Mohon tunggu...
Ahmad Mutawakkil Syarif
Ahmad Mutawakkil Syarif Mohon Tunggu... Mahasiswa - Just a kid from Cendrawasih, Makassar

Hidup adalah seni menggambar tanpa penghapus

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Independensi KPK dan Tantangan Keabsahan Seleksi Pimpinan

5 Desember 2024   13:52 Diperbarui: 5 Desember 2024   14:55 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

INDEPENDENSI KPK DAN TANTANGAN KEABSAHAN SELEKSI PIMPINAN

Beberapa minggu lalu, Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan untuk melakukan pengujian materiil UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap beberapa pasal pada UUD NRI 1945. Permohonan tersebut diajukan oleh Boyamin Bin Saiman. Sebelumnya perlu diketahui bahwa beliau merupakan ketua sekaligus founding dari Mayarakat Anti Korupsi di Indonesia (MAKI).

Pada kesempatan kali ini akan coba dijelaskan secara sederhana apa yang terdapat dalam surat permohonan tersebut. 

Permohonan yang diajukan Pak Boyamin ini telah diajukan sejak tanggal 5 November 2024. Pada surat yang diajukan dengan nomer 160/PUU/PAN.MK/AP3/11/2024 tersebut, terdapat dua pihak yang menjadi Pemohon, yakni Boyamin dan Supriyadi. Yang mana keduanya merupakan perwakilan dari lembaga Masyarakat Anti Korupsi di Indonesia.

Seperti yang sudah disebutkan diatas bahwa dalam permohonan tersebut pemohon mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian materiil UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap beberapa pasal pada UUD NRI 1945. Uji materil ini merupakan salah satu kewenangan MK yang diberikan langsung oleh konstitusi kita.

 Sebagaimana yang terdapat pada Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar...."

Adapun yang menjadi inti dari permohonan ini adalah persoalan terkait pemilihan pimpinan KPK oleh DPR berdasarkan usulan Presiden. pemohon menilai pansel Dewas KPK periode 2024-2029 seharusnya dibentuk oleh Presiden yang baru dilantik pada tahun 2024. Untuk lebih lanjutnya, penulis telah merangkum beberapa poin penting dalam surat permohonan tersebut, dengan detail sebagai berikut:

  • Pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak dapat mendaftar sebagai anggota Panitia Seleksi (Pansel) yang semestinya dibentuk oleh Presiden Prabowo. Hal ini terjadi karena saat ini DPR telah menerima hasil seleksi dari Pansel yang dibentuk oleh Presiden Jokowi. Jika situasi ini tidak diperbaiki, DPR dipastikan akan melanjutkan pembahasan dan pemilihan lima dari sepuluh nama hasil Pansel tersebut untuk disetujui menjadi Pimpinan KPK dan Dewan Pengawas KPK, sehingga Pemohon kehilangan kesempatan yang seharusnya ada.
  • Menurut Pemohon, jika Presiden Prabowo tidak membentuk Panitia Seleksi (Pansel) untuk Calon Pimpinan (Capim) dan Calon Dewan Pengawas (Cadewas) KPK, warga negara Indonesia (WNI) yang memenuhi syarat tidak akan dapat mengajukan diri sebagai calon. Pemohon meyakini bahwa hanya Presiden Prabowo yang memiliki kewenangan untuk membentuk Pansel dan menyerahkan hasilnya kepada DPR. Keyakinan ini didasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022, yang menjadi rujukan dalam mendukung argumen tersebut.
  • Faktanya, Presiden Jokowi telah membentuk Panitia Seleksi (Pansel) dan pada 15 Oktober 2024 mengirimkan hasil kerja Pansel tersebut ke DPR RI. Namun, Pemohon berpendapat bahwa Presiden Jokowi tidak memiliki hak atau kewenangan untuk membentuk Pansel Capim dan Cadewas KPK, serta menyerahkan hasilnya kepada DPR .
  • Pandangan ini didasarkan pada argumen bahwa pemilihan Pansel untuk Capim dan Cadewas KPK hanya boleh dilakukan sekali dalam satu periode jabatan Presiden dan DPR. Presiden Jokowi telah melakukannya pada tahun 2019, sehingga untuk periode Pimpinan KPK dan Dewas KPK 2024-2029, kewenangan tersebut seharusnya berada pada Presiden Prabowo Subiyanto. Hal ini merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022, khususnya pada halaman 117 alinea terakhir dan halaman 118 alinea pertama.
  • Sehubungan dengan hal tersebut, Pemohon telah berikirim surat dengan Presiden Prabowo untuk megajukan permohonan pembentukan Pansel KPK dengan maksud hendak mengajukan mendaftarkan diri menjadi calon Dewan Pengawas KPK.
  • Pemohon menekankan bahwa jika keabsahan ini tidak dijaga, maka dapat menjadi celah hukum bagi pelaku korupsi untuk menggugat melalui Praperadilan. Para tersangka korupsi dapat menggunakan alasan bahwa penetapan status tersangka tidak sah, karena dilakukan oleh Pimpinan KPK yang dihasilkan dari proses yang cacat hukum. Pemohon juga percaya bahwa, cepat atau lambat, akan ada hakim yang mengabulkan gugatan semacam ini, sehingga keabsahan Pimpinan KPK menjadi krusial untuk mencegah konsekuensi hukum yang lebih besar.
  • Ketidakabsahan pembentukan Pansel KPK oleh Presiden Jokowi disebabkan oleh pelanggaran terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112 Tahun 2022, yang secara tegas menyatakan bahwa Pimpinan dan Dewan Pengawas (Dewas) KPK periode 2024-2029 harus dipilih melalui Pansel yang dibentuk oleh Presiden periode 2024-2029. Oleh karena itu, produk Pansel yang dibentuk oleh Presiden Jokowi dianggap tidak sah.
  • Produk Pansel tersebut berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan hukum bagi KPK periode 2024-2029. Jika hasil Pansel Presiden Jokowi tetap diteruskan oleh DPR dan para kandidatnya dilantik menjadi Pimpinan atau Dewas KPK, maka hal ini tidak hanya menciptakan masalah hukum operasional tetapi juga berisiko menimbulkan persoalan konstitusional di Mahkamah Konstitusi.
  • Karena itulah seharusnya Pasal 30 Ayat (1) yang mengatur kewenangan "Presiden" perlu dimaknai sebagai Presiden yang masa jabatannya sejajar dengan periode Calon Pimpinan (Capim) dan Calon Dewan Pengawas (Cadewas) KPK. Jika ketentuan ini tidak ditegaskan, Pemohon merasa dirugikan karena berpotensi diangkat menjadi Dewan Pengawas KPK yang statusnya tidak sah dan tidak memiliki kepastian hukum. Hal ini dapat membuka peluang bagi pihak lain untuk menggugat keabsahan pengangkatan tersebut melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau bahkan Mahkamah Konstitusi (MK), sehingga menimbulkan ketidakstabilan hukum dan administrasi.
  • Kerugian yang dialami Pemohon akan teratasi jika Pasal 30 Ayat (1) yang menyebutkan kata "Presiden" dimaknai sebagai Presiden Republik Indonesia yang masa jabatannya sejajar dengan periode Calon Pimpinan (Capim) dan Calon Dewan Pengawas (Cadewas) KPK yang akan dilantik pada akhir Desember 2024.

Itulah uraian singkat yang terdapat pada surat permohonan. Intinya tujuan dari permohonan ini adalah untuk memastikan proses seleksi dan penunjukan pimpinan serta dewan pengawas KPK berjalan dengan sah, kredibel, dan tidak bertentangan dengan konstitusi.

Jika kita mengikuti perkembangannya, Permohonan tersebut sudah di Registrasi Mahkamah dengan Nomor 163/PUU-XXII/2024, dan telah diterbitkan ARPK dengan Nomor 163/PUU/PAN.MK/ARPK/11/2024. Dan pada tanggal 28 kemarin, telah dilakukan proses sidang pemeriksaan pendahuluan. Adapun sidang berikutnya diagendakan pada tanggal 11 Desember 2024 (untuk selengkapnya baca disini https://tracking.mkri.id/index.php?page=web.TrackPerkara&id=163%2FPUU-XXII%2F2024).

Berkaca pada sejarah, sebenarnya pengujian materiil UU UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah beberapa kali dilakukan (sekali lagi, untuk informasi lebih lanjut bisa baca di situs web mkri.co.id)

Independensi KPK

Jika kita perhatikan kembali uraian pada permohonan diatas, maka akan ditemukan beberapa poin penting yang menjadi tujuan permohonan, salah satuya berkaitan dengan independensi KPK. Jika Pansel untuk Pimpinan KPK yang dirumuskan Presiden Jokowi tetap disahkan, maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan membuka lebih lebar peluang intervensi politis.

Padahal seharusnya sebagai lembaga yang dibentuk untuk menangani kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sudah seharusnya KPK bersifat independent dalam menjalankan tugasnya dan bebas dari segala bentuk intervensi, baik dari kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. 

Independensi ini penting untuk memastikan bahwa KPK dapat menjalankan tugasnya secara profesional, transparan, dan akuntabel dalam memberantas korupsi, yang merupakan ancaman serius terhadap tata kelola pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat.

Sebagai "Harimau" yang diutus negara untuk berburu koruptor, sudah seharusnya KPK beroperasi tanpa adanya tekanan ataupun konflik yang berpotensi melemahkan independensinya, selayaknya harimau yang sedang berburu dihutan, yang bebas menentukan mangsa yang ingin diburu dan "dihabisi". 

Harimau Sebagai Ilustrasi KPK. (Sumber: Ilustrasi Pribadi)
Harimau Sebagai Ilustrasi KPK. (Sumber: Ilustrasi Pribadi)

Karena itulah penting kemudian untuk memperhatikan lebih dalam terkait proses rekrutmen pimpinan dan dewan pengawas, sehingga tidak ada celah bagi kepentingan politik untuk memengaruhi keputusan KPK.

Asa Menjaga KPK di Masa Depan

Meskipun saat ini ada banyak keraguan terkait integritas serta kredibilitas milik KPK, tetap saja KPK harus dipertahankan. Ini bertujuan agar "api" perlawanan terhadap korupsi terus menyala. Sekalipun saat ini masyarakat tengah mengalami trust issue terkait penegakan hukum. Namun sejatinya eksistensi KPK tetap krusial, sebab jika dia "tidak ada", siapa yang ingin turun tangan berburu koruptor? Ini merupakan sebuah pembahasan penting, sebab kita tidak sedang berbicara "berburu maling" yang terkadang dalam realitanya masyarakat "main hakim sendiri", konsep tersebut jelas tidak bisa diterapkan dlam "berburu koruptor."

Bagaimana tidak? Para koruptor terkadang orang-orang yang menduduki jabatan politis tertentu, kelicikannya tersembunyi rapi dibalik senyuman munafiknya serta penanpilannya yang menipu.

Kesulitan itulah yang menjadi salah satu klausa dasar pembentukan KPK. Dengan wewenang KPK yang luar biasa diharapkan KPK bisa menangkap orang-orang yang "luar biasa" pula (dalam hal kemunafikan).

Karena itulah diharapkan putusan ini dapat diterima, dengan begitu berimplikasi positif terhadap KPK:

  • Kepastian Hukum dan Kredibilitas: Dengan penegasan bahwa Presiden yang masa jabatannya bersamaan dengan periode pimpinan KPK bertanggung jawab dalam proses seleksi, maka seluruh proses berjalan dengan kepastian hukum yang jelas. Hal ini menghindarkan KPK dari potensi gugatan praperadilan terkait keabsahan pimpinan atau dewan pengawasnya.
  • Penguatan Independensi: Ketegasan ini mencegah Presiden sebelumnya "camput tangan" masa depan KPK dengan memilih pimpinan dan dewan pengawas yang mungkin lebih condong kepada kebijakan pemerintahan sebelumnya. Langkah ini menjamin KPK tetap netral dari dinamika politik transisional.
  • Legitimasi KPK: Pimpinan dan dewan pengawas yang dipilih melalui proses yang sesuai konstitusi akan memiliki legitimasi lebih kuat di mata publik. Hal ini akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap KPK sebagai lembaga independen.

Pada akhirnya, kejelasan hukum dalam proses seleksi Pimpinan KPK tidak hanya akan memperkuat independensi KPK, tetapi juga memastikan keberlanjutan perannya sebagai lembaga yang kredibel dan efektif dalam memberantas korupsi di Indonesia. Keputusan ini akan menjadi tonggak penting dalam menjaga integritas KPK dan melindungi upaya pemberantasan korupsi dari gangguan politis dan administratif di masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun