Mohon tunggu...
Ahmad Munir Chobirun
Ahmad Munir Chobirun Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Penulis Lepas, Pengelola Blog ahmadmunir.page.tl

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengurangi Anak Bermain Gawai, Memperbanyak Interaksi Anak Dengan Lingkungan

5 April 2018   13:56 Diperbarui: 5 April 2018   14:01 848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

MENGURANGI ANAK BERMAIN GAWAI, MEMPERBANYAK INTERAKSI ANAK DENGAN LINGKUNGAN

Oleh: Ahmad Munir

Dahulu, genarasi yang lahir pada era 1980 s.d. 1990-an, hanya membayangkan dapat menonton video dalam genggaman tangan. Berkat kemajuan teknologi dalam waktu yang cukup cepat, generasi tersebut sudah dapat menyaksikan video dalam genggaman tangan. Bayangan yang dulu menjadi khayalan, kini sudah menjadi kenyataan. Lalu, anak-anak yang lahir pada era 2000 s.d. 2010-an, tentau sudah membayangkan tentang khayalan dan impian masa depan yang berbeda. Tentu setiap masa membawa kebudayaan yang berbeda.

Gawai atau gadgetsebagai perangkat teknologi informasi yang mutakhir, keberadaanya banyak mengubah gaya hidup. Tidak terkecuali masa anak-anak, yang dahulu lebih banyak bermain di luar rumah, kini lebih banyak dihabiskan memegang gawai. Di lingkungan perkotaan, bahkan area bermain sudah tidak banyak tersedia. Akibatnya, lebih banyak anak memilih bermain di rumah. Mereka lebih banyak bermain game atau berkreasi lain. Sederhananya, teknologi ini membawa perubahan yang drastis.

Pada perkembangannya, fitur gawai yang paling familiar dimainkan bayi umur lima tahun (balita) dan anak-anak antara lain video, gambar, dan permainan (game). Rata-rata anak pada usia lebih dari dua tahun sudah dapat mengoperasikan sendiri, misalnya menghidupkan dan mematikan gawai, mengarahkan menu pada aplikasi, atau membuka aplikasi yang familiar. Kemudian, anak-anak merespon dengan memutar berulang ulang video dan gambar yang paling dikenal.

Jika pada fase anak-anak memahami gawai ini tidak dibatasi, balita dan anak-anak memiliki kecenderungan ingin memainkan gawai dan berulang-ulang, tanpa mengenal batas waktu. Bahkan beberapa anak masuk kategori kecanduan, sehingga tidak dapat dihentikan, atau menangis keras jika diminta gawainya. Hal ini, mengganggu kondisi anak baik secara fisik maupun psikis.  

Lingkungan rumah juga tidak menyediakan waktu dan area bermain yang cukup. Kebutuhan bermain anak sering tidak sesuai dengan waktu yang disediakan orang tua. Padahal interaksi anak dan orang tua masih menjadi kunci, untuk mentransfer pengetahuan dan pengenalan tentang lingkungan. 

Juga pengetahuan tentang etika dan normal. Selebihnya media sosial mengambil alih proses pembelajaran mengenal lingkungan sekitar. Kadang-kadang sosial media lebih banyak memuat ilusi dan karakter abstrak. Padahal anak-anak hendaknya mengenal nilai-nilai dengan media bermain dan lingkungannya. Tanpa harus diajarkan secara langsung, lewat proses pembelajaran, cukup dengan bermain anak-anak akan mengenal nilai baik dan buruk dari permainan.

Kondisi ini berbeda dengan interaksi anak dengan media gawai dan televisi. Gawai menyediakan media permainan yang tidak mengenal etika dan norma. Gawai praktis hanya mengenalkan persaingan (kompetisi) dan prestasi. Gawai juga tidak memberikan apresiasi pada anak, dari sisi nilai, yang ada adalah nilai (point), yang abstrak dan tidak dapat dimanfaatkan bersama. Letak perbedaannya sangat mendasar, tentu dampaknya akan berbeda pada perkembangan fisik, psikologi dan mental anak.

Penulis saat ini memili anak balita, usia hampir tiga tahun dan kondisinya sudah sangat mengenak gawai. Anak penulis juga terlibat dalam permainan di lingkungan sekolah bermainnya. Pengalaman pribadi penulis menunjukkan dengan dibatasi bermain gawai, anak mencari alternate permainan yang langsung bersentuhan secara sosial. Tulisan ini merefleksikan pula kondisi dan keadaan anak-anak Indonesia dan interaksinya dengan gawai.

Jadi refleksi generasi yang lahir tahun 1980 s.d. 1990-an adalah bagaimana mengenalkan lingkungan dan nilai-nilai kepada anak, tanpa anak harus menjadi korban gawai? Bagaimana anak-anak mengenal nilai dan norma dari orang tua? Dan bagaimana orang tua bijak memanfaatkan media gawai dan televisi sebagai solusi media mendidik anak? Tulisan ini mencoba menjawab dan mengurai masalah-masalah itu.

Perkembangan Dunia Anak

Anak dalam definisi tulisan ini adalah masa balita dan anak-anak, usia 1-12 tahun. Secara umum, anak-anak adalah mereka yang sebagaian besar hidupnya, masih sangat bergantung pada orang lain, khususnya orang tuanya, baik dalam memenuhi kebutuhan makan dan pakaian, juga aktivitas lainnya. Kelompok ini tidak dimasukkan dalam kelompok produktif.

Lingkungan daur hidup manusia selalu mengalami fase anak-anak, yang mana proses pembelajaran didapatkan dari bermain. Anak-anak belum mengenal metode belajar, belum pula memahami sistematika belajar. Anak-anak baru mengetahui yang ditangkap dari panca indera, yang menarik secara visual, itu yang diminati dan potensi besarnya meniru hal yang diminati.

Pada fase ini, sebenarnya anak-anak dalam masa mengenal dan mendeskripsikan lingkungan. Makanya tidak sedikit anak-anak sangat menyukai figur, dan membanggakan figur yang menjadi sosok panutan. Media televisi menyediakan banyak figure khayalan, yang sangat familiar dan dikenal di dunia anak-anak. Misalnya; Tayo (bis kecil ramah), Upin-ipin (anak-anak yang baik), Adit dan Sopo Jarwo (persahabatan) dan tokoh animasi lainnya. Jika pada fase ini anak-anak tidak diperkenalkan ke lingkungan sosial, khayalan anak-anak tentang tokoh, tidak dihadapi di dunia nyata.

Mengenalkan Nilai dan Lingkungan pada Anak-anak

Masa depan bangsa tergantung pada para ibu, utamanya dalam mendidik anaknya, sebagai tunas dan generasi penerus. Ibu memberi andil, karena mendidik anak pada nilai-nilai yang dasar.

Anak-anak perlu tetap mengenal norma etika dan norma sosial dalam tata pergaulan. Nilai-nilai tidak didapat serta merta, melainkan proses dan interaksi sosial

Pendidikan mengenal lingkungan menjadi sangat penting bagi balita dan anak-anak. Rasa ingin tahu dan rasa penasaran yang dimiliki menjadi modal bagi orang tua, untuk mendidik anak-anak mengenal lingkungannya, tanpa harus mengenal melalui medium gawai dan televisi. Lingkungan yang paling dominan mempengaruhi anak berdasarkan pengamatan penulis, antara lain; lingkungan bermain, sekolah bermain, televisi dan gawai.

Balita dan anak-anak perlu mengenal lingkungan dengan metode learning by doing. Mempelajari dan mengenal objek dengan berinteraksi langsung, namun dalam pengawasan penuh orang tua. Anak-anak belajar tentang objek huruf, angka, hewan, tumbuhan, alat transportasi, jenis bahan makanan, buah-buahan dan objek lainnya dengan mengenal langsung.

Mengenalkan nilai dan lingkungan pada anak-anak tidak didapat di media gawai, melainkan dari pemainan yang secara intens memaksa anak beinteraksi dengan anak-anak lain. Anak akan merasakan proses pembelajaran dari permainan, baik tentang benar dan salah, atau tentang hal lain seputar objek benda.

Membatasi Menggunakan Gawai

Gawai adalah objek yang netral, kedudukannya tidak memiliki unsur nilai apapun, hanya dalam prakteknya, tidak banyak orang tua yang dapat memanfaatkan gawai sebagai media pembelajaran yang optimal.

Masa balita dan anak-anak adalah masa dimana kebutuhan fisik terutama makanan, gizi dan istirahat yang perlu dipenuhi. Perbandingan masa bermain dan masa istirahat perlu seimbang dicirkan dengan jumlah jam yang hampir sama. Siklus istirahat dan tidur balita dan anak-anak masih lebih panjang dibanding masa lainnya. Gawai pada fase ini dapat mengganggu komposisi istirahat dan bermain anak.

Sementara, pada fase ini, anak-anak tidak ada kompromi, anak-anak hanya akan memanfaatkan gawai pada aplikasi yang dia pahami, sebagaimana lingkungan sekitarnya.

Permainan anak juga lebih baik pada jenis permainan fisik, untuk melatih organ tubuh pada anak, agar mengalami fase kematangan. Fisik anak-anak yang lebih banyak menggunakan waktunya untuk bermain gawai, tentu dapat terganggu mengingat bermain gawai memforsir organ mata dan organ tangan, dibanding organ lain. Jangan sampai kecenderungan memainkan gawai dalam batas waktu yang tidak wajar mengganggu pertumbuhan organ fisik anak.

Kondisi keduanya, bertentangan dan tidak mudah dicari titik temunya. Pada intinya, anak-anak lebih memanfaatkan gawai, untuk hal-hal yang disukai saja. Tidak mudah orang tua mengarahkan pada anak-anak, media pembelajaran.

Secara garis besar, gawai dapat menjadi penunjang dan media pembelajaran dalam rangka anak mengenal objek benda, dengan visualisasi yang menarik dan dinamis. Tetapi dengan catatan, harus dibatasi dan diawasi sesuai keperluan atas penggunaan gawai.

Mendidik dengan Interaksi Langsung

Mendidik adalah proses aktif, yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik, dengan serangkaian metode yang terukur dan terencana. Karena proses aktif, maka orang tua harus mengambil peran sebagai pendidik utama. Agar berhasil, tentu perlu memanfaatkan berbagai perantara, yang memungkinkan keinginan untuk membangun itu dapat terlaksana dengan baik.

Anak-anak perlu diberi kebebasam mengenal dunianya dengan lingkungan. Lingkungan banyak memberi pelajaran dan nilai. Anak-anak dapat mengenal penghargaan (reward) dan sanksi (punishment) dari lingkungannya.

Membiarkan anak berinteraksi dengan gawai secara berlebih, apalagi tanpa kendali dan pengawasan orang tua, tentu dapat menimbulkan efek yang kurang baik. Interaksi anak pada media pembelajaran sejenis gawai atau televisi, harus atas rencana pendidik (orang tua), tidak dibiarkan sendiri. Seperti halnya dalam menonton tayangan televisi, tidak semua layak ditonton anak-anak.

Sosialisasi anak pada lingkungan melatih fisik dan mental anak. Fisik anak akan terlatih dengan jenis permainan yang mengharuskan akan bergerak, misalnya bermain sepeda, mobil-mobilan, bola, origami, dan jenis mainan fisik lainnya.

Dalam interaksinya dengan lingkungan, anak juga akan mengenal karakter, perilaku, dan rasa. Pada ahirnya anak akan terlatih untuk menentukan pilihan sikap yang baik pada saat bermain dan bersama dengan teman sebayanya.

Interaksi langsung menjadi media pembelajaran yang paling riil, yang paling sesuai dengan fase pertumbuhan anak. Anak akan mengalami perkembangan fisik dan mental yang seimbang. Banyak pelajaran yang akan dirasakan oleh anak secara langsung, tanpa harus melalui pembelajaran formal. Anak-anak akan mengenal dunianya berdasarkan pengalaman yang lebih nyata.

Gawai dan Televisi sebagai Solusi Media Pembelajaran

Kepedulian pemerintah pada situasi ini terlihat dari banyaknya program pemerintah yang merancang anak didik sejak usia dini. Pendidikan anak usia dini termasuk yang dirangsan untuk menumbuhkan lingkungan belajar dan bermain anak.

Harus diakui, pemerintah melalui institusi yang ditugasi, sudah cukup serius mengawasi tayangan yang ramah anak. Tidak sedikit, tayangan anak-anak kita mengandung muatan nilai dan pembelajaran. Hanya masih lebih banyak yang lebih menekankan pada aspek hiburan dan keceriaan semata.

Gawai membantu pada pembelajara anak yang bersifat visual dan dinamis. Gawai dibatasi pada alat untuk membantu mempermudah pengenalan objek pada anak. Kemudahan dalam mendapatkan berbagai aplikasi yang mendukung anak mengenal objek dan lingkunganya lebih cepat. Namun harus pula diimbangi dengan nilai, norma dan larangan-larangan.

Dalam rangka memanfaatkan gawai sebagai media pemlejaran, saat ini sudah banyak dikembagkan aplikasi yang memungkinkan anak mempelajari objek dan mengenal objek benda, sesuai dengan kebutuhan umur anak. Jadi gawai dapat menjadi solusi atas permasalahan terbatasnya sarana dan prasarana visualisasi peraga, untuk memperkenalkan objek benda pada anak.

Tahapannya tentu harus dilalui orang tua sebagai bagian dari pendidik. Pertama, berikan kesempatan kepada anak untuk lebih banyak mengenal objek benda di lingkungan nyata. Kedua, orang tua mencari aplikasi yang mendukung pemodelan objek benda di lapangan dengan model di dalam aplikasi gawai. Ketiga, batasi waktu penggunaan gawai. Keempat, batasi interaksi langsung anak dengan gawai, untuk menghindarkan anak pada keinginan untuk memainkan gawai secara berkelanjutan.

Sekali lagi gawai dan televisi menjadi media yang netral. Keputusan orang tua dalam mengawasi anak-yang menentukan. Jika anak diperlihatkan tayangan yang mendidik, yang humanis, yang mengajarkan pada nilai dan budaya lokal  kita, yang mengajarkan sopan santun, dan aklak luhur lainnya.

Sampai pada ahirnya, mengurangi anak bermain gawai dan memperbanyak interaksi anak dengan lingkungan adalah pilihak bijak orang tua di kota besar seperti Jakarta. Tentu interaksi dengan lingkungan, yang diawasi oleh orang tua dan tidak membahayakan. Biarlah anak-anak mendapat pendidikan dari lingkungan bermainnya, tanpa harus menjadi korban perkembangan teknologi informasi, yang belum sesuai dengan kebutuhan anak.

#sahabatkeluarga

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun