"FITNAH: SENJATA MEMATIKAN DALAM PERTANDINGAN ANTAR AKTOR POLITIK"
Beberapa hari lalu, sidang praperadilan terkait kasus dugaan korupsi impor gula yang dilakukan oleh Thomas Trikasih Lembon atau yang akrab disapa Tom Lembong ini telah dimulai. Perlu diketahui, putusan yang keluar pada akhir sidang praperadilan nantinya akan memuat beberapa hal, salah satunya pernyataan keputusan hakim atau yang dikenal sebagai amar putusan. Amar putusan sendiri disesuaikan dengan alasan permintaan pemeriksaan. Dan terkait ketentuan amar putusan dalam sidang praperadilan sendiri telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta perluasannya melalui keputusan MK, sebagai berikut:
- Sah atau tidaknya penetapan penangkapan atau penahanan;
- Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan;
- Sah atau tidaknya penggeledahan;
- Sah atau tidaknya penyitaan barang yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum;
- Perintah pembebasan dari tahanan;
- Penetapan tersangka;
- Diterima atau tidaknya permintaan ganti rugi atau rehabilitasi;
Terkait praperadilan yang sedang dijalani oleh Tom Lembong sendiri dapat kita saksikan melalui beberapa platform, salah satunya YouTube. Banyak video yang berkaitan dengan sidang praperadilan Tom Lembong, baik video proses persidangan secara keseluruhan yang dilakukan live, maupun video yang berdurasi belasan menit yang hanya memuat ringkasan, momen-momen penting, maupun pendapat pakar ataupun pengamat terkait.
Dan sebagaimana hal lumrah pada kasus-kasus yang sedang viral, jika kita menonton video-video tersebut, kita akan menemukan komentar masyarakat yang beragam, mulai dari yang bersifat positif maupun sebaliknya. Mari kita ambil contoh pada video yang diunggah Kompas.com di laman YouTubenya 5 hari lalu, dengan judul : “Sidang Praperadilan Perdana Tom Lembong Kasus Dugaan Korupsi Impor Gula di PN Jaksel”, yang bisa diakses di https://www.youtube.com/watch?v=qaOdAskvqcI
Pada unggahan tersebut ada beberapa komentar yang menarik perhatian penulis, baik di komentar via live chat, maupun via komentar biasa, diantaranya:
“Keadilan dan yang benar harus kita junjung tinggi tinggi....!!. hukum jangan tebang pilih, atau pilih bulu....!!”;
“Politisasi hukum berdasarkan pesanan karena berbeda pilihan politik...”;
“TEGAKKAN HUKUM ⚖️🇲🇨⚖️ SETEGAK〰️ TEGAKNYA ☝️ AGAR TIDAK ADA KRIMINALISASI 🙏”;
“Pengacara harus jeli, untuk membantah penetapan tersangka. alasan penetapan tersangka adalah 5:28 pemberian ijin impor gula yng di anggap penyalah gunaan kewenangan. Dan pemberian ijin itu menguntungkan koporasi. Semoga hakim jernih memutuskan praperadilan ini”;
“Jgn karena berbeda pandangan politik seseorang yang jujur dan tak bercela dikriminalisasi dgn hukum pidana”;
“kriminalisasi + politisasi”;
Dan masih banyak lagi komentar dengan nada serupa yang dapat kita temui di berbagai video yang membahas terkait sidang praperadilan Tom Lembong. Lebih lanjut, jika kita baca dengan seksama komentar-komentar tersebut, maka bisa kita tarik beberapa penjelasan berdasarkan kacamata empiris, yaitu:
- Masyarakat berpikir bahwa kasus Tom Lembong merupakan bentuk ketidakadilan hukum;
- Masyarakat melihat bahwa kasus Tom Lembong merupakan upaya kriminalisasi dan politisasi hukum;
- Masyarakat menganggap bahwa orang yang berbeda pandangan secara politik akan didiskriminasi menggunakan hukum.
Inilah yang kemudian sangat menarik perhatian penulis. Melalui komentar yang beragam tersebut, meski berbeda dalam penggunaan diksi, namun memiliki satu pemahaman yang sama, bahwa kasus terkait dugaan korupsi yang sedang dialami Tom Lembong merupakan “fitnah” dari lawan politiknya.
Interpretasi inilah yang kemudian mendasari penulis untuk membuat penjelasan sederhana terkait fitnah sebagai salah satu senjata mematikan bagi aktor politik untuk menjatuhkan karakter dan menghancurkan integritas lawan. Penulis tidak akan membahas lebih jauh dan mendalam terkait kasus Tom Lembong, sebab masih terlalu dini untuk membuat analisis yang kredibel, dikarenakan tahap praperadilan sendiri belum berakhir. Sebagai gantinya, penulis akan mencoba memberikan penjelasan sederhana terkait fitnah dalam kontes politik, alasan penggunaan dan jenisnya, sampai seberapa efektifnya ia dalam menghancurkan karakter lawan.
Menurut KBBI, yang dimaksud dengan fitnah adalah perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang). Dari definisi tersebut dapat ditarik sebuah penjelasan bahwa fitnah merupakan tindakan dimana seseorang menyatakan sebuah tuduhan yang tidak benar tentang orang lain dengan tujuan menjatuhkan reputasi orang tersebut. Dalam bahasa Inggris fitnah disebut sebagai defamation, which is the act of communicating to a third party false statements about a person that result in damage to that person’s reputation.
Sebagaimana yang sudah disebutkan dalam KBBI, fitnah bertujuan untuk menjelekkan orang lain, dalam hal ini, nama baik, reputasi dan martabat atau kepercayaan khalayak ramai terhadap orang tersebut. Dikarenakan tujuannya yang buruk itu, maka fitnah diatur sebagai sebuah kejahatan dalam banyak yurisdiksi. Dalam yurisdiksi negara kita, fitnah diatur dalam KUHP, tepatnya di Pasal 310 ayat (1) dan 311 ayat (1). Selain di KUHP, fitnah juga diatur dalam UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Pasal 27 huruf a.
Dalam konteks politik—sehubungan dengan judul diatas, fitnah merupakan tindakan menyebarkan informasi bohong atau menyesatkan tentang seseorang atau kelompok politik tertentu dengan tujuan menurunkan atau menghancurkan kredibilitasnya di mata publik. Seringkali para pembuat fitnah ini berlindung di balik label cuman “kritik” atau “fakta”, padahal sejatinya fitnah mengandung unsur kebohongan, yang dimana kehadiran unsur ini bertujuan untuk memanipulasi situasi.
Fitnah dalam konteks politik seringkali berawal dari konflik antarindividu dimana dampak yang tercipta hanya sebatas antarindividu yang berkonflik juga. Namun yang lebih seringkali kita temukan, fitnah digunakan sebagai sebuah strategi, yang mana jika kita kaji, strategi ini tersusun secara sistematis untuk mencapai tujuan politik tertentu. Dan dalam perencanaannya, fitnah politik jenis ini seringkali melibatkan banyak aktor politik maupun non politik, seperti anggota partai politik, konsultan politik, pejabat politik, jurnalis, public figure (selebgram,tiktoker), dsb.
Dari paragraf sebelumnya dapat ditarik sebuah penjelasan bahwa pihak-pihak yang melakukan fitnah politik terdiri dari: aktor politik secara individu maupun berkelompok: Politikus atau Partai Politik; Tim Kampanye atau Konsultan Politik dan aktor non politik seperti Media atau Influencer.
Setelah mengetahui, definisi, dan juga para pihak yang terlibat dalam skema fitnah politik, muncul sebuah pertanyaan “apa alasan mereka menggunakan fitnah?”.
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita terlebih dulu harus mengetahui kapan fitnah politik paling sering muncul, dengan mengidentifikasi waktu kemunculannya, maka bisa ditarik sebuah penjelasan terkait alasan terciptanya fitnah tersebut. Mari kita langsung menganalisis contohnya, jika kita melihat ke beberapa bulan ke belakang, saat musim PEMILU, ada banyak fitnah secara langsung maupun tidak langsung yang ditujukan pada pasangan calon partai politik peserta pemilu, baik itu terhadap pasangan capres-cawapres, caleg DPR/DPRD/DPD. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pemilu memang ibarat pertandingan, dimana ada pihak menang-kalah. Selain itu di dalam politik ada slogan "tidak ada teman atau lawan abadi, yang ada hanya kepentingan abadi". Inilah kemudian yang mendasari setiap paslon atau partai pengusung merasa perlu menggunakan semua cara yang tersedia, bahkan termasuk cara kotor seperti fitnah, untuk memastikan kemenangan mereka.
Selain konsep menang-kalah, pemilu juga merupakan tempat dimana terkadang narasi dan persepsi lebih efektif untuk menaikkan elektabilitas, dibandingkan fakta di lapangan seperti kerja nyata dari para paslon. Dan disinilah peran fitnah, dengan kemampuannya membentuk persepsi negatif, fitnah menjadi alat yang efektif untuk memengaruhi suara masyarakat. Contoh diatas memberi kita penjelasan bahwa alasan penggunaan fitnah politik itu bergantung pada situasinya, dan sehubungan dengan contoh diatas fitnah digunakan sebagai salah satu cara untuk memastikan kemenangan, karena memang dalam beberapa situasi fitnah (hoax) jauh lebih efektif dibandingkan fakta.
Setelah mengetahui alasan penggunaan fitnah dalam konteks politik, pertanyaan yang terlintas berikutnya mungkin terkait jenis-jenis fitnah dalam konteks politik. Dan terkait pembagian jenis-jenis fitnah dalam konteks politik ini diklasifikasikan menjadi beberapa kategori, berikut penjelasannya:
Pertama, fitnah berdasarkan konten atau subtansinya. Fitnah jenis ini berfokus pada subtansi dan juga narasi. Biasanya berbentuk tuduhan moral atau skandal pribadi, dimana mereka menyerang pribadi secara personal dengan membawa konteks diluar politik. Seringkali pula para pelaku fitnah ini memanfaatkan pluralisme bangsa kita, dan membawa isu agama dan etnis dalam menyerang lawannya. Contohnya fitnah bahwa lawannya berselingkuh atau memiliki gaya hidup yang tak pantas sebagai calon pemimpin. Atau contoh lainnya menuduh lawannya tersebut menghina agama atau etnis tertentu, boom anda pasti sudah tahu hasilnya seperti apa.
Kedua, fitnah berdasarkan targetnya. Fitnah juga dapat diklasifikasin berdasarkan siapa yang menjadi sasarannya. Dalam beberapa situasi, tidak semua fitnah menyerang seorang individu secara langsung (personal), kadang kala fitnah juga menargetkan lembaga atau partai politik tertentu. Tentu saja tujuannya untuk menurunkan kredibilitas dan integritasnya agar kepercayaan masyarakat terhadap institusi dan partai tersebut menurun. Namun, tak jarang juga, fitnah menyerang kelompok masyarakat tertentu berdasarkan identitas mereka, seperti agama, etnis, atau kelas sosial. Para pelaku fitnah ini terkadang membuat narasi seolah-olah ada kelompok masyarakat tertentu yang mempunyai kepentingan yang bisa membahayakan skala nasional. Tujuannya? Tentu saja memecah belah kelompok masyarakat sekaligus meningkatkan dukungan dari kelompok masyarakat lainnya.
Ketiga, fitnah berdasarkan media penyebarannya. Tak dapat dipungkiri, bahwa salah satu hal penting yang perlu diperhatikan saat membuat fitnah adalah, seberapa efektif nya fitnah tersebut? Karena itu perlu dibuat strategi terkait penentuan efektivitas dan jangkauannya. Jika kita melihat beberapa dekade kebelakang, fitnah menyebar melalui media tradisional seperti surat kabar, televisi, radio, atau media cetak lainnya. Namun dengan pesatnya perkembangan teknologi, fitnah sekarang bisa dilakukan melalui platform media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, atau WhatsApp. Yang menjadi muatan fitnah kategori ini adalah hoax dalam bentuk editan foto atau video tentang lawan politik yang dapat menyesatkan masyarakat. Namun terkadang, masih ada beberapa aktor politik yang melakukan fitnah secara lisan. Dimana mereka menyebarkan fitnah melalui percakapan langsung, seperti dalam pidato kampanye, wawancara, atau diskusi. Para aktor politik ini terkadang secara terang-terangan menuduh lawannya melakukan pelanggaran tertentu tanpa bukti.
Keempat, fitnah berdasarkan tujuannya. Dalam perkembangannya, fitnah tidak hanya digunakan untuk merusak reputasi atau kredibilitas lawan. Namun terkadang ia juga dibuat sebagai pengalih perhatian, dengan tujuan mengalihkan perhatian publik dari isu atau skandal yang dinilai merugikan pihak tertentu. Dan terkadang juga fitnah digunakan untuk meningkatkan citra pelaku dengan cara mendiskreditkan pihak lain. Seperti mengarang cerita bahwa dia mengetahui bahwa dia pernah dijelek-jelekkan oleh pihak lain untuk mendapatkan simpati masyarakat.
Dan yang terakhir, fitnah berdasarkan metode penyebarannya. Seperti yang sudah disebutkan diatas, bahwa terkadang fitnah secara terang-terangan oleh pelaku kepada lawannya. Namun kadang kala juga, penyebar-luasan fitnah ini melalui pihak ketiga, seperti buzzer, influencer, selebgram atau tiktoker. Untuk memberi kesan seakan-akan fitnah datang dari perspektif masyarakat yang sudah menurun kepercayaannya terhadap lawannya. Kadang kala juga, ada fitnah yang disusun secara sistematis, biasanya disampaikan melalui kampanye, dengan tujuan menciptakan narasi yang berulang sehingga diterima sebagai fakta oleh masyarakat.
Itu tadi pengklasifikasian fitnah beserta beberapa contoh yang mungkin sudah kita lihat di pemilu kemarin, atau mungkin sedang kita saksikan secara nyata di suasana pilkada beberapa minggu belakangan ini. Dan tentu, muara akhir dari fitnah adalah jatuhnya kredibilitas serta image milik lawan, itulah yang kemudian menjadi indicator apakah sebuah fitnah dikatakan berhasil atau tidak. Itu juga lah yang menjadi alasan mengapa perlu strategi dalam membuat dan menyebarkan fitnah, seperti yang sudah dijelaskan diatas terkait klasifikasi fitnah. Fitnah yang dibuat tentunya harus menyesuaikan dengan keinginan dan kepentingan aktor politik, dengan begitu maka dampak dan efektivitasnya akan sesuai dengan yang diharapkan. Berbicara terkait dampak dan efektivitas fitnah, maka ia juga terbagi ke dalam beberapa aspek, yaitu:
- Mengubah pandangan public. Dengan menyebarkan fitnah, meskipun masyarakat tidak sepenuhnya percaya, namun adanya narasi negatif kepada lawan dapat menimbulkan keraguan di mata masyarakat. Hal ini cukup untuk mengalihkan suara dari korban fitnah ke kandidat lain. Selain itu, fitnah yang secara terus-menerus disebarkan, sekalipun dasarnya adalah kebohongan dan manipulasi, fitnah tersebut akan dianggap sebagai fakta oleh masyarakat.
- Menurunkan elektabilitas korban. Seperti yang sudah disebutkan diatas, fitnah dapat mengubah pandangan public terhadap lawan politik, dan dalam banyak kasus, fitnah terbukti efektif merusak basis dukungan korban, terutama di kalangan pemilih ragu-ragu (swing voters).
- Membuat pelaku bak superhero. Fitnah yang menyerang lawan secara tidak langsung dapat menguatkan citra positif pelaku di mata kelompok tertentu. Ia akan sebagai “pahlawan yang membela nilai-nilai tertentu”, sehingga memperoleh simpati dan dukungan suara yang lebih dari kelompok yang menganut nilai-nilai tersebut.
- Menghancurkan karakter korban secara permanen. Dalam beberapa kasus, fitnah dapat meninggalkan stigma jangka panjang pada korban, bahkan setelah fitnah tersebut dibuktikan ketidakbenarannya. Ini dikarenakan dalam politik, persepsi publik sering kali lebih penting daripada fakta. Akibatnya, korban fitnah mungkin sulit memulihkan reputasi mereka sepenuhnya.
Setelah membaca uraian yang panjang tersebut, maka tibalah di bagian kesimpulan. Memang benar bahwa fitnah merupakan salah satu senjata mematikan dalam pertandingan antar aktor politik. Sebab tak hanya mampu mengubah pandangan public, fitnah juga mampu merubah status pelaku di masyarakat menjadi “seorang pahlawan yang membela masyarakat”, serta mengenai Tom Lembong, penulis berharap beliau bisa mendapat keadilan yang sebenarnya. Sekian terimakasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H