Mohon tunggu...
Ahmad Mutawakkil Syarif
Ahmad Mutawakkil Syarif Mohon Tunggu... Mahasiswa - Just a kid from Cendrawasih, Makassar

Hidup adalah seni menggambar tanpa penghapus

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Tren Tawuran #2: Perspektif Negara dan Interpretasi Hukum Dalam Menyikapi Tren Tawuran Di Indonesia

8 November 2024   05:00 Diperbarui: 8 November 2024   13:11 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Tren Tawuran #2: Perspektif Negara dan Interpretasi Hukum Dalam Menyikapi Tren Tawuran di Indonesia"

Setelah di artikel sebelumnya di bahas tentang fenomena kemunculan kelompok-kelompok geng di sekolah, faktor-faktor penyebab kemunculannya dan bagaimana kemudian fenomena itu bisa berkembang menjadi cikal-bakal dari tren tawuran. Pada tulisan kali ini akan dilakukan pembahasan dari sudut pandang negara. Bagaimana sebenarnya negara melihat tren tawuran ini? Serta bagaimana hukum di negara kita mengatur keterlibatan orang-orang di dalamnya? yang bisa membahayakan, tidak hanya diri sendiri tetapi juga orang lain?

Sebelum melakukan telaah lebih jauh, perlu kiranya diketahui lebih dulu apa itu tawuran. Tawuran sendiri berasal dari kata tawur, yang dalam KBBI bermakna perkelahian beramai-ramai; perkelahian massal. Adanya imbuhan -an pada sebuah kata berarti mengubah kata kerja menjadi kata benda yang menggambarkan aktivitas atau hasil dari tindakan tersebut. Jadi penambahan imbuhan -an pada kata tawuran memberikan makna "peristiwa perkelahian massal atau aksi tawuran"

Berdasarkan definisi diatas, maka tawuran digolongkan ke dalam kategori perkelahian yang dilakukan secara berkelompok, yang dalam beberapa situasi dapat memakan korban, baik dalam bentuk jiwa maupun harta benda. Negara kita, Indonesia melihat tren tawuran sebagai sebuah masalah yang serius sekaligus kompleks, yang tidak hanya berkaitan dengan aspek hukum tetapi juga memiliki akar dengan bidang sosial, budaya, pendidikan, dan kesejahteraan sosial. Tawuran dianggap sebagai ancaman terhadap ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan masyarakat.

Dikarenakan tawuran merupakan sebuah masalah yang serius dan dianggap sebagai ancaman, maka sudah sepantasnya ia diatur dalam produk hukum berupa peraturan perundang-undangan. Adapun tujuan penuangannya ke dalam bentuk produk hukum antara lain:

Pertama, untuk mewujudkan salah satu nilai dasar hukum yang dikemukakan Gustav Radburch, yaitu kepastian hukum. Dengan begitu diharapkan masyarakat tahu bahwa tawuran merupakan perbuatan yang berlawanan dengan hukum dan memiliki sanksi pidana yang mengikatnya, sekaligus memberikan perlindungan bagi masyarakat sekaligus mencegah potensi ketidakadilan. Kepastian hukum memastikan bahwa siapa pun yang terlibat dalam tawuran akan dikenakan sanksi yang adil dan sama rata. Dengan demikian, setiap individu paham bahwa keterlibatan dalam tawuran memiliki konsekuensi hukum yang nyata, yang tidak akan berubah tergantung pada situasi atau latar belakang pelakunya. Kepastian hukum ini mengurangi risiko tindakan kekerasan di masa depan karena calon pelaku paham bahwa mereka akan menghadapi hukum yang pasti jika terlibat dalam tawuran. Terakhir, kepastian hukum juga menghindarkan masyarakat dari tindakan main hakim sendiri atau vigilantisme. 

Kedua, untuk menjaga ketertiban dan stabilitas sosial. Di dalam suatu struktur masyarakat, ketertiban dan rasa aman menjadi fondasi bagi kehidupan yang harmonis. Setiap individu memiliki keinginan untuk merasa terlindungi dari ancaman yang dapat merusak keamanan bersama. Namun, sering kali ketertiban ini terganggu oleh tindakan-tindakan yang menimbulkan keresahan, salah satunya tawuran. Tawuran tidak hanya membahayakan mereka yang terlibat, tetapi tawuran juga menimbulkan ketakutan bagi warga sekitar yang merasa terancam dengan adanya kekerasan di lingkungan mereka. Di sinilah hukum memainkan perannya sebagai pengatur kehidupan sosial. Melalui undang-undang, negara mengatur perilaku masyarakat dan menetapkan batasan yang jelas untuk mencegah tindakan yang mengancam ketertiban umum. Jenis tujuan ini mengibaratkan hukum sebagai "lem perekat" yang berguna untuk menyatukan masyarakat dengan berbagai latar belakang. Dengan menetapkan standar perilaku dalam sebuah produk hukum, hukum mencegah terjadinya kekacauan yang dapat timbul dari perbedaan kepentingan dan pandangan.

Ketiga, untuk mempertahankan dan melindungi hak asasi manusia (HAM). Tawuran bukan hanya masalah bentrokan antarindividu atau kelompok, tetapi juga persoalan pelanggaran hak asasi manusia yang mendasar. Setiap kali terjadi tawuran, hak atas rasa aman, hak untuk bebas dari ancaman, serta hak untuk hidup dengan damai milik warga lain turut terancam. Bahkan, hak-hak tersebut juga terampas dari para pelaku yang seringkali terlibat karena tekanan sosial atau pengaruh lingkungan. Dan dengan menuangkannya ke dalam peraturan perundang-undangan, maka peraturan tersebut menjadi "perisai" yang menjaga hak-hak kita sebagai manusia, mulai dari hak kodrati sampai hak universal. Undang-undang memberikan jaminan bahwa jika hak seseorang dilanggar, ada mekanisme yang adil untuk menuntut keadilan dan memperoleh perlindungan, singkatnya perlindungan hukum memberikan kepastian bahwa setiap individu memiliki hak yang tidak bisa disingkirkan atau dirampas dengan mudah.

Setelah mengetahui alasan penuangan suatu masalah ataupun ancaman yang dianggap serius (tawuran) ke dalam suatu produk hukum, yaitu peraturan perundang-undangan. Maka pembahasan berikutnya tentu mengenai bagaimana tawuran diatur dalam sistem hukum negara kita?. Tawuran sendiri sebenarnya telah diatur dalam yurisdiksi negara kita, tepatnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 

KUHP adalah sebuah kitab yang berisi sekumpulan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang apa yang disebut perbuatan pidana dan juga sanksi hukum berkenaan dengan perbuatan tersebut, dimana diperuntukkan bagi orang yang melakukan tindak pidana di Indonesia. Sederhananya, KUHP adalah dasar hukum utama yang digunakan untuk menilai dan menangani tindak pidana di Indonesia.

KUHP sendiri terdiri dari 3 buku utama. Buku pertama membahas terkait ketentuan umum, terkait asas-asas dan ketentuan pokok dalam hukum pidana, termasuk definisi tindak pidana, jenis-jenis hukuman, pertanggungjawaban pidana, dan hal-hal yang meringankan atau memperberat hukuman. Buku kedua berisi tentang apa yang disebut sebagai kejahatan, seperti pembunuhan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemerkosaan, penganiayaan, dan sebagainya. Dan buku terakhir berisi tentang pelanggaran, yang bersifat ringan atau tidak terlalu serius, seperti pelanggaran ketertiban umum, pelanggaran lalu lintas, dan sebagainya.

Dalam KUHPidana, tawuran dibahas dalam dua pasal yang berbeda. Pertama pada Bab V tentang kejahatan terhadap ketertiban umum, yaitu Pasal 170. Kedua, pada Bab XX tentang penganiayaan, yaitu Pasal 358. Meskipun kedua pasal ini dipisahkan oleh 188 Pasal lainnya, namun kedua namun kedua pasal ini memiliki kesamaan dalam mengatur tindakan kekerasan yang mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat. Pasal 170 mengatur mengenai kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama terhadap orang atau barang di tempat umum, yang dianggap melanggar ketertiban umum. Sementara itu, Pasal 358 mengatur tentang tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap seseorang atau beberapa orang yang mengakibatkan luka atau kerugian secara fisik pada korban. Selain itu, kedua pasal ini sama-sama terdapat pada Buku II tentang Kejahatan, karenanya tawuran dari perspektif pidana digolongkan sebagai sebuah kejahatan.

Sumber: CANVA.
Sumber: CANVA.

Adapun bunyi dari Pasal 170 KUHPidana yaitu sebagai berikut:

Pasal 170
(1) Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Yang bersalah diancam:
1. dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka;

2. dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat;
3. dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.
(3) Pasal 89 tidak diterapkan.

Pada ayat pertama di pasal ini diatur secara jelas tentang unsur-unsur yang harus dipenuhi agar kejadian tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Unsur dalam tindak pidana diartikan sama dengan syarat menurut Van Bemmelen. Adapun unsur-unsur pada pasal ini terbagi menjadi dua, yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Yang termasuk unsur subjektif pada ayat 1 ialah "Barangsiapa". Makna barang siapa disini adalah subjek hukum berupa orang-perseorangan ataupun badan hukum yang memiliki hak dan kewajiban, dan mampu mempertanggung jawabkan tindakannya di muka hukum.

Sementara yang termasuk ke dalam unsur objektif pada ayat 1 tersebut ada 4 unsur, yaitu; Pertama, "dengan terang-terangan". Bermakna bahwa lokasi terjadinya tindak pidana tersebut adalah area publik yang dapat terlihat oleh masyarakat, dengan kata lain, kejadian tersebut terjadi di tempat yang dapat dengan mudah disaksikan atau diakses oleh publik/orang banyak. Kedua, "dengan tenaga bersama-sama". Ini merujuk pada keterlibatan dua orang atau lebih yang secara aktif bekerja sama untuk melakukan suatu tindak pidana. Adanya kata "bersama-sama" ini mengandung makna bahwa setiap orang yang terlibat memiliki peran atau kontribusi langsung dalam melakukan tindakan tersebut, sehingga mereka semua dianggap turut serta dalam kejahatan itu. Ketiga, "melakukan kekerasan". "Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak sah, misalnya memukul dengan tenaga atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya." (Soesilo,1996:98). Keempat, "terhadap orang atau barang". bahwa tindak pidana yang dilakukan dapat ditujukan baik pada individu (orang) maupun pada objek atau properti (barang). Ini mencakup segala bentuk kekerasan atau tindakan yang dapat mencederai, melukai, atau mengancam keselamatan fisik atau psikologis seseorang. Selain itu mencakup pada kekerasan atau tindakan yang merusak, menghancurkan, atau membuat properti seseorang menjadi tidak berfungsi atau hilang nilainya.

Pada ayat kedua, ketentuan pidana diperberat jika tindakan kekerasan yang dilakukan mengakibatkan konsekuensi yang lebih serius bagi korban. Ayat (2) memiliki beberapa tingkatan hukuman yang tergantung pada hasil atau dampak dari kekerasan tersebut.

Setelah, membaca penjabaran pada pasal 170, saatnya beralih ke pasal berikutnya yang juga mengatur terkait tawuran, yaitu Pasal 358, adapun bunyi dari Pasal 358, yaitu sebagai berikut:

Pasal 358

Mereka yang sengaja turut serta dalam penyerangan atau perkelahian dimana terlibat beberapa orang, selain tanggung jawab masing-masing terhadap apa yang khusus dilakukan olehnya, diancam:
1. dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, jika akibat penyerangan atau perkelahian itu ada yang luka-luka berat;
2. dengan pidana penjara paling lama empat tahun, jika akibatnya ada yang mati.

Sama seperti Pasal 170, Pasal 358 ini terdiri dari 5 unsur juga, yaitu; Pertama, "Mereka". kata "mereka" mencakup siapa saja yang terlibat dalam tindak kekerasan tersebut. Pada dasarnya, kata "mereka" di sini merujuk kepada para pelaku yang melakukan penganiayaan secara sengaja hingga menyebabkan kematian pada orang lain. Dan perlu diingat, bahwa penggunaan kata "mereka" menunjukkan bahwa pelaku sudah pasti tidak sendirian. Kedua, "yang sengaja". Adanya unsur sengaja ini menunjukkan bahwa unsur-unsur lain yang ada setelahnya secara jelas dipengaruhi dan harus diikuti oleh unsur sengaja tersebut. Oleh karena itu, keterlibatan seseorang dalam penyerangan atau perkelahian harus benar-benar dilakukan dengan kesengajaan dari pihak yang bersangkutan. Ketiga, "turut serta". Ini merujuk pada keterlibatan aktif dalam tindakan kriminal yang dilakukan secara kolektif, di mana partisipasi tersebut harus disertai dengan niat atau kesadaran. Keempat, "dalam penyerangan atau perkelahian dimana terlibat beberapa orang". Ini mengacu pada situasi di mana suatu tindakan penyerangan atau perkelahian melibatkan lebih dari satu orang pelaku. Dalam konteks ini, beberapa orang berarti bahwa tindak kekerasan tidak dilakukan oleh satu individu saja, melainkan dilakukan secara bersama-sama atau kolektif oleh beberapa orang yang turut serta dalam penyerangan atau perkelahian tersebut. Karena itu, jika tindakan tersebut hanya melibatkan orang perseorangan, maka pasal ini tidak perlu diterapkan. Kelima, "Jika akibat penyerangan atau perkelahian itu ada yang luka-luka berat, atau jika akibatnya ada yang mati". Ini termasuk sebagai unsur akibat serta unsur tambahan yang menunjukkan tingkat keparahan akibat yang terjadi akibat penyerangan atau perkelahian yang dilakukan secara kolektif.

Penjelasan diatas merupakan penjelasan singkat terkait penjabaran unsur-unsur yang terdapat pada Pasal 170 dan Pasal 358 pada KUHPidana. Para ahli hukum pidana pun sebenarnya mempunyai tafsir yang berbeda-beda terkait unsur-unsur ini. Namun pada kesempatan kali ini tidak akan dibahas terkait perbedaan interpretasi tersebut, melainkan akan berfokus pada apa yang menjadi perbedaan diantara kedua pasal ini.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwa Pasal 170 termasuk ke dalam kategori kejahatan terhadap ketertiban umum. Jadi selama para pelaku melakukan kekerasan terhadap orang ataupun barang, maka pasal ini sudah dapat diterapkan, tanpa harus menyebabkan luka berat ataupun kematian. Selain itu, Pasal 170 menggunakan kata "Barang siapa", yang berarti pasal ini berlaku secara individual pada orang yang terlibat dalam tawuran tersebut. Jadi jika ada orang yang mengalami luka berat ataupun kehilangan nyawa, maka itu menjadi tanggung jawab bagi orang yang secara langsung menyebabkan akibat itu. Ia harus bertanggung jawab untuk kemudian menerima sanksi pidana. Sementara orang lain yang terlibat dalam kejadian yang sama tidak dibebankan pertanggung jawaban serupa.

Sedangkan pada Pasal 358 termasuk ke dalam kategori kejahatan dalam bentuk penganiayaan. Ia mengatur tentang hal yang lebih spesifik, yaitu jika perkelahian/penyerangan (tawuran) tersebut mengakibatkan korban jiawa yang mengalami luka berat dan sampai kehilangan nyawanya, jadi jika tak ada yang mengalami luka berat atau sampai kehilangan nyawa, maka pasal ini tidak bisa diterapkan. Penggunaan kata "mereka" untuk merujuk pada unsur subjektif, menunjukkan bahwa pasal ini termasuk ke dalam pasal kolektif. Itu artinya, jika seandainya ada yang mengalami luka berat dalam tawuran itu, maka seluruh orang yang terlibat di dalamnya dikenakan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan. Sedangkan jika ada yang sampai kehilangan nyawa, maka seluruh orang yang terlibat di dalamnya dikenakan pidana penjara paling lama 4 tahun.

 

Adanya pasal yang secara khusus mengatur tentang sanksi akibat tawuran, bahkan sampai disertai dengan pemberatan jika konsekuensi nya lebih serius adalah bukti bahwa negara melihat "tren tawuran" ini sebagai sesuatu yang bisa mengancam kepentingan serta lingkungan hidup masyarakat. 

Sumber: CANVA.
Sumber: CANVA.

Namun, masih ada satu petanyaan penting,"bagaimana dengan anak-anak yang terlibat dalam tawuran, bukankah mereka belum cukup umur?". Ini penting mengingat saat ini kontribusi terbesar dalam naiknya "tren tawuran" adalah anak-anak di bawah umur, khususnya mereka yang masih SMP-SMA. Sebenarnya terkait keterlibatan anak-anak dibawah umur dalam tawuran sebenarnya sudah diatur juga dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomer 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dalam UU ini disebutkan terkait batas usia anak yang bisa dikategorikan sebagai pelaku dalam sistem hukum. Dalam pasal 1 ayat (3) disebutkan bahwa "Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana." 

Namun, tentu harus dipahami bahwa anak-anak yang diadili dalam sistem peradilan anak ini jelaslah mendapat perlakuan yang berbeda dibandingkan dengan orang dewasa yang di adili di peradilan pidana umum. Sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 3 UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Bahwa setiap anak yang terlibat dalam proses pidana berhak mendapat: perlakuan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya, memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif; melakukan kegiatan rekreasional; bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya; tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup; tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat; tidak dipublikasikan identitasnya; dan masih ada lagi beberapa keistimewaan yang anak-anak terima selama proses peradilan pidana khusus anak sedang berlangusng.

Sistem peradilan pidana anak mengedepankan prinsip restorative justice sebagaimana yang terdapat pada pasal 5 UU terkait. Restorative justice, sebagaimana dijelaskan pada Pasal 1 ayat (6) merupakan bentuk penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Dan untuk mewujudkan prinsip ini, ditahap penyidikan dan penyidangan anak wajib diupayakan diversi {Pasal 5 ayat (3)}. Diversi sendiri merupakan proses pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Namun perlu diingat bahwa diversi hanya bisa terjadi jika mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, dan ini sebuah keharusan. Adapun terkait prosedur pelaksanaan secara keseluruhan dan informasi lebih lanjut terkait diversi telah diatur dalam dalam Undang-Undang Nomer 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Seorang Anak Yang Ditemani Petugas Pembimbing Kemasyarakatan. Sumber: https://medan.tribunnews.com/2024/10/04/pk-bapas-sibolga-dampingi-anak-mengikuti
Seorang Anak Yang Ditemani Petugas Pembimbing Kemasyarakatan. Sumber: https://medan.tribunnews.com/2024/10/04/pk-bapas-sibolga-dampingi-anak-mengikuti

Setelah membahas tentang pandangan negara terhadap "tren tawuran" ini, bagaimana konstitusi negara Indonesia mengaturnya, unsur-unsur yang harus dipenuhi agar dapat diproses secara hukum, dan akibat hukum tentang keterlibatan anak-anak yang masih dibawah umur, sampailah kita pada sebuah kesimpulan. "Tren tawuran" dari perspektif negara dianggap sebagai sebuah masalah yang serius, dan untuk menjamin kepastian hukum, menjaga ketertiban sosial dan HAM, maka "tren tawuran" tersebut kemudian diatur dalam sebuah peraturan. Adapun keterlibatan anak-anak dibawah umur dalam tren ini pun telah diatur dalam sebuah peraturan juga, yaitu dalam Undang-Undang Nomer 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Jadi anak dibawah umur yang terlibat dalam tawuran juga dapat dikenakan sanksi pidana, namun tentunya ketentuan terkait pemberian sanksi tersebut jelas berbeda dengan orang dewasa.

Dikarenakan ternyata pembahasan kali ini ternyata lumayan panjang, maka terkait upaya preventif, represif serta preemptif  dalam menekan angka tawuran di Indonesia akan dibahas pada kesempatan berikutnya. sekian terimakasih.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun