Program ini menjadi yang utama karena disinilah hulu aliran sampah berada. Pembiasaan kepada masyarakat untuk membuang sampah sesuai pada tempat dan jenisnya perlu dilakukan secara bertahap melalui pembinaan oleh Pemerintah Desa dan pendidikan lingkungan hidup dari DLH. Dimulai dari tingkat rumah tangga atau Dawis (Dasa Wisma).
Seluruh program pengelolaan sampah yang berkelanjutan tersebut memastikan keterlibatan masyarakat secara menyeluruh dan membutuhkan pengawalan dari masyarakat sendiri.
Ketiga, kurangnya pendidikan tentang lingkungan hidup yang diberikan kepada masyarakat. Kesadaran masyarakat akan pelestarian lingkungan hidup dan pengelolaan sampah tidak akan terbentuk tanpa adanya pendidikan dan pelatihan yang efektif dan konsisten.
Pihak DLH menerangkan bahwa sosialisasi dan pendidikan hanya dilakukan jika ada permintaan dari pihak tertentu. Pernyataan ini menunjukkan bahwa DLH sebagai pihak yang berwenang masih pasif dalam memberikan pendidikan.
Sebaliknya, penulis berpendapat bahwa pemerintah melalui DLH harus aktif dalam mendidik masyarakat luas melalui berbagi pendekatan.
Pendekatan yang dinilai efektif adalah pendekatan agama. Pendekatan ini mampu membentuk kesadaran masyarakat tentang lingkungan dan sampah karena nilai-nilai tersebut ada dalam ajaran agama.
Teori Otoritas Weber (1930) menyatakan bahwa ide, spirit dan pola pikir yang berasal dari doktrin agama dapat membentuk perilaku masyarakat.
Hal ini karena agama telah meresap kuat dan menjadi keyakinan yang mengakar. Artinya, doktrin yang berdasar dari firman Tuhan memiliki peran penting dalam membentuk pola pikir manusia untuk mencintai alam dan lingkungannya.
Oleh karena itu, Dinas Lingkungan Hidup harus merangkul seluruh pemuka agama untuk bersama-sama mendidik masyarakat agar mau menjaga lingkungan dan mengelola sampah secara konsisten.
Indikator keempat adalah sistem pengolahan sampah di TPA yang masih buruk. TPA di Indonesia pada umumnya masih mengadopsi sistem pembuangan terbuka (open dumping), termasuk TPA Wonorejo, Kabupaten Wonosobo. Sistem open dumping ini menimbulkan banyak dampak negatif, terutama bagi lingkungan dan masyarakat sekitar TPA.
Timbulnya bau, air lindi yang tersebar, dan gas metana yang dihasilkan dapat mengganggu kesehatan masyarakat, merusak lingkungan, mencemari mata air, hingga memunculan konflik sosial. Contohnya saja pada tahun 2017, puluhan warga Kelurahan Wonorejo, Kecamatan Selomerto, yang tergabung dalam Forum Masyarakat Terdampak Tempat Pembuangan Akhir mendatangi gedung DPRD Wonosobo untuk mengajukan tuntutan terkait dampak TPA bagi warga setempat. Warga mengaku keberadaan TPA Wonorejo cukup mengganggu, utamanya dampak bau dan limbah cair.
Berbagai dampak negatif yang muncul menunjukkan bahwa pengelolaan sampah belum digarap secara baik. Faktanya hanya 43.49% dari total sampah organik di TPA Wonorejo yang diolah melalui metode composting (pembuatan kompos). Metode pengolahan ini hanya dapat diterapkan pada sampah organik.