“Era Digital yang Mengikat: Dampak Negatif Ketergantungan pada Gadget dan Sosmed”
Di era yang serba digital ini, dimana teknologi berkembang sangat pesat, media sosial menjadi satu bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita sehai-hari. Terdapat banyak sekali fungsi sosial media saat ini, ada yang menggunakannya untuk berkomunikasi dan membangun koneksi, pemasaran produk, mengakses berita dan video pembelajaran, membangun komunitas dan juga sarana bagi mereka yang ingin mengekspresikan diri dan menunjukkan kreativitasnya dalam bentuk konten. Banyaknya fungsi sosial media ini, membuat orang-orang melihat sosial media sebagai kebutuhan penting (primer). Mindset inilah yang kemudian mendorong masyarakat dari berbagai kalangan untuk berbondong-bondong menggunakan sosmed, mulai dari anak-anak, remaja, orang dewasa bahkan mereka yang sudah lanjut usia pun juga turut menggunakan sosial media.
Jika kita melihat realita, memang intensitas penggunaan sosmed oleh masyarakat kita terbilang tinggi. Ini sejalan dengan data dari databoks.katadata.co.id terkait data penggunaan sosial media di tahun 2024:
Jumlah Pengguna :
1. Total Pengguna : 191 juta pengguna (73,7% dari populasi)
2. Pengguna Aktif : 167 juta pengguna (64,3% dari populasi)
3. Penetrasi Internet : 242 juta pengguna (93,4% dari populasi),
(Sumber: rri.co.id).
Adapun data terkait platform media sosial yang paling banyak digunakan sebagai berikut:
Berdasarkan data diatas dapat ditarik penjelasan bahwa:
- Pengguna Whatsapp di Indonesia sebanyak 90,9% dari jumlah populasi.
- Pengguna Instagram di Indonesia sebanyak 85,3% dari jumlah populasi.
- Pengguna Facebook di Indonesia sebanyak 81,6% dari jumlah populasi.
- Pengguna Tiktok di Indonesia sebanyak 73,5% dari jumlah populasi.
- Dst. (sumber: https://andi.link).
Dan masih banyak lagi data dari berbagai sumber yang menunjukkan statistik penggunaan internet oleh masyarakat kita berdasakan kriteria tertentu, mulai dari jenis kelamin dan umur pengguna medsos, latar belakang mereka, durasi penggunaan, tujuan penggunaannya, dan masih banyak lagi. Jika teman-teman penasaran dengan spesifkasi lebih rinci terkait data tersebut, cukup ketik keyword yang sudah ada di kalimat sebelumnya, sebab bukan penjelasan dari data tersebut yang menjadi poin utama dari pembahasan pada kesempatan kali ini.
Data diatas sekaligus memperkuat argument bahwa intensitas penggunaan media sosial di Indonesia memang terbilang tinggi.
Pertanyaan yang kemudian muncul ialah, Berdasarkan data diatas terkait tingginya penggunaan media sosial, apakah dapat disimpulkan bahwa masyarakat kita telah mengalami kecanduan medsos?
Sebelum membuat kesimpulan, perlu lebih dulu kita ketahui apa itu kecanduan. Kecanduan merupakan situasi dimana kecenderungan seseorang dalam melakukan sebuah aktivitas yang awalnya tidak wajib berubah menjadi sebuah keharusan yang mendesak dan mempengaruhi kebiasaan hidupnya. Ini disebabkan karena seseorang mengalami ketergantungan, baik secara fisik maupun psikis terhadap sesuatu. Bagi penulis, tingginya intensitas dari suatu aktivitas tidak serta merta membuat kita dapat dikatakan kecanduan terhadap aktivitas tersebut. Frekuensi dan intensitas sebenarnya hanya salah satu unsur dari berbagai tahapan yang dibutuhkan agar seseorang dapat dikatakan kecanduan, adapun tahapan-tahapan ketika seseorang mulai kecanduan yaitu: ketergantungan, hilangnya control terhadap diri sendiri, serta memiliki dampak negatif. Dan atas dasar penjelasan tersebut, jawaban penulis terhadap pertanyaan diatas bahwa: iya, masyarakat kita memang sudah dapat dikatakan kecanduan medsos, sebab sudah memenuhi unsur-unsur yang sudah disebutkan. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
Dimulai dari tahap ketergantungan, saat ini orang-orang cenderung tak bisa lepas dari gadget mereka, mereka menggunakan perangkat elektronik ini mulai dari ketika mereka belajar, bekerja, berkomunikasi bahkan sampai mencari hiburan seperti bermain game atau menonton serial drama kesukaan mereka. Ketergantungan ini muncul ketika seseorang merasa bahwa aktivitas tersebut adalah satu-satunya cara untuk memenuhi kebutuhan sosial atau psikologis mereka, seperti kebutuhan akan penghargaan, validasi, dan semacamnya. Dan ini bisa terjadi dimanapun dan kapanpun tanpa memperhatikan waktu dan tempat. Contohnya ketika sedang menunggu guru di kelas, makan di kantin, dan sebagainya, mayoritas orang yang kita jumpai lebih focus ke gadget mereka, sibuk dengan dunia dalam layar.
Ketika seseorang sudah mengalami ketergantungan terhadap sesuatu, maka secara perlahan tapi pasti ia akan memasuki tahap berikutnya, yaitu hilangnya kemampuan untuk mengontrol diri atas hal tersebut atau yang biasa disebut sebagai Self-Control Loss. Istilah ini merujuk pada situasi dimana seseorang sudah tidak dapat mengontrol dan mengendalikan perilakunya. Sehubungan dengan topik yang dibahas, orang yang mengalami Self-Control Loss ini akan kehilangan kemampuannya untuk membatasi penggunaan gadget dan medsos. Ketika seseorang kehilangan kontrol atas dirinya, maka niat seseorang untuk membatasi penggunaan gadget tidak terwujud dalam perilaku nyata, sehingga kebiasaan yang buruk akan terus berlanjut. Ini disebabkan orang tersebut sudah mengalami unsur yang pertama, yaitu ketergantungan. Adanya rasa ketergantungan, membuat mereka terus-menerus menggunakan gadget mereka, sekalipun tidak ada kebutuhan yang mendesak.
Hal ini bisa disebabkan beberapa hal, misalnya notifkasi dari aplikasi dan medsos yang seringkali membuat kita merasa harus memeriksa gadget kita agar mengetahui isi dari notifikasi tersebut. Selain itu, gadget dan sosmed membuat kita memiliki akses yang melewati batasan ruang dan waktu terhadap banyak hal. Inilah yang kemudian menyebabkan seseorang kesulitan untuk membuat batasan waktu terhadap dirinya sendiri. Misalnya, ketika sedang chat-an dengan teman lewat medsos, seseorang terkadang lupa waktu dan baru berhenti setelah berjam-jam. Membuatnya abai terhadap kegiatan lain yang mungkin lebih penting, seperti belajar, bekerja, atau istirahat.
Dan pada akhirnya, saat manusia kehilangan control terhadap sesuatu, maka tentu akan muncul dampak negatif. Sebab di tahap ini, seseorang akan terjebak dalam lingkaran setan. Dalam konteks ini, ada banyak sekali dampak negatif yang ditimbulkan oleh penggunaan gadget dan sosmed yang berlebihan. Pada kesempatan kali ini, penulis sudah berusaha untuk mengumpulkan dan menghubungkan segala dampak negatif yang mungkin timbul dari kecanduan medsos ini. Berikut diantaranya:
Dampak negatif terhadap kesehatan fisik dan mental
Ada banyak sekali dampak negatif yang muncul akibat penggunaan medsos yang berlebihan terhadap kesehatan fisik dan mental. Salah satunya gangguan terhadap waktu tidur. Dalam contoh kasus, orang-orang yang sudah kecanduan gadget dan medsos sangat sering begadang. Dikarenakan mereka sibuk scrolling sosmed atau bermain game, push-rank bersama teman-teman. Tentunya kebiasaan ini menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan fisik, seperti penurunan imun tubuh atau munculnya berbagai penyakit. Contoh lainnya dalam dampak kecanduan medsos terhadap fisik adalah penurunan aktivitas fisik, sebab ketika sibuk bermain gadget dan sosmed, tubuh kita cenderung diam di tempat selama berjam-jam yang menyebabkan melemahnya otot serta penurunan kinerja tubuh. Dan dampak nyatanya? Berbagai penyakit seperti obesitas bahkan jantung beresiko menyerang.
Seperti yang sudah disebutkan, selain dampak buruk secara fisik, ada dampak buruk secara mental yang bisa menyerang. Salah satunya FOMO (fear of missing out), merupakan fenomena psikologis yang semakin marak di kehidupan serba modern seperti sekarang ini. Kondisi ini menggambarkan ketakutan melewatkan momen, pengalaman, atau aktivitas yang sedang terjadi atau populer di lingkungannya (halodoc.com). ini merupakan salah satu gangguan mental yang timbul akibat penggunaan gadget dan sosmed yang berlebihan. Yang mana dapat memicu kecemasan sosial dan perasaan tidak puas dengan diri sendiri karena tidak bisa mengikuti apa yang orang lain lakukan. Selain fomo, penurunan kemampuan fokus dan konsentrasi merupakan contoh lainnya. Banyaknya informasi yang beredar di sosmed menyebabkan orang cenderung mengalami kelelahan secara mental dalam memproses informasi tersebut. Dan tentu kelelahan ini akan berakibat pada sulitnya menyelesaikan tugas pekerjaan yang membutuhkan fokus dan konsentrasi lebih.
Dampak negatif terhadap kebiasaan-kebiasaan/produktivitas
Sebenarnya bagi penulis, dampak jenis ini masih masuk ke dalam ranah dampak terhadap fisik dan mental, hanya saja kemudian dipisahkan, sebab ada perbedaan dari segi faktor, pengaruh dan efek jangka panjang jika dibandingkan dengan dampak terhadap fisik dan mental. Misal dari segi faktor penyebab, dampak negatif terhadap fisik dan mental cenderung disebabkan oleh faktor biologis, genetic dan psikologis, sementara dampak negatif terhadap kebiasaan disebabkan oleh faktor perilaku dan kebiasaan sehari-hari. Selain itu dari segi pengaruh, dampak negatif terhadap fisik dan mental cenderung mempengaruhi kemampuan beraktivitas, berpikir dan merespon sesuatu. Sementara dampak negatif terhadap kebiasaan cenderung mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berkerja secara efisien, jadi bisa dikatakan bahwa orientasi dari gangguan terhadap kebiasaan adalah performa, tidak selalu berhubungan dengan faktor fisik dan psikologis.
Adapun dalam konteks kecanduan sosmed, contoh nyata dari dampak negatif terhadap kebiasaan adalah munculnya kebiasaan menunda-nunda pekerjaan. Memang tak dapat dipungkiri, seringkali sosmed membuat kita terdistraksi dari tugas kita, di mana notifikasi dari gadget yang terkadang berisi chat dari teman, update berita ataupun konten hiburan yang menarik perhatian dapat dengan mudah mengalihkan fokus kita dari tugas yang sedang dikerjakan. Distraksi inilah yang menyebabkan kita sulit untuk mempertahankan konsentrasi, sehingga waktu produktif terbuang sia-sia. Akibatnya, produktivitas kita secara keseluruhan mengalami penurunan, yang berimbas pada kualitas pekerjaan yang ikut menurun, baik dalam hal kecepatan penyelesaian maupun hasil akhirnya.
Selain di bidang karier, gangguan terhadap kebiasaan ini meluas ke bidang pendidikan juga. Saat ini, tidak sedikit pelajar yang lebih memilih untuk menghabiskan waktu mereka bermain game online, menonton live streaming, atau sekadar scrolling media sosial selama berjam-jam tanpa tujuan jelas, dibandingkan dengan memfokuskan diri pada kegiatan belajar. Kebiasaan ini tidak hanya menyita waktu yang seharusnya digunakan untuk belajar, tetapi juga menurunkan tingkat konsentrasi mereka terhadap subtansi pelajaran. Akibatnya, para pelajar ini sering kali mengalami penurunan kualitas akademik, ini dapat dilhat dari berkurangnya prestasi belajar, nilai ujian yang anjlok, dan kesulitan memahami materi yang disampaikan guru. Ini bisa berdampak negatif pada perkembangan intelektual dan kesiapan para pelajar menghadapi tantangan di masa depan.
Dampak negatif terhadap interaksi sosial
Kehadiran gadget dan media sosial sejatinya telah mengubah cara orang berinteraksi dan berkomunikasi, di mana kini orang lebih sering memilih untuk berinteraksi secara online dibandingkan bertatap muka langsung. Misalnya, meeting dengan klien yang sebelumnya dilakukan secara tatap muka kini beralih ke aplikasi seperti Zoom, proses pembelajaran dan pengumpulan tugas yang dulunya dilakukan di ruang kelas kini dialihkan melalui Google Meet dan Google Classroom. Meskipun aplikasi-aplikasi ini menawarkan kemudahan dan fleksibilitas, ada kalanya dalam situasi tertentu, seperti ketika kualitas jaringan internet tidak stabil, potensi miskomunikasi dan kesalahan dalam interpretasi meningkat. Hal ini dapat menimbulkan kesalahpahaman yang berujung pada timbulnya konflik bagi pihak-pihak di dalamnya.
Selain itu, ketergantungan yang berlebihan terhadap gadget dan media sosial berkontribusi pada penurunan kepekaan sosial seseorang terhadap lingkungan sekitar. Ketika seseorang lebih sering memilih untuk berinteraksi secara digital daripada bertemu langsung, mereka perlahan-lahan kehilangan keterampilan sosial dasar, seperti kemampuan menyapa dan memulai percakapan dengan orang lain, menanggapi suatu interaksi, meminta bantuan, dan lain sebagainya. Akibatnya, orang-orang ini mungkin mulai merasa tidak nyaman dalam situasi sosial yang melibatkan tatap muka, sehingga cenderung menghindarinya. Hal ini memperkuat kecenderungan untuk menjadi antisosial, di mana individu memilih untuk menarik diri dari kegiatan sosial atau komunitas, tidak peduli dengan orang lain dan lebih memilih hidup dalam dunia digital yang terkendali. Ini terbukti dengan adanya fenomena phubbing (phone snubbing), di mana seseorang mengabaikan orang-orang di sekitarnya karena terlalu sibuk dengan ponsel mereka, adalah salah satu contoh nyata dari menurunnya kepekaan sosial manusia. Dalam jangka panjang, hal ini bisa berakibat munculnya dampak negatif terhadap kesehatan fisik dan mental.
Itu tadi berbagai jenis dampak negatif yang timbul sebagai akibat dari kecanduan gadget dan sosmed. Dan sebenarnya, jika kita berbicara mengenai dampak, dampak negatif yang sudah dijelaskan diatas sudah merambah ke ranah global. Kita bisa melihat ilustrasi yang menjadi gambar utama dari artikel ini akan nampak tulisan “No Mobile Phone Phobia”, merupakan kondisi dimana munculnya rasa takut yang berlebihan ketika tak ada akses ke ponsel maupun koneksi internet. Istilah ini pertama kali diperkenalkan pada sebuah studi yang dilakukan oleh UK Post Office pada tahun 2008.
Adapun ciri-ciri dari “No Mobile Phone Phobia”, yaitu: panik saat kehabisan baterai atau jaringan yang lag, terus-menerus memeriksa ponsel sekalipun tidak ada notifikasi, merasa tidak nyaman ketika berada dalam situasi dimana tidak ada ponsel, dan sulit berkonsentrasi. Dan bicara mengenai dampak dari fenomena ini sebenarnya kurang lebih sama seperti yang dijelaskan terkait jenis-jenis gangguan di beberapa paragraph sebelumnya.
Pembahasan terkait fenomena “No Mobile Phone Phobia” ini bertujuan untuk memberitahu bahwa fenomena kecanduan terhadap gadget dan sosmed sudah ada sejak lama, bahkan sudah merambah ke tingkat global, mengingat studi terkait sudah pernah dilakukan di luar negeri pada tahun 2008. Yang kemudian menjadi pesan penting adalah ketergantungan berlebihan pada ponsel dapat menimbulkan dampak serius terhadap kesehatan mental dan kualitas hidup seseorang. Nomophobia tidak hanya sekadar rasa tidak nyaman saat jauh dari ponsel, tetapi juga bisa menyebabkan kecemasan, stres, gangguan tidur, dan masalah sosial yang dapat mempengaruhi produktivitas serta hubungan antar sesama. Karenanya, penting untuk melakukan pembatasan waktu terhadap penggunaan gadget, bahkan kalau perlu kita bisa membuat jadwal tertulis terkait waktu penggunaan gadget. Selain pembatasan waktu, bijak dalam menggunakan gadget dan sosmed adalah langkah berikutnya. Setelah itu, kita bisa menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas di real life, seperti olahraga, membaca buku, menulis, atau berkumpul dan bermain dengan teman-teman.
Akhirnya, tibalah dibagian akhir, yaitu kesimpulan. Penulis menyimpulkan bahwa meskipun teknologi telah berkembang sangat pesat beberapa tahun terakhir, khususnya pembaharuan dalam aspek sosmed. Namun kita tetap harus bijak dan selektif dalam menggunakannya. Tingginya penggunaan sosmed berdasarkan data di tahun 2024 menunjukkan bahwa masyarakat kita sudah kecanduan sosmed, yang mana jika dibiarkan terus-menerus akan membawa dampak buruk secara kolektif. Karena itu pentingnya menerapkan batasan terhadap penggunaan gadget dan sosmen, serta berfokus dengan real life agar tidak menciptakan ketergantungan terhadap gadget dan sosmed. Sekian terimakasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H