Karet rakyat yang mendapat pasaran yang baik di dunia, menimbulkan tingkat  penghidupan rakyat makin baik. Hal ini  menyebabkan masuknya pengaruh kebudayaan Barat sampai jauh ke pedalaman di Kalimantan Selatan.
Sekitar  tahun-tahun  1924-1927 harga karet di pasaran internasional  sangat  melonjak. Tertarik akan memperoleh untung yang banyak,  penduduk  daerah  Afdeling Hulu  Sungai  merombak sawah  mereka menjadi kebun karet. Sekalipun tenyata harga tersebut kemudian terus menurun, namun mengusahakan karet telah merupakan salah satu mata pencaharian  disamping bertani, menangkap ikan atau mengumpulkan hasil hutan.  Petani-petani karet melemparkan hasil karetnya ke-pasaran internasional.
Salah satu pusat budi daya karet yaitu di Afdeling  Hulu Sungai terus menambah jumlah pohon karetnya. Pada tahun 1924 terdapat sekitar 10 juta pohon yang dimiliki oleh sekitar 3.000 orang (rata-rata setiap pemilik mempunyai 300 pohon). Jumlah itu terus bertambah sehingga pada tahun 1963 terdapat tidak kurang dari 49 juta pohon dengan pemilik sekitar 12.000 orang, dengan luas perkebunan sekitar 50.000 hektar. Kebanyakan pohon itu ditanam pada waktu memuncaknya permintaan karet pada tahun 1920-an.
Hasil karet yang berupa bakuan (slabs) diekspor ke luar negeri. Ketika ekspor  itu  berhenti  pada  zaman  pendudukan  Jepang, usaha penyadapan dan pengolahan karet tersebut juga  terhenti. Yang laku dipasaran  internasional bukan lagi slabs, tetapi jenis  karet  yang  di  dalam  dunia  perdagangan  sebagai karet  asap (Ribbed  Smooked  Sheets  dengan  singkatan RSS). Untuk  memperoleh getah  asap ini,  karet  susu  dibekukan  di  dalam  takungan alminium kemudian digiling hingga berupa lembaran-lembaran yang tipis. Lembaran karet ini  dikeringkan  dengan  diatas  api  didalam  bangunan  yang bemama  rumah  asap (rookhuizen). Hasilnya  berupa lembaran-lembaran  karet  kering yang tipis dan mudah dilihat ada atau tidaknya  kotoran  didalamnya. Makin  bersih  dari  kotoran makin tinggi mutu  dan harganya. Pasang surut usaha perkebunan karet terus berlanjut. Usaha untuk menjual  karet  dalam  kondisi  yang  lebih  kering mulai  dilakukan  dengan  cara  mengasapinya. Pembangunan rumah asap mulai dilakukan pada Juni 1934 di seluruh Hulu Sungai, yaitu sekitar 80 rumah. Selanjutnya,  pada  1936  telah  dibangun rumah asap di 300 lokasi.
Informasi  lain  tentang  masa  kejayaan perdagangan karet di Kalimantan  Selatan  telah ditulis menjadi  sebuah  disertasi  oleh  Tundjung pada tahun 2014. Tundjung menyimpulkan bahwa perekonomian  di Hulu Sungai bersumber pada pertanian (padi) dan perdagangan.
Sejarah budidaya karet pada masa kolonial Hindia-Belanda di Kalimantan Selatan memang sangat menarik yang kita perhatikan bahwa pada mulanya dipelopori oleh pengusaha-pengusaha asing, namun pada masa kemudian justru yang memegang perananan dan mendominasi adalah para pemilik kebun pribumi. Akibat dari naik turunnya produksi karet dan permintaan karet di pasar dunia pada era itu maka untuk yang dapat mengikuti perkembangan harga hanyalah karet rakyat, karena mereka menggunakan tenaga kerja mereka lebih banyak memakai tenaga anggota keluarganya sendiri.
..