Mohon tunggu...
Ahmad Mutawakkil Syarif
Ahmad Mutawakkil Syarif Mohon Tunggu... Mahasiswa - Just a kid from Cendrawasih, Makassar

Hidup adalah seni menggambar tanpa penghapus

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Integritas yang Ternodai, Fenomena Aparatur Negara yang Melanggar Amanah Demi Rupiah

2 Desember 2024   07:03 Diperbarui: 2 Desember 2024   07:03 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberi minyak wangi atau Anda bisa membeli minyak wangi darinya, dan jika tidak, Anda tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu dan kalaupun tidak, kamu tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.”

Sama seperti si “baru” aparatur negara, meskipun ia teguh dengan prinsipnya untuk tidak melakukan tindakan tidak terpuji. Namun jika orang-orang disekitarnya melakukan yang sebaliknya. Maka ia juga berpotensi untuk menjadi seperti orang-orang tidak terpuji tersebut.

Apakah mustahil bagi seseorang untuk hidup jujur ketika masuk ke dalam sebuah instansi? Tentu tidak, tidak ada yang mustahil di dunia ini. Hanya saja, perlu keyakinan yang luar biasa bak pegunungan himalaya. Yang tidak akan roboh diterpa badai, angin, hujan dan petir. 

Dengan begitu maka kita bisa menjalani hidup sebagai seorang aparat negara yang penuh dengan kebanggaan. Karena bisa menjaga apa yang kita yakini sebagai jalan hidup. Kita juga pasti mengenal orang-orang yang seperti itu. Mereka yang keyakinannya tidak bisa dibeli dengan uang, mereka yang lebih memilih harus susah daripada menjual keyakinan pada kenyataan (mungkin, untuk bagian ini akan dibuatkan pembahasan tersendiri).

Kembali pada pembahasan—selain memanfaatkan kesempatan, pelaku pungli juga sering kali menggunakan cara-cara yang bersifat memaksa. Kadang disertai dengan ancaman, tekanan maupun dalih tertentu yang seakan membuat korban “harus” membayar pungli. 

Dan kalau kita berbicara terkait pungli yang bersifat memaksa ini, maka jenis inilah yang paling banyak kita temui di kehidupan sehari-hari. Terkadang kita dipojokkan dalam situasi dimana kita harus “membayar” mereka.

Kelicikan Pejabat. (Sumber: ilustrasi pribadi)
Kelicikan Pejabat. (Sumber: ilustrasi pribadi)

Adanya jenis yang menggunakan kesempatan maupun yang memaksa dengan intervensi, mencerminkan bahwa pungli telah mencemari hukum di masyarakat atau hukum empiris. Lalu bagaimana dengan hukum normatif? Yang melihat peraturan sebagai pusat hukum?. Apakah pungli telah diatur dalam hukum kita? Jawabannya iya.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), telah diatur tentang pungli pada Bab XXIII tentang Pemerasan dan Pengancaman, Pasal 368;

“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”

Pasal inilah yang kemudian bisa digunakan untuk menjerat pelaku pungli, dengan catatan pungli tersebut dilakukan dengan ancaman atau kekerasan, seperti “oknum” aparat mengancam untuk menahan kendaraan jika korban tidak memberikan uang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun