Biasanya nasi itu dimasak di rise cooker atau kompor listrik, kali ini sengaja sudah beberapa hari tidak dimasak di kompor listrik supaya terasa lenak dan lezat. Namun setelah ditanak harus diangi terlebih dulu.
 Sambil menunggu nasi sarapan pagi dihidangkan istriku, aku menyempatkan diri untuk salat duha. Usai salat duha aku keluar menatap burung-burung tekukur yang masih bersahut-sahutan. Burung-burung itu memandangi kandang kosong yang digantung di pagar balkon rumahku. Ya, rupanya burung itu tak segera menjauh dari rumah sejak beberapa bulan kulepaskan. Ia pernah menghilang kini kembali dengan kawanan yang entah dari mana.
 Biasanya tiap pagi burung itu bertengger sendirian sambil menderuk di atas genting. Kini ia sudah berpasangan.
 Tekukur itu bukan milikku tapi milik anakku yang ketiga, Daffa. Beberapa waktu lalu ia mengmbilnya usai bermain bola saat menjelang magrib. Burung itu masih bayi, basah dan sangat kepayahan. Lalu ia membawanya ke rumah, dan memasukkannya ke kandang bekas yang masih kosong. Tiap hari diberi makan beras halus yang dipapaknya[2]. Lalu disuapinya perlahan-lahan. Sebulan, dua bulan, dan seterusnya tekukur itu sudah berbulu panjang, dan mulai menderuk. Setiap pagi aku menikmati suaranya.
 "Yah, burung itu, kan sudah bisa makan sendiri, lepas aja supaya bebas." saran Daffa padaku.
 Lama sekali aku enggan melepasnya karena suaranya yang merdu. Namun aku terus merenung, sambil mendendangkan lagu "Burung dalam Sangkar," yang pernah dinyanyikan oleh Emilia Contessa.
 "Wahai kau burung dalam sangkar
sungguh nasibmu malang benar
tak seorangpun ambil tahu
duka dan lara di hatimu
Wahai kau burung dalam sangkar
dapatkah kau menahan siksa
dari kekejaman dunia
yang tak tahu menimbang rasa
Batin menangis hati patah
riwayat tertulis penuh dengan
tetesan air mata
Sungguh ini suatu ujian
tetapi hendaklah kau bersabar
jujurlah kepada Tuhan
Wahai kau burung dalam sangkar
dapatkah kau menahan siksa
dari kekejaman dunia
yang tak tahu menimbang rasa