Mohon tunggu...
Ahmad Mutawakkil Syarif
Ahmad Mutawakkil Syarif Mohon Tunggu... Mahasiswa - Just a kid from Cendrawasih, Makassar

Hidup adalah seni menggambar tanpa penghapus

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

KPK, Legacy Hukum yang Sekarang Berusaha Dikuasai oleh Aktor Politik

25 November 2024   07:16 Diperbarui: 25 November 2024   17:48 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"KPK: LEGACY HUKUM YANG SEKARANG BERUSAHA DIKUASAI OLEH AKTOR POLITIK?"

Beberapa hari lalu, Komisi III DPR telah melakukan voting untuk memilih orang-orang yang nantinya akan menjadi calon pemimpin (CAPIM) dan calon dewan pengawas (CADEWAS) KPK periode 2024-2029. Sebelumnya perlu diketahui bahwa Komisi III DPR RI memegang peran yang sangat penting dalam memastikan tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia. Sebagai lembaga yang berwenang dalam bidang hukum, hak asasi manusia dan keamanan, Komisi III memiliki tanggungjawab untuk mengawasi kinerja lembaga- lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Kembali pada pembahasan—hasilnya, keluarlah 5 nama yang nantinya akan menjadi pimpinan KPK sebagai berikut:

  • Setyo Budiyanto, 46 suara;
  • Fitroh Rohcahyanto, 48 suara;
  • Ibnu Basuki Widodo, 33 suara;
  • Johanis Tanak, 48 suara;
  • Dan Agus Joko Pramono, 39 suara.

Selain itu keluar juga 5 nama lainnya yang akan menjadi dewan pengawas KPK periode 2024-2029, sebagai berikut;

Yang menarik perhatian, saat pemaparan visi dan misi, ada salah satu calon yakni Johanis Tanak yang mengatakan ingin menghapus operasi tangkap tangan (OTT). Dilansir dari Youtube KOMPASTV, dengan judul “[FULL] DPR Tetapkan 5 Pimpinan KPK, Bagaimana Integritas & Kredibilitasnya? Ini Kata Ahli-Komisi DPR” (dapat diakses di https://www.youtube.com/watch?v=6apTkgUpL7M), Johanis Tanak mengemukakan alasannya ingin menghapus OTT adalah karena beliau menganggap OTT dinilai tidak tepat dan tidak relevan untuk dilakukan dalam menangani kasus tindak pidana korupsi karena akan menimbulkan tumpang tindih. 

Sontak, penyataan dari Johanis Tanak ini menuai banyak kontroversi, yang bisa kita lihat dari komentar di video terkait sebagai berikut:

“Sepertinya dia takut kena ott”;

“Udah Bubar Aja KPK Bilang OTT kaya nangkep maling Motor Koruptor lebih" dari maling Motor. Ada juga yg minta tersangka ga di pajang. Coba maling motor mah di botakin;

“😂😂😂😂salimg mentupi dan melindungi”;

“senang benar yg tepuk tangan OTT mau di hapus 😂😂😂”;

“Jika OTT di hapus oleh ketua KPK terpilih maka ini merupakan langkah mundur untuk memberantas korupsi😊”;

“Semakin marak Korupsinya, kalao OTT ditiadakan. 😅😅😅”;

Dan masih banyak lagi komentar senada di berbagai video serupa. Komentar ini tentu mencerminkan kekhawatiran dan kekecewaan rakyat Indonesia.

Bagaimana tidak? OTT yang kita ketahui secara umum merupakan salah satu taring sekaligus cakar bagi KPK dalam melawan korupsi di negeri ini. Sebab OTT memungkinkan KPK untuk menangkap pelaku tindak pidana korupsi secara langsung ketika sedang melakukan transaksi atau tindakan yang dicurigai sebagai korupsi. Dihapusnya OTT sama saja menghilangkan cakar dan taring milik KPK. Dan dari perspektif masyarakat, rencana penghapusan OTT oleh para politikus ini bertujuan untuk menyelematkan dirinya dan rekannya jika besok lusa ketahuan melakukan korupsi. Mencegah lebih baik daripada mengobati, mungkin itu yang ada di pikiran mereka.

inilah yang kemudian menimbulkan sebuah pertanyaan di benak penulis. Apakah KPK sebagai salah satu warisan reformasi dalam melawan korupsi di negeri ini telah dimonopoli oleh para eksekutif? Bukankah seharusnya independensi KPK tetap terjaga, sebab KPK juga sekaligus symbol bagi masyarakat yang mengharapkan penegakan hukum yang merata?. Dan pada kesempatan kali ini, sehubungan dengan judul diatas, penulis akan mencoba melakukan analisis sederhana terkait KPK. Dimulai dari rencana dan waktu diresmikannya KPK, bagaimana KPK berubah menjadi pemburu dalam agenda perburuan terhadap koruptor, dinamikanya, serta yang paling penting, bagaimana usaha para aktor politik melemahkan KPK saat ini.

Sebenarnya, jika kita bicara ide tentang pemberantasan korupsi, itu sudah ada beberapa tahun sebelum era 2000-an, bahkan sebelum KPK dibentuk, yang tertuang dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Seiring berjalannya waktu, perkembangan ide itu semakin kuat dan ingin diwujudkan dalam bentuk sebuah lembaga, lembaga yang independent dan mempunyai wewenang sendiri. Karena itu, dimulai lah penyusunan draft rancangan undang-undang tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi, yang kemudian menjadi dasar pembentukan KPK. Namun dalam perjalanan pengesahannya, tak dapat dipungkiri jelas ada pertarungan kekuasaan, sebab bagi beberapa pihak RUU ini dianggap ancaman karena memberikan kewenangan yang telalu superior pada KPK. Untungnya pertarungan ini bisa diselesaikan baik-baik, sebab pada akhirnya ada kesepahaman, bahwa tindak pidana korupsi di negeri ini sudah sangat luat biasa, karena itu perlu upaya yang sangat luar biasa sekaligus pemberian wewenang yang luar biasa pada lembaga yang luar biasa pula.

Dan akhirnya, pada 27 Desember 2002, DPR mengesahkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi. Pengesahan UU ini membawa angin segar sekaligus secercah harapan dalam rangka menghabisi korupsi di Indonesia. UU ini jugalah yang kemudian menjadi dasar pembentukan sebuah lembaga yang hari ini kita kenal dengan nama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK sendiri secara resmi dibentuk pada 29 Desember 2003, dengan Taufiequrachman Ruki sebagai ketuanya.

Bagaimana kemudian KPK menjelma bagai harimau dalam memburu para koruptor? Untuk menjawab ini perlu diketahui lebih dulu terkait visi, misi, tugas dan kewenangan yang dimiliki KPK.

KPK memiliki visi “mewujudkan Indonesia yang bebas korupsi”, serta misi “penggerak perubahan untuk mewujudkan bangsa yang antikorupsi”. Dan terkait tugas KPK, itu telah diatur dalam UU terkait, dengan rincian tugas sebagai berikut:

  • Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
  • Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
  • Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
  • Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
  • Melakukan monitor terhadap penyelengaraan pemerintahan negara.

Dan dalam melaksanakan tugasnya tersebut, KPK memiliki wewenang untuk:

  • Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi.
  • Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi.
  • Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi terkait.
  • Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
  • Meminta pelaporan instansi terkait pencegahan tindak pidana korupsi. (untuk lnformasi lebih lanjut terkait mekanisme pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, bisa langsung baca UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi).

Dengan tugas dan wewenang yang luar biasa—sebagaimana yang disebutkan, KPK jelas sangat superior, ia bak sekelompok pleton elit yang mempunyai senjata dan amunisi yang lengkap.

Bagaimana tidak? Dengan tugasnya untuk menyelidik, menyidik dan menuntut dan masih banyak lagi dalam kasus korupsi, memungkinkan KPK melewati batas-batas yang sebelumnya ada dalam ranah penegakan hukum terkait kasus korupsi. Contohnya jika kita melihat Pasal 12 ayat (1) huruf a, disebutkan bahwa KPK berwenang untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan pada orang-orang yang dicurigai melakukan korupsi. 

Visi, misi, tugas dan wewenang KPKmembuat KPK mempunyai mandat khusus, yang diberikan oleh negara dalam memberantas kasus korupsi. Mandat ini bertujuan untuk membuat KPK tidak tergantung pada lembaga penegak hukum lainnya. Bahkan dalam UU terkait, telah diatur juga pengadilan khusus yang secara khusus dibentuk untuk menangani perkara korupsi ini, yaitu Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR); baca Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002.

Dan pada perjalanannya, hal-hal yang telah disebutkan diataslah yang kemudian membuat KPK menjadi sangat superior dalam menangani kasus-kasus korupsi. Bahkan jika melihat sejarah, banyak kasus-kasus yang melibatkan tokoh penting bahkan jaringan-jaringan mafia terstruktur yang berhasil diungkap oleh KPK, memperkuat status KPK sebagai “Harimau Pemburu Koruptor” yang diutus oleh negara.

KPK: Representasi Pemburu Utusan Negara. (Sumber: Editan Pribadi Di Apk canva.com)
KPK: Representasi Pemburu Utusan Negara. (Sumber: Editan Pribadi Di Apk canva.com)

Salah satu contoh kasus yang bisa dijadikan contoh adalah kasus korupsi E-KTP yang melibatkan mantan ketua DPR, yaitu Setya Novanto sebagai tersangka utama. Dimana setelah melalui proses persidangan yang panjang, akhirnya pada sidang tanggal 24 April 2018 di Pengadilan Tipikor Jakarta , Setya Novanto dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman pidana penjara selama 15 tahun dan pidana denda sejumlah 500 juta rupiah karena diyakini melanggar pasal Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (untuk lebih detailnya, bisa langsung baca putusan pengadilan pidana khusus di direktori MA, atau klik https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/d22cbd673d4425ca4b6cd0b11c918322.html). 

Sebenarnya selain Novanto, ada beberapa orang lagi yang juga dikenakan pidana penjara serupa, yaitu Irman dan Sugiharto, yang dimana keduanya merupakan pejabat di kantor kementrian dalam negeri.

Kasus ini sempat membuat heboh public serta para elit politik, sebab banyak nama-nama penting yang dipanggil oleh KPK dalam prosesnya, seperti Olly Dondokambey, Tamsil Linrung, Mirwan Amir, Melchias Markus Mekeng, Arif Wibowo, Ganjar Pranowo, dan M Jafar Hafsah, yang dimana kita tahu bahwa mereka semua orang-orang penting di parlemen saat itu. Karena itu keberhasilan KPK mengungkap pihak-pihak yang terlibat di dalamnya jelas merupakan sebuah prestasi. Sebab, sebagaimana yang kita ketahui bahwa tak mudah untuk mengungkap kasus korupsi yang melibatkan banyak pihak, dalam hal ini pemerintah, anggota DPR RI, serta pihak swasta. Prestasi ini tentu menambah catatan track record gemilang KPK dalam upaya perang melawan para koruptor.

Namun, selayaknya hidup manusia, perjalanan KPK dalam melawan koruptor tidak selamanya berjalan mulus. Terkadang ada saja hambatan dan upaya yang merintangi jalan KPK ini. Kinerja KPK yang gemilang terkadang menimbulkan luka serta kecemasan bagi lembaga lainnya. Sebab track record gemilang milik KPK dalam memburu para koruptor menjadikan KPK sebagai lembaga mentereng, yang kompetensinya diakui oleh masyarakat.

Luka inilah yang bagi beberapa lembaga, dijadikan sebagai dasar untuk balik menyerang KPK, contohnya melalui, tekanan fisik. Seringkali para pegawai KPK menerima terror, intimidasi dan ancaman dengan bentuk yang beragam mulai dari ancaman kekerasan fisik seperti pemukulan, hingga ancaman yang berbau mistis.

Mari kita mengambil satu contoh nyata, yaitu Novel Baswedan, yang kala itu menjabat sebagai penyidik KPK. Sebagai bagian dari KPK, Novel kerap beberapa kali mendapatkan terror, salah satunya yang paling terkenal—mungkin kita semua tahu, yaitu saat beliau disiram air keras oleh 2 orang tak dikenal pada April 2017. Novel diserang dalam perjalanan pulang usai melakukan shalat shubuh di masjid yang berada di dekat rumahnya. Akibat penyiraman tersebut, beliau harus rela kehilangan salah satu indra penghilatannya secara permanen.

Uniknya setelah pihak polisi menemukan pelaku penyiraman tersebut pada tahun 2019, ternyata pelakunya merupakan anggota Polri, yakni Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis. Kedua pelaku yaitu Rahmat dan Rony telah divonis dua tahun dan 1,5 tahun penjara. Namun meskipun kedua pelaku telah dihukum, Novel merasa ada yang janggal salah satu kejanggalan yang terlihat yakni adanya upaya penggiringan opini bahwa air yang digunakan pelaku untuk menyiram bukan air keras. Selain itu Novel merasa tak yakin bahwa kedua polisi tersebut pelaku tunggal dari kasus penyiraman air keras yang menimpa dirinya. Ia meyakini ada dalang sebanrnya dari kasus penyiraman tersebut yang belum terungkap.

Peristiwa inilah yang kemudian menimbulkan tanda tanya bagi public, sebab jika menilik alasan kedua pelaku tersebut melakukan penyiraman, mereka mengatakan bahwa Novel dianggap mengkhianati dan melawan institusi mereka. Kala itu KPK dan Polri memang berseteru sejak 2015, hingga muncul sebutan “Cicak vs Buaya” (sumber: https://www.tempo.co/hukum/7-tahun-lalu-penyidik-senior-kpk-novel-baswedan-disiram-air-keras-ini-kronologi-teror-yang-dihadapinya-68603).

Alasan penyiraman, serta singkatnya jangka waktu hukuman bagi para pelaku inilah yang membuat masyarakat bertanya-tanya, apakah sebenarnya ada dendam pribadi dari instansi lain terhadap Novel selaku bagian dari KPK, yang kemudian membuat mereka melampiaskannya dengan melakukan penyiraman air keras pada beliau?

Selain terror terhadap para pegawainya, salah satu tantangan yang harus dihadapi KPK, yaitu pelemahan institusi melalui revisi undang-undang yang dilakukan oleh orang-orang legislatif. Jika kita melihat perkembangan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi, UU ini telah melewati 2 kali revisi, yang pertama UU No. 10 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Undang-Undang. Lalu yang kedua UU No. 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ilustrasi Perubahan UU KPK. (Sumber: Editan Pribadi Di Apk canva.com)
Ilustrasi Perubahan UU KPK. (Sumber: Editan Pribadi Di Apk canva.com)

Bagi para ahli dan pengamat, revisi UU KPK ini hanya berpotensi melemahkan KPK, sebagaimana yang dikemukakan juru bicara KPK, Febri Diansyah bahwa terdapat 26 poin yang berpotensi melemahkan KPK pada UU hasil revisi yang kedua, "Dua puluh enam poin ini kami pandang sangat beresiko melemahkan atau bahkan riskan bisa melumpuhkan Kerja KPK. Karena beberapa kewenangan yang dikurangi adalah kewenangan pokok dalam melaksanakan tugas selama ini," kata Febri dalam keterangan tertulis, Rabu (25/9/2019).

Salah satu revisi yang lumayan dibahas saat itu adalah perubahan status pegawai KPK berubah menjadi aparatur sipil negara (ASN), sebagaimana yang terdapat pada Pasal 24 ayat (2) “Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan anggota korps profesi pegawai aparatur sipil negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”, ini tentu menimbulkan dilemma, sebab sebagaimana yang sudah dijelaskan bahwa sebagai sebuah lembaga khusus yang didirikan untuk tujuan khusus, seharusnya para pegawai KPK tidak berstatus ASN. Sederhananya, pemberian status ASN pada pegawai KPK, membuat mereka menjadi rentan dikontrol oleh pemerintah dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya karena status ASN tersebut. Dan ini kita baru membahas satu dari total 26 poin yang berpotensi melemahkan KPK pada revisi UU kedua.

Sebenarnya, intervensi kepentingan politik terhadap KPK tidak bisa dihindari. Karena sejak awal, KPK dibuat oleh orang-orang eksekutif-legislatif. Bahkan ketika kita bicara proses pemilihan pemimpin KPK? Lagi-lagi itu melibatkan eksekutif-legislatif di dalamnya, Mulai dari proses pendaftaran sampai pelantikan. Apa akibatnya? Mungkin saja terjadi lobi-lobi politk dalam proses pemilihannya, yang mengakibatkan para pemimpin yang terpilih nantinya hanya membawa kepentingan dari kelompok mereka masing-masing, tanpa memedulikan lagi kepentingan masyarakat. Sebagaimana yang bisa kita lihat sekarang, revisi UU KPK sudah terjadi dua kali yang tentunya ada campur tangan kepentingan eksekutif-legislatif, belum lagi maraknya kasus korupsi yang sekarang marak melibatkan pegawai KPK itu sendiri. Itu semua adalah hasil campur tangan politik dalam proses penegakan hukum.

Padahal sejatinya, dalam proses penegakan hukum tidak boleh ada intervensi dari aspek non-hukum, ini tentu untuk memastikan bahwa penegakan hukum berjalan secara efektif—menyeluruh. Dan sebagai sebuah warisan hukum, sudah seharusnya KPK bersifat independen dalam menjalankan tugasnya.

Tibalah di bagian kesimpulan, memang benar bahwa KPK merupakan representasi harimau yang diutus negara untuk berburu koruptor, dan sebenarnya track record pemburu utusan negara sekaligus warisan reformasi ini sangatlah bagus. Yang kemudian menjadi masalah adalah adanya upaya dari eksekutif—legislatif untuk memotong paksa taring dan cakar harimau milik negara ini. Bila cakar dan taring sudah hilang apalagi yang bisa diharapkan dari seekor harimau selain aumannya? Bila sebuah warisan sudah tercoreng subtansinya maka apalagi yang membuatnya bisa bernilai? Sekian terimakasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun