Mohon tunggu...
Ahmad Nasrulloh
Ahmad Nasrulloh Mohon Tunggu... Mahasiswa - universitas insya alloh negeri bandung

mode hemat energi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Revitalisasi Nilai Aswaja di Tengah Arus Politik Neoliberalisme

13 Desember 2023   20:39 Diperbarui: 13 Desember 2023   20:52 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh : Ahmad Nasrulloh 

Bismillah...

Aswaja adalah salah satu aliran pemahaman teologis (Aqiedah) Islam. Selain Aswaja ada faham-faham teologi lain seperti Khawarij, Murji'ah, Qadariyah, Jabariyah dan Syi'ah. Pemahaman teologi Aswaja ini diyakini sebagian besar umat Islam sebagai pemahaman yang benar yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya. Kemudian secara turun-temurun faham Aswaja diajarkan kepada generasi berikutnya (Tabi'in-Tabi'it Tabi'in) dan selanjutnya diteruskan oleh generasi-generasi berikutnya sehingga sampai kepada kita.

Materialisme adalah teori yang mengatakan bahwa atom materi bergerak dan berkembang sebagai pembentuk awal dari alam, akal dan kesadaran merupakan proses materi fisik.

Materialisme juga tidak mengakui dzat adikodrati dengan begitu materialisme adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di alam kebenaran semata-mata dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra.

Pembahasan

Aswaja

            Aswaja muncul sebagai reaksi terhadap faham kelompok Mu'tazilah, yang dikenal sebagai "kaum rasionalis Islam" yang ekstrim. Kelompok ini mengedepankan pemahaman teologi Islam yang bersifat rasionalis ('aqli) dan liberalis. Faham Mu'tazilah ini antara lain dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filsafati dari Yunani. Mereka berpegang teguh pada faham Qadariyah atau freez will, yaitu konsep pemikiran yang mengandung faham kebebasan dan berkuasanya manusia atas perbuatan-perbuatannya. Artinya, perbuatan manusia itu diwujudkan oleh manusia itu sendiri, bukan diciptakan Tuhan. Di samping reaksi terhadap faham Mu'tazilah, Aswaja juga berusaha mengatasi suatu faham ekstrim yang lain, yang berlawanan faham secara total dengan kaum Mu'tazilah, yaitu faham kaum Jabariyah.di mana mereka berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan atau kuasa dalam berkehendak dan berbuat. Kehendak (iradah) dan perbuatan manusia terikat dengan kehendak mutlak Tuhan. Jadi segala perbuatan manusia itu dilakukan dalam keadaan terpaksa (mujbar). Mereka akhirnya befikir fatalistic. Mengapa? Karena kelompok ini cenderung berfikir skriptualistik sementara kelompok Mu'tazilah berfikir rasionalistik. Dalam menghadapi kedua faham yang sama-sama ekstrim tersebut, Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari (W.324 H) dan Imam Abu Manshur al-Maturidi (W. 333 H) merasa berkewajiban untuk meluruskan kedua kelompok tersebut sehingga sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Mereka berdua memunculkan kembali pola pikir yang mengambil jalan tengah antara kedua faham teologi yang ekstrim tersebut. Dan perlu diketahui bahwa selama 40 tahun al-Asy'ari adalah pengikut faham Mu'tazilah. Karena adanya argumentasi Mu'tazilah yang tidak benar dan ditambah dengan hasil mimpinya bertemu Nabi SAW; di mana Nabi SAW berkata kepadanya bahwa yang benar adalah mazhab ahli Hadits (al-Sunnah), bukan mazhab Mu'tazilah, maka ditinggalkanlah faham Mu'tazilah. Keduanya akhirnya ingin mengembalikan faham aqiedah umat Islam sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya, dengan mengemukakan dalil-dalil naqliyah (nash-nash al-Qur'an dan Hadits) dan dalil-dalil aqliyah (argumentasi rasional). Karena faktor dari kedua tokoh tersebut, Aswaja juga dikenal dengan istilah al-Asy'ariyyun dan al-Maturidiyyun. Berkait dengan hal tersebut perlu diketahui bahwa mayoritas umat Islam di negeri kita, terlebih lagi kaum Nahdliyyin (NU), dan wilayah-wilayah Asia Tenggara lainnya, adalah Asy'ariyyun. Sebagai catatan buat kita, bahwa meskipun kedua ulama tersebut dikenal sebagai pencetus dan sekaligus pembela faham Aswaja, namun di antara keduanya ada perbedaan-perbedaan yang bersifat far'iyyah (cabang), bukan dalam masalah-masalah pokok aqiedah; Al-Asy'ari lebih condong ke faham Jabariyah sementara al-Maturidi lebih condong ke faham Qadariyah. (Alangkah baiknya bila mana kita dapat mempelajari konsep pemikiran al-Maturidi juga sehingga kita dapat memiliki pemahaman teologi Aswaja secara lebih luas).

Materialisme

            Materialisme adalah paham dalam filsafat yang menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi. Pada dasarnya semua hal terdiri atas materi dan semua fenomena adalah hasil interaksi material. Materi adalah satu-satunya substansi. Sebagai teori, materialisme termasuk paham ontologi monistik.

Dalam studi-studi Marxisme, memang dikenal dua pencabangan besar metode, yaitu Materialisme Historis (Histomat) dan Materialisme Dialektis (Diamat), Materialisme Histons ditemukan dan diterapkan oleh Karl Marx sendiri, sedangkan Materialisme Dialektis ditemukan, disisternatisir, dan dikembangkan oleh para Marxis, yaitu Friedrich Engels, Lenin, Stalin, Mao, dan lain-lain. Banyak perdebatan seputar hubungan kedua metode ini, apakah keduanya saling mengandaikan atau terpilah secara ketat

Secara umum, Materialisme Historis adalah metode kritis-ilmiah untuk menyelidiki perkembangan masyarakat dari sejarah produksi materialnya. la pada hakikatnya adalah sejarah, namun metode sejarah yang didasarkan kepada prinsip materialis, yaitu konsepsi bahwa sejarah bergerak dari hal-hal material yang bisa diukur, diamati, dan dipelajari. "Mater" di sini lebih luas dari sekadar pengertian "benda" atau "harta". "Materi" berarti segala hal yang melingkupi semesta empiris yang bisa diamati manusia, yaitu alam fisik, lingkungan hidup, kehidupan biologis, bahan bahan mentah, dan hasil-hasil produksi.

Sementara itu, Materialisme Dialektis adalah doktrin bahwa realitas bekerja dengan hukum-hukum pertentangan dialektis, di mana hal-hal yang bertentangan akan melebur dan melahirkan sintesis baru yang lebih rumit dan kompleks. Materialisme Dialektis adalah doktrin filsafat, dan sebagai doktrin filsafat, la banyak diambil dari pemikiran filsafat Yunani tentang alam. Di antara dua paham berpengaruh di balik Materialisme Dialektis adalah Naturalisme (pandangan bahwa kehidupan manusia tidak lepas dari perkembangan alam dari harus didasarkan kepada "hukum-hukum alam") dan Evolusionisme (pandangan bahwa kehidupan manusia berkembang dari satu fase ke fase lain).

Pada sisi Materialisme Dialektis ini sebenarnya rawan terjadi persinggungan keras dengan ajaran Islam, yaitu ketika doktrin doktrin tentang realitas dan dialektika diterapkan begitu saja kepada hal-hal yang bersifat metafisik atau gaib, seperti pembuktian eksistensi Allah, akhirat, pahala, malaikat, dan lain-lain, mengingat dialektika adalah konsep filsafat yang diturunkan dari pengamatan empiris atas realitas fisik, yang kemudian didalilkan (dipostulatkan) sebagai logika bagi segala kejadian di alam.

Ketidaksetujuan Hadratussyaikh adalah pada sisi ketika materialisme ini diterapkan secara membabi-buta kepada hal hal yang gaib, yaitu ketika orang tergoda untuk berpikir bahwa Materialisme Dialektis adalah padanan atau bahkan lebih unggul daripada ajaran agama. Na'udzubillah. Hal ini berarti perpindahan dari Materialisme sebagai metode ilmiah menjadi Materialisme sebagai keyakinan atau akidah.

Singkatnya, sebagai metode ilmiah-kritis, Materialisme dapat kita pelajari, yaitu Materialisme Historis, guna memahami perkembangan umat manusia di dunia dan sejarahnya. Sebagai metode ilmiah, Dialektika juga masih bermanfaat untuk membaca kecenderungan-kecenderungan realitas empiris. Namun, ketika Materialisme diyakini sebagai akidah, meresap menjadi keyakinan, ia wajib dihindari, karena otomatis bertentangan dengan ajaran Islam yang mengimani hal-hal yang gaib (nonempiris).

Barangkali karena tingkat literasi umat Islam yang saat itu masih rendah, para ulama dengan tegas menghalau berkembangnya Marxisme dengan segala aspeknya, karena saat itu barangkali tidak ada jaminan bahwa orang yang mempelajari Marxisme terhindar dan "bahaya akidah" Marxisme dengan turut meresapi dan meyakini segala ujaran dan wacana lontaran Marx sebagai butir-butir keimanan yang kudu diyakini. Padahal, Marx sendiri memperlakukan karya-karyanya bukan sebagai kitab suci untuk diimani, tetapi sebagai teks ilmiah yang terus diuji, dikritik, dan disempurnakan. Barangkali karena kebutaan sejumlah kalangan Marxis yang demikian fanatik pada pesona dan kehebatan Marx yang membuat "sakralisasi Marx" ini muncul, sehingga menempatkan Marxisme berhadapan langsung dengan agama. Hal ini makin diperburuk dengan propaganda kapitalisme dan "kaki-tangannya" yang ikut memfitnah Marxisme sebagai ajaran "dogmatis" dan "berbahaya".

Untuk saat ini, dengan tingkat literasi umat Muslim yang jauh berkembang di mana banyak karya Marx mudah diakses, bahkan Marxisme telah menjadi ranah perdebatan yang dinamis dan bidang studi yang berpengaruh pada berbagai keilmuan (modern), juga di mana banyak situasi kapitalisme mutakhir makin membenarkan prediksi dan teori Marx sendiri.

Relevansi Aswaja dan Materialisme

            Ekspansi kapitalisme semakin menjadi-jadi. Logika dan hukum gerak yang mengharuskannya memperbesar diri secara terus menerus menyebabkan berbagai dampak merusak: krisis lingkungan, krisis ekonomi, krisis kemanusiaan, dan lain sebagainya. Di Indonesia belakangan, kekuatan kapital mewujud dalam bentuk UU Cipta Kerja yang memfasilitasi agenda-agenda destruksi sosial-ekologis hingga menjadi momok bagi rakyat dan lingkungan yang semakin terdegradasi akibat eksploitasi tak berkesudahan.

Menyikapi pandemi Covid-19 yang tidak kunjung merede, rezim justru semakin memperlihatkan watak eksploitatif kapitalistiknya dengan lebih memprioritaskan kepentingan pelaku bisnis di atas kemaslahatan sosial. Hal ini semakin diperparah dengan besar-besaran dana bantuan social oleh pihak kementerian, hingga penggusuran ruang hidup warga di Tamansan dan Pancoran melalui tindak repres aparatus negara yang tidak lain hanyalah cerminan dar persekutuan pihak pengusaha dan rezim

Belum tuntas persoalan kemanusiaan yang mendera rakyat, kegagapan rezim penguasa dalam menyikapi berbagai bencana ekologis yang disebabkan perusakan sumber daya alam secara masif juga semakin mencekik kondisi rakyat. Alih alih mematuhi berbagai regulasi lingkungan dan efektivitas dampaknya terhadap pemulihan lingkungan, rezim malah cenderung abai dengan industri ekstraktif yang dioperasikan secara kemaruk dengan izin yang ugal-ugalan. Lantas dengan mudahnya melempar statement fatalistik dengan berbagai pembenaran religius terhadap berbagai bencana yang terjadi.

Para pewaris nabi menghadapi tantangan yang cukup pelik untuk bisa teguh memajukan agenda-agenda pro terhadap kemanusiaan dan lingkungan. Di saat berbagai wacana keaswajaan menjadi komoditas murahan yang banyak dipergunakan sebagai legitimasi berbagai kerusakan yang ada, alih-alih sebagai wacana tandingan arus utama yang memperjuangkan senyata-nyatanya jalan keselamatan.

Pada saat yang sama, materialisme (marxisme) sebagai ilmu yang menjadi tonggak kritisisme ekonomi-politik untuk membedah cara kerja kapital masih belum familier pasca penghancuran intelektual dan khazanah keilmuan yang menguliti kapitalisme oleh Orde Baru. Geliat kebangkitan wacana kritis yang memadukan wacana teologis dengan marxisme sebetulnya sudah dimulai dengan kehadiran tulisan tulisan di Islam Bergerak maupun rubrik tabayyun IndoPROGRESS. Meski demikian, wacana-wacana demikian dapat dikatakan masih berputar di kalangan terbatas.

Hidup di bawah rezim kapitalisme global dan nasional sekarang. jutaan warga Nahdliyin pengamal Aswaja terjerat dalam krisis sehari-hari yang mengancam pekerjaan (ma'isyah) mereka, juga lahan-lahan dan ruang hidup mereka, baik disebabkan kebijakan Negara yang merugikan rakyat atau oleh ulah elite dan perusahaan yang melakukan kezaliman berupa pemerasan tenaga, eksploitasi sumber daya alam, diskriminasi, atau perampasan ruang hidup (aset dan tanah). Semua penyebab  krisis ini secara sistemik dipupuk oleh kapitalisme, sister, ekonomi dan politik yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan materi (profit) dan menghimpunnya di tangan sejumlah kecil manusia (baca: kelas kapitalis).

Jutaan warga Nahdliyin hidup sehari-hari dengan kesulitan ekonomi yang menghimpit, dan hanya sebagian kecilnya saja

yang berhasil lolos dan bergabung dengan kelas menengah yang mapan. Hal itu sudah kita ketahui bersama. Namun sayangnya, secara keagamaan, belum ada kerangka pemikiran yang utuh untuk memahami akar persoalan ini dengan keilmuan yang memang diperuntukkan untuk membedah "kapitalisme". Tentu, kapitalisme tidak mungkin dikaji secara utuh dengan Ilmu Nahwu atau Shorof. Atau ilmu Fiqh dan Tasawuf, ilmu-ilmu pesantren. Tidak nyambung. Kapitalisme dengan segala software dan hardware-nya, yaitu sebagai teori dan kenyataan, hanya dapat dipahami dengan perangkat ilmu yang memang difokuskan mempelajarinya, yakni Marxisme, atau dalam istilah lain (lagi-lagi istilah yang "elitis"), ilmu kritik atas ekonomi-politik. Sumbangan Karl Marx untuk keilmuan ini adalah bukunya sejumlah tiga jilid berjudul Capital (Modal), yang berisi uraian mendalam mengenai cikal bakal kapitalisme dan cara kerjanya.

Di sinilah buku ini mengajak kita berpikir: bisakah kita ber Aswaja dengan mengadopsi pemikiran kritis Marx atas kapitalisme?

Pertama, perlu diperjelas mana ranah Aswaja dan manakah ranah Marxisme, karena ini berpotensi rancu. Aswaja adalah ranah akidah dan nilai-nilai, sedangkan Marxisme adalah ranah wawasan keilmuan yang dinamis dan aktual.

Sebagai contoh, Aswaja an-Nahdliyah yang diikuti warga Nahdliyin di Indonesia, atas tihad KH Achmad Siddiq, Rais 'Aam PB NU periode 1984-1991, berhasil merumuskan tiga butir nilai utamanya: tawassuth, i'tidal, dan tawazun Muncul kemudian tafsir beliau bahwa "prinsip tawassuth, jalan pertengahan, tidak tatharruf (ekstrem) ke kanan-kananan atau kekiri-kirian" Dari prinsip ini tercermin penerapan Aswaja dalam bentuk upaya "mencegah ekstremisme dan sikap berlebih-lebihan (al-ghuluww) yang menjerumuskan orang kepada penyelewengan aqidah dan syariah"

Sementara itu, Marxisme dalam praktiknya mendorong penerapan nilai-nilai seperti "progresif-revolusioner (tagaddu miyah wa tsauriyah), nilai yang mensyaratkan militansi dalam mem bongkar tatanan yang menindas dan keberpihakan yang utuh.

Pertanyaannya, bisakah "mendamaikan" atau mencari titik temu antara prinsip tawassuth dan prinsip perjuangan revolusioner? Itu di satu sisi. Di sisi lain, kapitalisme yang berkembang sekarang benar-benar dalam tahap yang sangat destruktif, dan telah menghasilkan kerusakan yang nyata di segala sendi kehidupan, baik kerusakan moral maupun materiil. Menghadapi kapitalisme tidak dapat dilakukan dengan setengah-setengah, kecuali menoleransi sebagian atau seluruh kerusakan yang ditimbulkannya.

Di sinilah permasalahan praksis-amaliyah Aswaja yang Harus mengkonstruk materialism sebagai landasan menghadapi realitas sekarang. Aswaja hari ini seakan-akan menjadi apologi atas pembiaran kapitalisme, pembiaran ketertindasan dan eksploitasi sistemik keseharian. praksis-amaliyah Aswaja yang seolah "melempem menghadapi realitas sistem kapitalisme, malah terkadang ada pihak yang bersikap oportunis dan mencari untung dari kapitalisme untuk pundi-pundi pribadi atau lembaganya, misalnya dengan tanpa merasa bersalah bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan besar, yang menghisap para buruhnya atau memiliki catatan kejahatan lingkungan hidup (ecological crime, seperti tambang, dll.), untuk membiayai kegiatan keagamaan. Kritik buku ini, lebih jauh, mencoba menelusuri akar akarnya pada bangunan ideologi Aswaja yang mendasari praksis-amaliyah tersebut untuk memeriksa benarkah Aswaja memang membiarkan ketertindasan, atau sebaliknya memiliki potensi mengubah masyarakat ke arah perubahan struktural yang adil dan sosialistik. Atau, lebih eksplisit lagi: ke arah Sosialisme.

Kesimpulan

Jika Aswaja dilihat sebagai seperangkat akidah yang telah utuh dan komprehensif pada dirinya (jami' wa mani'), maka Aswaja tidak butuh doktrin materialisme, karena Aswaja telah cukup menjadi pegangan dan pedoman hidup kita sebagai Muslim, khususnya di bumi Nusantara ini.

Namun, jika Aswaja dilihat sebagai praksis sosial dengan segala dinamika dan pasang surutnya, terutama dalam hubungan dengan modal, pemodal, dan Negara, serta kekuasaan secara umum, maka Aswaja (sekali-kali) ilmu materialisme, ketika Aswaja tampak tidak berdaya menghadapi gempuran kapitalisme yang merongrong umat dan rakyat, dan merongrang sendi-sendi agama dan tegaknya keadilan di tengah umat.

Mengamalkan Materialisme bukan berarti membuat kita menjadi penganut ajaran Marxisme. Bukan. Mengkorelasikan aswaja dengan materialisme, artinya: mengedukasi warga Nahdliyin mengenai kapitalisme dan kritiknya, mewaspadai penggiringan Aswaja sebagai pendukung bagi kapitalisme dan kepentingan kelas kapitalis, serta mengoreksi langkah-langkah sosial-ekonomi dan politik yang ditempuh warga Nahdliyin, dalam hubungannya dengan perkembangan kapitalisme. Pada sisi ini, tulisan di hadapan Anda ini penting dibaca, ditimbang, dan dikritisi.,

Khudz ma shafa watruk ma kadar.

 "Ambillah yang jernih, dan tinggalkan yang keruh":

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun