Mohon tunggu...
Ahmad Raziqi
Ahmad Raziqi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Peci Santri, Identitas Luhur Menyentuh Revolusi Industri 4.0

21 Oktober 2018   18:41 Diperbarui: 21 Oktober 2018   18:57 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh: Ahmad Raziqi

Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berbasis pengembangan agama yang dihuni oleh para kyai dan para santri. Identitas para santri dan kiyai dikenal dengan nuansa islami. Di mana secara umum para santri dan kiyai menggunakan sarung, baju Koko dan peci sebagai kebanggaan serta identitas santri. 

Dalam hal ini santri memang memiliki kebiasaan memakai sarung dan berpeci guna memberikan identitas secara luhur bahwa tampilan santri memiliki gaya tersendiri dibandingkan dengan siswa di sekolah umum. Santri, kiyai, masyarakat dan pesantren memang tidak bisa dipisahkan.

Sebagaimana yang telah kita diketahui bahwa pesantren merupakan sistem pengembangan pendidikan agama islam. Syiar pemikiran tentang islam banyak diproduksi di pesantren, tidak dipungkiri bahwa pesantren dikatakan sebagai pusat produksi pemikiran islam indonesia (Ahmad, 2004).  

Pesantren adalah salah satu sistem pendidikan tertua di bumi pertiwi Indonesia I.J. Brugman  dan K. Meysdi memprediksikan bahwa praktik pendidikan ala pesantren sudah ada sebelum islam hadir di bumi nusantara, melalui tradisi pemeluk agama hindu yang kemudian mengalami proses islamisasi dengan berbagai nilai-nilai keislaman.

Berdasarkan Undang-undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bab  VI jalur, jenjang, dan jenis, Pasal 30 ayat 4 yang berbunyi "Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasramaan, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis". 

Secara legal formal pesantren sudah diakui sebagai sistem pendidikan keagamaan. Undang-undang ini merupakan indikasi bahwa pesantren memiliki peran dalam mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pemahaman yang bagus dalam agama, sehingga peserta didik akan siap menjadi anggota masyarakat dengan pengamalan ilmu-ilmu agamanya.  

Peserta didik di pesantren yang dalam hal ini dikenal dengan istilah santri, memang dipersiapkan sebagai sumber daya manusia (SDM) yang mampu memberikan manfaat melalui pesantren dalam mengembangkan taraf kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. 

Sebagaimana yang telah di jelaskan oleh (Suharto, 2016) tentang tridharma pesantren bahwa pertama, keimanan dan ketakwaan terhadap Allah SWT, kedua, pengembangan keilmuan yang bermanfaat dan ketiga, pengabdian terhadap masyarakat, agama dan negara. Dipahami bahwa santri harus  religius,  intelektualis dan profesionalis.

Masyarakat  secara universal saat ini sudah memiliki sistem kehidupan sosial yang berkembang sangat pesat. Sehingga masyarakat sudah cenderung tidak mininim informasi dan pengetahuan mengenai ekonomi, politik, budaya, pendidikan dan sosial itu sendiri. Kemajuan bidang informasi  komunikasi dan bioteknologi hingga teknik materil mengalami percepatan luar biasa dan membawa perubahan radikal di semua dimensi kehidupan(Pouris, 2012). 

Dimana kehidupan masyarakat telah bertransformasi kepada era baru yaitu era digitalisasi yang membentuk masyarakat sangat akrab dengan dunia Maya dan gadget. 

Kondisi demikian menggiring masyarakat untuk memasuki era baru dalam kehidupan kemanusiaan terutama bidang manafuktur dan industri yaitu revolusi industri keempat atau disebut juga sebagai industri 4.0 (selanjutnya disingkat RI. 4.0). Revolusi industri 4.0 ini akan menjadi tantangan tersendiri kepada para santri dengan identitas luhur mereka yaitu pakai sarung, baju Koko dan peci. Merupakan stayle busana yang sudah secara turun temurun diajarkan oleh seorang kiyai.

Klaus Schwab sebagai pendiri sekaligus ketua forum ekonomi dunia mempertegas kondosi transformasi kehidupan manusia ke revolusi  industri 4.0, bahwa RI 4.0 ditandai dengan kemunculan superkomputer, robotika, kendaraan tanpa pengemudi, editing genetik dan perkembangan neuroteknologi yang memungkinkan manusia untuk lebih mengoptimalkan fungsi otak (Schwab, 2016). 

Ini merupakan momentum besar bagi para santri, tanpa menghilangkan identitas luhur mereka melalui pesantren, santri harus mampu memiliki kemampuan yang lebih pada dimensi kehidupan RI 4.0 ini. Dengan identitas peci tentu menjadi keunikan tersendiri apabila para santri menguasai digitalisasi ekonomi, sosial, politik, informasi beserta budaya. 

Artinya, kecerdasan buatan (Artificial intelligence), big data, nano teknologi, komputasi quantum, seluruhnya ditujukan untuk kesejahteraan manusia. (Tjandrawinata, 2016) harus menjadi bahasan penting sistem pendidikan pesantren di era R.I. 4.0 ini.

Maka sangat benar santri harus bersikap kreatif dalam keterbatasannya di pondok pesantren terhadap banjirnya arus informasi. Identitas santri dengan staylenya perlu, untuk diapresiasi dan di fasilitasi di pondok pesantren. Artinya sistem ketat dan sangat tertutup terhadap internet di pesantren harus diatur ulang dengan memberikan fasilitas komputer yang tersambung terhadap internet. 

Akan tetapi, pengawasan dan pengaturan waktu yang tepat dan mengikat harus di atur oleh para kyai, para santri dalam RI. 4.0 saat ini harus di kontrol agar identitas luhur sarung, baju Koko dan peci tidak hanya dijadikan sebuah identitas, akan tetapi mampu melekat terhadap pola pikir santri. 

Para kyai harus pandai memberikan akses informasi akan tetapi harus pandai memfilterisasi akses informasi yang dimanfaatkan para santri guna menyongsong RI. 4.0 tanpa rasa minder santri dengan identitas luhur mereka.

Para santri di era RI 4.0 ini tidak hanya dituntut pandai dalam memberikan ceramah, akan tetapi harus mampu memberikan wujud transformasi nyata dalam kehidupan bermasyarakat nantinya. 

Dalam hal ini santri harus memiliki kesadaran akan dunia YouTube, sehingga dapat memanfaatkannya sebagai media dakwah Islam, para santri dituntut untuk bagaiman pandai berwirausaha dalam era e-commerce dengan menjadi tecnopreneur, para santri perlu paham dengan follower, santri harus paham tatacara memilah berita hoax, santri harus menguasai ilmu eksakta dan santri dengan identitasnya harus sanggup dan tidak gagap dalam dunia teknologi informasi dan komunikasi di era RI. 4.0.

Perlu menjadi kebanggaan tersendiri ketika salah satu pesantren melahirkan ahli robotika. Beberapa waktu lalu salah satu pondok Darul Ulum, Mojokerto yang menang kontes robot di Jepang (Robotic Training and Competitions). Robot sumo namanya, karena dirancang untuk memenangkan kompetisi "adu otot" melawan robot dari negara lain. (Khozin, 2018). 

Ataupun para santri Sidogiri Pasuruan, yang memiliki keahlian dalam karya tulis dan disain grafis nya dengan buletin terkenalnya "Sidogiri media" yang telah banyak ditemukan di berbagai penjuru Indonesia, mereka tetap tidak menghilangkan eksistensi santri dan pesantren dalam penyebaran dakwah nilai-nilai Islam, terbukti dalam acara pelatihan jurnalistik oleh crew Sidogiri media di berbagai tempat, mereka tetap nyaman dengan staylenya peci, Koko dan sarung. 

Itu sungguh luar biasa peran santri dengan keluhuran identitasnya ala pesantren dalam menghadapi RI. 4.0. Atau ada pesantren al-qodiri yang berhasil membrandingkan air mineral al-qodiri pada masyarakat dan pusat perbelanjaan mini "Basmalah" yang semuanya tidak terlepas dari peran santri dan identitas mereka.

benar apa yang ditulis (Khozin, 2018) bahwa santri yang masuk kelompok creator memiliki kegemaran bernadi-anfai dan punya kecenderungan bermimpi besar untuk menciptakan sesuatu yang benar-benar baru serta mempunyai visi yang luas dan ide-ide yang dirancang untuk jangka panjang. 

Sosok creator perlu ditanamkan pada jiwa para santri karena dengan sendirinya para santri akan mengerti apa yang perlu dilakukan untuk menyongsong Revolusi Industri 4.0, yang erat kaitannya dengan bonus demografi 2030 serta menuju Indonesia emas pada saat usia satu abad Indonesia, tentunya dengan santri yang tetap kokoh terhadap identitas staylenya, dengan intelektualnya, dengan skillnya, dengan pemahaman nilai-nilai keislaman yang tetap di pegang teguh oleh santri yang siap menghadapi Revolusi Industri 4.0 dan mewujudkan Indonesia emas pada umur seratus tahun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun