Dalam artikel sebelumnya, saya pernah bercerita tentang pengalaman saya di KPU. Nah, ketika saya dan kawan-kawan selesai mengunjungi KPU, kami benisiatif untuk pergi ke pasar membeli beberapa bahan-bahan makanan pokok. Suasananya sangat panas pada saat itu, apalagi kami sedang menjalankan ibadah puasa, bisa dibayangkan bagaimana panasnya saat itu.
sesampainya di pasar kami mencari beberapa bahan yang cocok untuk dibeli, akhirnya kami pun memutuskan membeli beras, minyak goreng, gula, buah-buahan. kami membeli semua bahan itu dengan cara patungan.Â
Setelah membeli semua yang ingin kami beli, kami melanjutkan perjalanan. Jalanan pada saat itu begitu ramai dan panas, kami melihat sudah banyak aktivitas anak-sekolah yang sudah kembali lalu lalang, dalam hati saya juga bersyukur pandemi covid19 akhirnya sudah mereda dan pemerintah perlahan bisa mengantisipasi hal tersebut.Â
Dalam, perjalanan, kami juga melihat banyak sekali orang orang yang bekerja di pinggir jalan, kami juga tak jarang melihat orang-orang yang kondisinya kurang sehat, memprihatinkan. Di antara mereka ada bapak tua renta, ada juga ibu-ibu, bahkan ada yang secara fisik membawa penyakit yang kemungkinan sudah cukup lama mereka idap.Â
Saya bersyukur bisa menjalani hidup lebih baik dari mereka tapi di lain sisi saya juga merasa kasian dan ingin membantu mereka sehingga kami akhirnya menemukan seorang bapak-bapak sedang duduk di pinggir jalan. kami menghampiri bapak tersebut dan memperkenalkan diri kami dan meminta izin untuk bercengkrama sebentar.
Beliau bernama pak Sugito, dari tampangnya bapak tersebut cukup kurus dan sudah cukup berumur. Pak Sugito juga cerita saat itu beliau sedang istirahat dari pekerjaannya. Sehari-hari, beliau berkerja mencari kardus bekas di pinggir jalan yang nantinya akan disetorkan dan dijual lagi dengan harga yang sudah ditetapkan. saat kami bertanya apakah penghasilan dari kardus-kardus tersebut cukup untuk kebutuhan sehari-hari,
 beliau berkata bahwa penghasilannya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok tetapi memang sangat terbatas. Lalu kami juga bertanya apakah beliau tinggal bersama keluarga? kami sedikit terkejut mendengar jawaban beliau bahwasanya pak Sugito sampai saat itu masih belum menikah apalagi memliki anak, dan selama ini beliau juga ikut tinggal di tempat saudaranya.
Lanjut kami juga bertanya apakah beliau hanya mengandalkan pekerjaan mencari kardus ini sebagai mata pencaharian? beliau mengatakan bahwa tidak hanya pekerjaan tersebut yang beliau, terkadang jika ada pembangunan beliau ikut mendaftar sebagai kuli bangunan, dan hasilnya lumayan untuk jadi tambah-tambah kebutuhan sehari-hari.Â
Tetapi, yang namanya pembangunan tidak setiap saat ada lowongan, jadi pekerjaan mencari kardus tetap menjadi sumber pemasukan utama pak Sugito selama ini. Kami juga bertanya, apakah beliau sempat menyelesaikan pendidikannya? beliau mengatakan pada kami bahwa pendidikannya tidak sampai tamat sarjana.
Setelah lama berbincang dengan beliau, kami merasa gerah karena cuaca yang cukup terik saat itu, sehingga saya pun menanyakan apakah beliau berpuasa? beliau menjawab saat itu beliau tidak berpuasa karena terkendala dana yang digunakan untuk sahur ataupun buka. kami pun sedikit khawatir karena bapak tersebut saking terhambatnya ekonomi hingga tidak sanggup menjalankan ibadah puasa.Â
Akhirnya kamipun memberikan bahan-bahan pokok yang tadi kami beli pada pak Sugito, kami berharap sedikit yang kami berikan bisa meringankan dan juga membantu aktivitas sehari-hari beliau, dan semoga dengan itu semua beliau bisa kembali menjalankan ibadah puasa sebagai bentuk kewajiban sebagai seorang muslim. Ketika kami memberikan sedikit bingkisan itu pada beliau, tampak raut wajah beliau senang dan berterimakasih.Â
Kami merasa tidak enak karena tidak bisa memberi lebih kepada beliau, kami hanya bisa berharap dan berdoa semoga yang kami berikan bisa dimanfaatkan sebaik mungkin dan kehidupan beliau ke depannya bisa lebih baik lagi.
Ada beberapa hal dan pelajaran yang kami peroleh dari percakapan kami dengan pak Sugito. Beliau mengajarkan kepada kami arti bersyukur yang sesungguhnya, karena dari setiap keterbatasan ekonomi beliau, pak Sugito tidak mengeluh dan mau menjalankan hidup seperti biasa. Kesabaran beliau dalam menghadapi cobaan dan ujian Allah ini perlu kami teladani.
Banyak orang di luar sana yang mengeluh dan kurang bersyukur karena keterbatasan ekonomi ataupun yang lainnya dibandingkan orang lain. Padahal di luar sana banyak sekali orang yang mendapatkan cobaan yang lebih berat tetapi masih mau menjalankan hidup tanapa berat hati.Â
Meskipun beliau memliki kebiasaan yang kurang baik yaitu tidak menjalankan kewajiban puasa di bulan Ramadhan tetapi menurut saya itu bisa dimaafkan karena katerbatasaan  beliau. Ini juga semestinya sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk membantu mereka, karena saya yakin orang seperti pak Sugito masih banyak di luar sana dan memerlukan perhatian dari kita.
Mungkin beras, gula, dan minyak goreng adalah bahan makanan yang sudah biasa kita lihat, tapi jika kita melihat ekspresi dari pak Sugito, itu dapat menyadarkan kita bahwa sebuah hal yang biasa saja bisa saja sangat berharga di mata orang lain. Itulah mengapa rasa syukur itu penting kita tanamkan dalam diri kita. Dengan bersyukur, kita bisa lebih menghargai apa yang Allah berikan kepada kita.Â
Saya yakin kita semua sejak kecil telah dididik oleh orang tua kita untuk senantiasa bersyukur apalagi dalam agama banyak sekali ayat Quran, hadits, dan dalil yang menyerukan kepada kita semua untuk selalu bersyukur.
Saya harap dengan membaca artikel ini, kita semua ke depannya bisa menjadi pribadi yang lebih baik, yang lebih bersyukur atas apa yang telah Allah berikan, dan juga semoga Allah limpahkan rizki kita semua karena di luar sana banyak yang membutuhkan perhatian kita, kedermawanan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H