Mohon tunggu...
Ahmad Ali Rendra
Ahmad Ali Rendra Mohon Tunggu... Lainnya - Kartawedhana

Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kab. Hulu Sungai Selatan - Kalimantan Selatan Pemerhati Budaya dan Sejarah Pemandu (khusus) Museum Rakyat Kab.Hulu Sungai Selatan Pembina komunitas Dapur Budaya HSS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sejarah singkat Industri Perkebunan Karet di Wilayah Afdeling Hulu Sungai

28 Juli 2021   14:50 Diperbarui: 28 Juli 2021   19:49 1612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah salah seorang pengusaha Remilling Karet di Kandangan, dekat kampung Pandai Getah ( Sekarang di Jl. Nirwana, Kedai Kopi "Sendu")

Pada tahun 1870 Cultuurstelsel, yakni sistem pertanian yang kemudian berkembang menjadi sistem tanam paksa yang telah menyungkurkan sistem ekonomi subsistens petani Jawa yang berdampak terjadinya proses kemiskinan terstruktur ditiadakan. Pemerintah Hindia Belanda melakukan apa yang disebut politik pintu terbuka, yaitu ekspansi modal swasta dan  ekspansi teritorial ke luar Jawa. Ekspansi  teritorial ke luar Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda harus dilihat sebagai  alternatif baru bagi ekspansi modal asing terutama Belanda.  Ekspansi teritorial yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda berdampak semakin meluasnya areal, jenis dan jumlah produksinya. Salah satu contohnya adalah penanaman karet di Sumatera dan Kalimantan (Lindblad,2000:333).

Di daerah Kalimantan Selatan pasca di hapuskannya Kesultanan Banjar yang kemudian mulai memasuki era baru. Masyarakat Kalimantan Selatan telah mengalami perubahan yang begitu signifikan dari berbagai aspek. Pengaruh revolusi industri dunia juga dirasakan langsung  dampaknya di Kalimantan Selatan.

Bersamaan dengan itu pasar dunia sedang di banjiri oleh permintaan komoditi jenis baru yakni karet. Komoditi bahan karet sangat diperlukan oleh industri mobil yang baru mulai berkembang saat itu. Untuk itulah para pengusaha swasta yang telah diberi keleluasaan untuk menanamkan modalnya di wilayah tanah jajahan, ada yang mencoba untuk membudidayakan karet di daerah Kalimantan bagian Selatan. Senada yang diungkapkan J. Thomas Linblad, pada sekitar tahun 1900-an permintaan karet dunia juga sangat tinggi. Kondisi tersebut yang membuat penanaman karet di wilayah Kalimantan Selatan dan  Kalimantan  Timur sejak itu masif dimulai.

Para pengusaha Eropa mulai membudidayakan karet di daerah Kalimantan Selatan pada tahun 1906. Terdapat tiga daerah perkebunan besar yakni Hayup di Tanjung, Tanah Intan dan Danau Salak di Martapura. Ketiganya menggunakan tenaga kuli kontrak dari Jawa maupun dari daerah sekitarnya. Jenis kuli yang terakhir inilah yang nantinya akan menjadi pengusaha karet pribumi. Setelah masa kontraknya, terutama yang dari Hayup selesai, mereka kembali ke kampungnya dan menanam karet sendiri. Mereka sudah mendapat cukup pengalaman dalam pengolahan karet selama bekerja di Perkebunan Eropa.

Seeorang pembeli sedang menimbang karet dengan
Seeorang pembeli sedang menimbang karet dengan "Dacing" di Pasar Karet di Kalimantan Selatan (1915-1921)collectie-nederland
    

Pemerintah Hindia Belanda telah mendorong penanaman karet secara besar-besaran di Kalimantan Selatan yaitu di daerah Tabalong dan  Amuntai. Selain itu, dibuka juga perkebunan karet di Danau Salak Martapura, Sungai Tabuk di afdeeling Banjarmasin, serta perekebunan karet dengan jenis  Hevea dari Semenanjung  Malaya di Martapura; Karang Intan dan Danau Salak sejumlah 100.000 batang pohon pada tahun 1907 (Eisenberger, 1936: 92).

Pada Tata Pemerintahan Hindia-Belanda wilayah Hulu Sungai saat itu disebut Afdeling Hoeloe Soengai yang beribukota di Distrik Amandit berdasarkan pembagian organik dari Indische Staatsblad tahun 1913 no 199 dan 279. Afdeling Hulu Sungai merupakan wilayah yang paling berpengaruh dan penting di Karesidenan Borneo Selatan. Pada wilayah Afdeling Hulu Sungai juga terpusat berbagai jenis industri perkebunan.

Selain pemerintah Hindia Belanda, rakyat juga turut menanam karet, seperti wilayah Hulu Sungai dari  Rantau ke arah Sungai Balangan dan barat laut dari Sungai Birayang ke arah Tanjung sehingga dari hasil penanam karet berupa getah ,pemerintah Hindia Belanda memperoleh pajak sekitar 300 ribu gulden.

Pada awal 1910 terjadi perubahan kepemilikan perkebunan karet di Kalimantan Selatan, dimana Hilckes menjual Tanah Intan kepada Southeast Borneo Plantations Ltd yang berkedudukan di London, dan setelah itu didirikanlah anak perusahaannya Tanah Intan Estate Ltd di Banjarmasin. Setelah itu, menyusul C. Bohmer yang menjual perkebunan Hayup kepada Hayup Rubber Estates Ltd. Pada tahun 1917 perkebunan karet di Danau Salak yang dimanajeri oleh Hilckes dijual kepada Japanese Dutch Borneo Rubber Industry Company.

Harga karet yang tinggi sebelum Perang Dunia I mengakibatkan perluasan perkebunan karet di sana, terutama di daerah Hulu Sungai. Banyak tanah sawah yang dijadikan perkebunan karet. Tidak kurang dari 40% kepala keluarga di Hulu Sungai mempunyai perkebunan karet.

Karet rakyat yang mendapat pasaran yang baik di dunia, menimbulkan tingkat  penghidupan rakyat makin baik. Hal ini  menyebabkan masuknya pengaruh kebudayaan Barat sampai jauh ke pedalaman di Kalimantan Selatan.

Pasar Karet di Paringin, Kalimantan Selatan tahun 1925
Pasar Karet di Paringin, Kalimantan Selatan tahun 1925

Sekitar  tahun-tahun  1924-1927 harga karet di pasaran internasional  sangat  melonjak. Tertarik akan memperoleh untung yang banyak,  penduduk  daerah  Afdeling Hulu  Sungai  merombak sawah  mereka menjadi kebun karet. Sekalipun tenyata harga tersebut kemudian terus menurun, namun mengusahakan karet telah merupakan salah satu mata pencaharian  disamping bertani, menangkap ikan atau mengumpulkan hasil hutan.  Petani-petani karet melemparkan hasil karetnya ke-pasaran internasional.

Salah satu pusat budi daya karet yaitu di Afdeling  Hulu Sungai terus menambah jumlah pohon karetnya. Pada tahun 1924 terdapat sekitar 10 juta pohon yang dimiliki oleh sekitar 3.000 orang (rata-rata setiap pemilik mempunyai 300 pohon). Jumlah itu terus bertambah sehingga pada tahun 1963 terdapat tidak kurang dari 49 juta pohon dengan pemilik sekitar 12.000 orang, dengan luas perkebunan sekitar 50.000 hektar. Kebanyakan pohon itu ditanam pada waktu memuncaknya permintaan karet pada tahun 1920-an.

Pasar Karet di Barabai, Kalimantan Selatan tahun 1927. Leiden University Libraries 
Pasar Karet di Barabai, Kalimantan Selatan tahun 1927. Leiden University Libraries 

Hasil karet yang berupa bakuan (slabs) diekspor ke luar negeri. Ketika ekspor  itu  berhenti  pada  zaman  pendudukan  Jepang, usaha penyadapan dan pengolahan karet tersebut juga  terhenti. Yang laku dipasaran  internasional bukan lagi slabs, tetapi jenis  karet  yang  di  dalam  dunia  perdagangan  sebagai karet  asap (Ribbed  Smooked  Sheets  dengan  singkatan RSS). Untuk  memperoleh getah  asap ini,  karet  susu  dibekukan  di  dalam  takungan alminium kemudian digiling hingga berupa lembaran-lembaran yang tipis. Lembaran karet ini  dikeringkan  dengan  diatas  api  didalam  bangunan  yang bemama  rumah  asap (rookhuizen). Hasilnya  berupa lembaran-lembaran  karet  kering yang tipis dan mudah dilihat ada atau tidaknya  kotoran  didalamnya. Makin  bersih  dari  kotoran makin tinggi mutu  dan harganya. Pasang surut usaha perkebunan karet terus berlanjut. Usaha untuk menjual  karet  dalam  kondisi  yang  lebih  kering mulai  dilakukan  dengan  cara  mengasapinya. Pembangunan rumah asap mulai dilakukan pada Juni 1934 di seluruh Hulu Sungai, yaitu sekitar 80 rumah. Selanjutnya,  pada  1936  telah  dibangun rumah asap di 300 lokasi.

Informasi  lain  tentang  masa  kejayaan perdagangan karet di Kalimantan  Selatan  telah ditulis menjadi  sebuah  disertasi  oleh  Tundjung pada tahun 2014. Tundjung menyimpulkan bahwa perekonomian  di Hulu Sungai bersumber pada pertanian (padi) dan perdagangan.

Kota Barabai sebagai sentral perdagangan dan perkebunan karet yang begitu maju ( terlihat mobil sudah banyak di barabai )
Kota Barabai sebagai sentral perdagangan dan perkebunan karet yang begitu maju ( terlihat mobil sudah banyak di barabai )

Sejarah budidaya karet pada masa kolonial Hindia-Belanda di Kalimantan Selatan memang sangat menarik yang kita perhatikan bahwa pada mulanya dipelopori oleh pengusaha-pengusaha asing, namun pada masa kemudian justru yang memegang perananan dan mendominasi adalah para pemilik kebun pribumi. Akibat dari naik turunnya produksi karet dan permintaan karet di pasar dunia pada era itu maka untuk yang dapat mengikuti perkembangan harga hanyalah karet rakyat, karena mereka menggunakan tenaga kerja mereka lebih banyak memakai tenaga anggota keluarganya sendiri.

Cantiknya kota Barabai sebagai wilayah Afdeling Hoeloe Soengai yang menjadi sentral dari perdagangan Karet di Kalimantan Selatan. 
Cantiknya kota Barabai sebagai wilayah Afdeling Hoeloe Soengai yang menjadi sentral dari perdagangan Karet di Kalimantan Selatan. 
..

Demikianlah sejarah berkembangnya budi daya karet pada wilayah Hulu Sungai di Kalimantan Selatan, maka pada sekitar tahun 1930-an kesejahteraan penduduk meningkat dengan pesat. Hal ini ditunjukkan antara lain dengan banyaknya rumah yang dibangun, sekolah yang didirikan dan kemajuan lainnya di daerah Hulu Sungai, disamping itu permintaan daerah Kalimantan Selatan akan barang-barang impor juga kian meningkat, misalnya banyaknya permintaan akan sepeda, mobil dan sebagainya.

Sumber Pustaka & Narasi :

  • Sejarah Banjar (2003), Suriyansyah Ideham, dkk.  Balitbangda Kalimantan Selatan
  • Urang Banjar dan Kebudayaanya (2003), Wajidi, dkk. Balitbangda Kalimantan Selatan
  • Sejarah Daerah Kalimantan Selatan (1977/1978) Idwar Saleh, dkk. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
  • Pabrik Pengolahan Karet peninggalan Belanda di Sungai Tabuk, Kalimantan Selatan (2015) Sunarningsih. Balai Arkeologi Banjarmasin.
  • Karet dari Hulu Sungai: Budidaya, perdagangan, dan pengaruhnya terhadap perekonomian di Kalimantan  Selatan,  1900-1940 (2004) Tundjung.
  • Sejarah Ekonomi Modern Indonesia (2000) J. Thomas Linblad.
  • Encyclopedie Van Nederlandsch – Indie (1917-1939) Paulus J. Stibbe , dkk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun