Kabupaten Hulu Sungai Selatan – Kalimantan Selatan). Peristiwa itu kemudian diperingati sebagai hari Proklamasi 17 Mei 1949 Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan.


Gubernur Tentara ALRI Divisi IV yang saat itu dipimpin oleh salah seorang putra terbaik Banjar Brigjend H.Hasan Basry yang mana ia adalah pimpinan pemerintahan militer di Kalimantan Selatan sekaligus pemegang komando perang tertinggi di seluruh wilayah Kalimantan. ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan juga menugaskan pasukan-pasukanya untuk membantu perjuangan-perjuangan melawan tentara NICA di Kalimantan Barat, Tengah dan Timur wilayah Kalimantan


Juga tidak ketinggalan sebelumnya ada pasukan MN1001 yang dipimpin oleh Cilik Riwut seorang putra Dayak dari Kalimantan tengah yang diperintahkan oleh Gubernur Kalimantan Ir. Pangeran Muhammad Noor bersama pejuang dari Kalimantan lainnya yang saat itu berada di Pulau Jawa untuk kembali ke Kalimantan guna melakukan konsolidasi perlawanan di daerah Kalimantan terutama Kalsel-teng. Didalam misinya itu Cilik Riwut juga banyak di bantu oleh teman-temanya dari orang Banjar.


Dari sekian banyak rentetan sejarah panjang keterlibatan “suara” Banjar untuk Kalimantan dari lokal maupun nasional yang mewarnai sejarah panjang bangsa ini. Jika kita kembali kepada kasus Edy cs dan rekan-rekannya dimana suara masyarakat Banjar terkesan “kurang” dianggap sebagai suara pribumi Kalimantan dan saya rasa itu adalah sikap yang sangat keliru.


Bahkan jika ada yang menganggap orang Banjar kurang memberikan perhatian lebih atas kasus ini itupun pun merupakan anggapan yang salah. Memang diwaktu yang bersamaan para aktivis hukum Kalimantan Selatan juga harus mengawal salah satu kasus serius di internal Kalimantan Selatan sendiri namun bukan berarti “melupakan” kasus yang kita sepakati bersama sangat melukai perasaan masyarakat Kalimantan. Tidak sedikit tokoh-tokoh dari Kalimantan Selatan juga membuat pernyataan di laman media online seperti bapak M.Rifqinizamy Karsayuda dan tokoh Kalimantan Selatan lainnya. Bahkan tidak tanggung-tanggung sejak awal kasus ini bergulir disaat lagi ramai-ramainya beragam kelompok dari berbagai daerah di Kalimantan membuat video pernyatan mengecam saudara Edy Mulyadi cs, dari pihak politisi Kalsel dan juga kemudian Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kalimantan Selatan turut mengambil sikap dan langkah yang elegan dengan menyambangi "Ditreskrimsus" Polda Kalsel untuk melaporkan sauadara Edy Mulyadi cs dimana kemudian laporan-laporan tersebut kini sudah diambil alih oleh Mabes Polri.


Belum lagi Wakil Ketua Komisi III DPR, H.Pangeran Khairul Saleh (dari Kalimantan Selatan) yang mendukung langkah masyarakat Dayak untuk melakukan sidang adat terhadap Edy Mulyadi. Dukungan itu kita ketahui ketika Pangeran Khairul Saleh memimpin audensi antara Komisi III DPR dengan Aliansi Borneo Bersatu. Salah satu yang menjadi tuntutan aliansi ialah membawa Edy untuk menjalani sidang sekaligus hukum adat.


Masyarakat Kalimantan “kekinian” tidak seharusnya menilai suara orang Kalimantan dengan kacamata egoisme semata dan menganggap hanya kelompok etnis tertentu saja yang merepresentasikan sebagai masyarakat asli Kalimantan. Dengan mengeyampingkan peran dan suara orang-orang Banjar yang juga masyarakat tempatan di bumi kita Kalimantan ini. Dimana WAJIB harus kita ketahui bersama dalam rentetan panjang sejarah bangsa ini orang Banjar juga turut andil dan tidak kecil pula perannya menyangkut pulau dan masyarakat Kalimantan yang kita cintai bersama ini.

Catatan :

(Juga perlu diketahui jika pernah ke Kalimantan Selatan terutama di daerah Banjar klassik di wilayah "Hulu Sungai" mayoritas masyarakat Banjarnya sampai kini masih kental bercampur unsur Dayak, misalnya di Tapin, HSS, HST mereka cenderung masih kental nuansa suku Dayak Bukit Meratus, Sedangkan HSU, Balangan dan Tabalong mereka cenderung kental nuansa Dayak Maanyan, Deyah, Abal, Lawangan dan lainnya)

-----Sekian (*)---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun