Bukanlah maksud kami disini berupaya menguraikan semacam satire. Akan tetapi, kitab suci Al-Qur'an memberi kepada kami akan suatu FirmanNya didalam surat Ya-Sin (36) ayat 17. Kalimat ayat tersebut dapat dipahami dengan uraian melalui paradigma seperti ini. "Kewajiban dan tugas dari seseorang yang mengerti ilmu dan kebenaranNya, adalah bertujuan guna disampaikan pada khalayak ramai sejelas-jelasnya."
Secara lugas Allah SWT mengatakan hal tersebut didalam kitab suciNya. Jadi, tidaklah dibenarkan apabila suatu kebenaran yang kami ketahui, hanya kami konsumsi seorang diri saja. Nah, inilah yang para sahabat harus betul-betul pikirkan.
Barangkali, apa yang kemudian menjadi unsur penyebab kaum-kaum radikalis (stigmanya) kerap kali bermunculan, persepsi kitab suci tersebut dapat menjadi jawaban spesifiknya. Lalu, bagaimana jikalau seseorang yang paham Ilmu kebenaran tadi, tidak melaksanakan amanah itu? Jawabannya sudah pasti, kita akan mendapatkan murkaNya.
Jadi, yang mesti digaris-bawahi adalah; kehidupan ini memang tidak bisa lepas daripada hukum teori yang dulu pernah dirumuskan oleh para ilmuwan, diantaranya ada Newton (1643 - 1727) serta ada pula bertahun-tahun berikutnya, yaitu Einstein (1879 - 1955). Perihal hukum "Sebab-Akibat" dan "Aksi-Reaksi."
Ada semacam komparasi terhadap keduanya. Dan, hukum tersebut tidak dapat ditambahkan unsur "ketiga"nya. Sebab kitab suci maupun mitologi itu sendiri, tidak pernah bisa terhindar daripada metafora empirist hukum alam semesta dan Manusia.
Fenomena "homo-homini-lupus"Â terjadi, penyebabnya telah kami uraikan diatas. Akan tetapi, kalau kita ingin bertanya apakah itu lalu akan berkelindan selama-lamanya pada kehidupan? Pancasila pada sila ketiga, adalah jawaban utuh untuk menyangkalnya.
Bapak "founding fathers" sekaligus presiden pertama kita dahulu sudah begitu universalnya merumuskan undang-undang kelima sila tersebut.
Sebab bila hanya melalui prinsip "Persatuan"lah, kekuatan atau kekokohan bangunan rumah akan senantiasa kuat, walau terpa'an angin badai tiada habis-habisnya datang menghempas.
Satu nama seorang filsuf kami angkat, Beliau terlahir di negara Indonesia ini bernama Nicolaus Driyarkara (1913 - 1967). Namanya pun kemudian diabadikan menjadi nama sebuah universitas besar di jakarta.
Driyarkara berpendapat, sesungguhnya sikap ke-Serigalaan Individu Manusia bisa saja lenyap, manakala Ia menyadari bahwa kehadirannya adalah untuk mengasihi sesamanya. Dapat diketahui, gagasan beliau memang meneruskan filosofi Plato. Kehidupan Manusia adalah kawan antar sesamanya.
Plato mengatakan "You are all brothers, in the city." Ini jelas, apabila disadari kemudian diresapi sungguh-sungguh, niscaya sudah pasti kedamaian dan kesejahteraan kehidupan akan terwujud.