Dualisme diatas muka bumi, adalah mutlak suatu fitrah yang tercipta di tengah-tengah Makhluk konflik seperti Manusia. Sebagai contoh; Ada yang terhina, ada pula yang dipuja. Ada yang tersakiti, ada pula yang dikasihi. Dan, ada yang ditinggikan, ada pula yang kemudian merasa dimarjinalkan.
Realita ini, acapkali terkesan diabaikan, karena kita meng-asumsinya sebagai suatu kewajaran dalam hidup saja. Pernyataan "Dunia ini keras, maka selayaknya kita sebagai Manusia pun juga harus menanamkan nilai-nilainya dalam jiwa raga kita, agar tidak tertindas." Menjadikan kita selaku manusia selanjutnya, mengikis prinsip-prinsip kasih sayang pun secara perlahan-lahan.
Gagasan Filosofi "Human nature,"Â paradigma ini memang ada benarnya. Ketika Manusia terlahir, pada hakikatnya Ia berada di tahap kehampaan dalam dimensi pola pikir dan juga disertai oleh moralitasnya yang buruk. Baik itu secara spiritual, maupun secara anatomi jasmaniahnya. Adagium-adagium pun, akhirnya banyak bermunculan.
****
"Homo Homini Lupus" (Manusia adalah Serigala bagi Manusia yang lain), prinsip Thomas Hobbes (1588 - 1679) ini seakan-akan bagai abadi pada bumi alam raya dimana kita hidup. Tentu saja, semakin lama waktu bergulir, akan semakin mengalami semacam update (perubahan) para Serigala mengelabui Manusia untuk menciptakan berbagai kesalahan dan kerusakan.
Maka dari itu, disinilah yang kemudian menjadi letak daripada akar suatu problemanya. Kita patut menganalisis lalu merumuskan metedologi apa yang selanjutnya harus kita terapkan.
Kita jangan sampai membiarkannya larut, karena gejolaknya akan semakin berdampak kemana-mana. Bukan hanya pada ranah individu, namun akan kian menjalar hingga menjelma suatu peristiwa politik.
Meningkatnya angka grafik kriminalitas, bila kita mau men-survei atau menelisiknya lebih jauh, sesungguhnya bukan hanya sekedar perkara spiritualitas yang tidak memahami rasa berbelas-kasih antar sesama, tetapi ini juga menyangkut perihal permasalahan biologisnya.
Perasaan dendam, terpaksa, desakan, dan lain sebagainya, acapkali membuat kita selaku Makhluk sosial mau tidak mau untuk melakukan perbuatan-perbuatan keji tersebut, walau himbauan nalar serta batin mencoba memperingatinya.
Secara mayoritas, orang-orang di Negeri kita tercinta ini, lebih banyak bereaksi dengan suatu amarah dibanding mencari celah dan upaya retorika. Individu tersebut, tak dapat dipungkiri, memang persis merupakan alegoris daripada serigala yang dimaksud itu sendiri.