Mohon tunggu...
Ahmad Mutawakkil Syarif
Ahmad Mutawakkil Syarif Mohon Tunggu... Mahasiswa - Just a kid from Cendrawasih, Makassar

Hidup adalah seni menggambar tanpa penghapus

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

KPK, Legacy Hukum yang Sekarang Berusaha Dikuasai oleh Aktor Politik

25 November 2024   07:16 Diperbarui: 25 November 2024   17:48 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Visi, misi, tugas dan wewenang KPKmembuat KPK mempunyai mandat khusus, yang diberikan oleh negara dalam memberantas kasus korupsi. Mandat ini bertujuan untuk membuat KPK tidak tergantung pada lembaga penegak hukum lainnya. Bahkan dalam UU terkait, telah diatur juga pengadilan khusus yang secara khusus dibentuk untuk menangani perkara korupsi ini, yaitu Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR); baca Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002.

Dan pada perjalanannya, hal-hal yang telah disebutkan diataslah yang kemudian membuat KPK menjadi sangat superior dalam menangani kasus-kasus korupsi. Bahkan jika melihat sejarah, banyak kasus-kasus yang melibatkan tokoh penting bahkan jaringan-jaringan mafia terstruktur yang berhasil diungkap oleh KPK, memperkuat status KPK sebagai “Harimau Pemburu Koruptor” yang diutus oleh negara.

KPK: Representasi Pemburu Utusan Negara. (Sumber: Editan Pribadi Di Apk canva.com)
KPK: Representasi Pemburu Utusan Negara. (Sumber: Editan Pribadi Di Apk canva.com)

Salah satu contoh kasus yang bisa dijadikan contoh adalah kasus korupsi E-KTP yang melibatkan mantan ketua DPR, yaitu Setya Novanto sebagai tersangka utama. Dimana setelah melalui proses persidangan yang panjang, akhirnya pada sidang tanggal 24 April 2018 di Pengadilan Tipikor Jakarta , Setya Novanto dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman pidana penjara selama 15 tahun dan pidana denda sejumlah 500 juta rupiah karena diyakini melanggar pasal Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (untuk lebih detailnya, bisa langsung baca putusan pengadilan pidana khusus di direktori MA, atau klik https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/d22cbd673d4425ca4b6cd0b11c918322.html). 

Sebenarnya selain Novanto, ada beberapa orang lagi yang juga dikenakan pidana penjara serupa, yaitu Irman dan Sugiharto, yang dimana keduanya merupakan pejabat di kantor kementrian dalam negeri.

Kasus ini sempat membuat heboh public serta para elit politik, sebab banyak nama-nama penting yang dipanggil oleh KPK dalam prosesnya, seperti Olly Dondokambey, Tamsil Linrung, Mirwan Amir, Melchias Markus Mekeng, Arif Wibowo, Ganjar Pranowo, dan M Jafar Hafsah, yang dimana kita tahu bahwa mereka semua orang-orang penting di parlemen saat itu. Karena itu keberhasilan KPK mengungkap pihak-pihak yang terlibat di dalamnya jelas merupakan sebuah prestasi. Sebab, sebagaimana yang kita ketahui bahwa tak mudah untuk mengungkap kasus korupsi yang melibatkan banyak pihak, dalam hal ini pemerintah, anggota DPR RI, serta pihak swasta. Prestasi ini tentu menambah catatan track record gemilang KPK dalam upaya perang melawan para koruptor.

Namun, selayaknya hidup manusia, perjalanan KPK dalam melawan koruptor tidak selamanya berjalan mulus. Terkadang ada saja hambatan dan upaya yang merintangi jalan KPK ini. Kinerja KPK yang gemilang terkadang menimbulkan luka serta kecemasan bagi lembaga lainnya. Sebab track record gemilang milik KPK dalam memburu para koruptor menjadikan KPK sebagai lembaga mentereng, yang kompetensinya diakui oleh masyarakat.

Luka inilah yang bagi beberapa lembaga, dijadikan sebagai dasar untuk balik menyerang KPK, contohnya melalui, tekanan fisik. Seringkali para pegawai KPK menerima terror, intimidasi dan ancaman dengan bentuk yang beragam mulai dari ancaman kekerasan fisik seperti pemukulan, hingga ancaman yang berbau mistis.

Mari kita mengambil satu contoh nyata, yaitu Novel Baswedan, yang kala itu menjabat sebagai penyidik KPK. Sebagai bagian dari KPK, Novel kerap beberapa kali mendapatkan terror, salah satunya yang paling terkenal—mungkin kita semua tahu, yaitu saat beliau disiram air keras oleh 2 orang tak dikenal pada April 2017. Novel diserang dalam perjalanan pulang usai melakukan shalat shubuh di masjid yang berada di dekat rumahnya. Akibat penyiraman tersebut, beliau harus rela kehilangan salah satu indra penghilatannya secara permanen.

Uniknya setelah pihak polisi menemukan pelaku penyiraman tersebut pada tahun 2019, ternyata pelakunya merupakan anggota Polri, yakni Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis. Kedua pelaku yaitu Rahmat dan Rony telah divonis dua tahun dan 1,5 tahun penjara. Namun meskipun kedua pelaku telah dihukum, Novel merasa ada yang janggal salah satu kejanggalan yang terlihat yakni adanya upaya penggiringan opini bahwa air yang digunakan pelaku untuk menyiram bukan air keras. Selain itu Novel merasa tak yakin bahwa kedua polisi tersebut pelaku tunggal dari kasus penyiraman air keras yang menimpa dirinya. Ia meyakini ada dalang sebanrnya dari kasus penyiraman tersebut yang belum terungkap.

Peristiwa inilah yang kemudian menimbulkan tanda tanya bagi public, sebab jika menilik alasan kedua pelaku tersebut melakukan penyiraman, mereka mengatakan bahwa Novel dianggap mengkhianati dan melawan institusi mereka. Kala itu KPK dan Polri memang berseteru sejak 2015, hingga muncul sebutan “Cicak vs Buaya” (sumber: https://www.tempo.co/hukum/7-tahun-lalu-penyidik-senior-kpk-novel-baswedan-disiram-air-keras-ini-kronologi-teror-yang-dihadapinya-68603).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun