Kampus, sebagai pusat pendidikan tinggi, sering digadang-gadang sebagai mimbar kebebasan berpikir dan berekspresi. Namun, realitas yang dihadapi oleh mahasiswa sering kali bertolak belakang dengan gagasan ideal ini. Mari kita gambarkan dengan gamblang bagaimana kebebasan berpikir dan berekspresi mahasiswa di beberapa kampus justru dihadapkan pada represi, kekerasan, dan pelanggaran hak asasi.
Kebebasan Berpikir yang Terpasung
Kebebasan berpikir merupakan elemen fundamental dalam membangun peradaban. Coba kita perhatikan, ketika mahasiswa mengeluhkan bahwa diskusi, ruang berkumpul, dan demonstrasi yang mereka lakukan sering kali dibubarkan, bahkan dengan kekerasan. Ketika mahasiswa mencoba menuntut keadilan dan mengekspresikan pandangan mereka, respons yang diterima adalah tindakan represif yang melibatkan pemukulan dan intimidasi.
Pertama-tama, jika kita telaah, aturan-aturan yang melarang mahasiswa baru untuk berkumpul dan berserikat semakin mempersempit ruang untuk kebebasan berekspresi. Alih-alih menciptakan lingkungan yang ramah untuk belajar dan berdiskusi, kampus justru menghadirkan aturan-aturan yang membungkam kebebasan mahasiswa. Menjadi ironi, sebuah institusi yang seharusnya mendorong kebebasan berpikir justru menjadi penghalang utama bagi praktik tersebut.
Represi dan Kekerasan: Luka yang Membekas
Kedua, mari kita suarakan pengalaman pahit mahasiswa yang menjadi korban kekerasan fisik saat berdemonstrasi. Pemukulan dengan tongkat kayu dan benda tumpul, luka-luka fisik yang dialami, serta ketidakpedulian birokrasi kampus menunjukkan suramnya wajah kampus yang sering disebut "kampus peradaban". Mari kita tanyakan pada dosen-dosen di kampus, bagaimana kampus dapat menjadi pelopor peradaban jika tindakannya justru melanggengkan kekerasan dan ketidakadilan?
Ketika mahasiswa yang memperjuangkan keadilan dianggap sebagai kriminal, realitas ini menciptakan lingkungan yang mengikis kepercayaan mahasiswa terhadap institusi pendidikan. Kampus tidak hanya gagal melindungi mahasiswanya, tetapi juga menjadi pelaku utama dalam pelanggaran hak-hak mereka.
Dilarang Berorganisasi
Selain kekerasan, diskriminasi dan kontrol ketat terhadap aktivitas mahasiswa menjadi isu lain yang diangkat. Pelarangan terhadap organisasi mahasiswa ekstra, pelarangan berkumpul bagi mahasiswa baru, dan pembatasan kegiatan diskusi menunjukkan bahwa kebebasan mahasiswa berada di bawah ancaman serius. Bahkan, tindakan represif seperti pembakaran atribut organisasi mahasiswa oleh oknum dosen mencerminkan ketidakhormatan terhadap hak mahasiswa untuk berserikat.
Lebih ironis lagi, tindakan represif ini dilakukan oleh individu yang seharusnya menjadi teladan. Ketika oknum dosen dan birokrasi kampus menunjukkan sikap yang bertentangan dengan nilai-nilai peradaban, mahasiswa kehilangan sosok inspiratif yang seharusnya membimbing mereka dalam mengejar ilmu, membangun karakter dan bebas menciptakan imajinasinya.
Kampus Peradaban: Mitos atau Realitas?
Mari kita jawab bersama, apakah kampus benar-benar dapat disebut sebagai "kampus peradaban" ketika kebebasan berpikir dan berekspresi mahasiswa dibungkam. Peradaban yang sejati lahir dari keberanian untuk berpikir bebas, mendiskusikan ide-ide tanpa takut represif, dan menghormati perbedaan pendapat. Jika kampus gagal menyediakan ruang untuk itu, maka klaim sebagai kampus peradaban menjadi sekadar mitos kosong.
Harapan untuk Masa Depan
Kisah ini seharusnya menjadi pengingat bagi generasi mendatang. Kampus yang ideal adalah kampus yang menghormati kebebasan berpikir, mendukung mahasiswa dalam mengejar keadilan, dan menumbuhkan solidaritas dalam menghadapi tantangan. Kekerasan, diskriminasi, dan pembatasan hanya akan merusak tujuan pendidikan yang sebenarnya.
Sampaikan kepada mahsiswa lainnya. Kita sebagai mahasiswa memiliki hak untuk mempertanyakan, mengkritik, dan memperjuangkan perubahan. Jika kampus tidak dapat memenuhi peran ini, maka mahasiswa harus terus bersuara dan menuntut perbaikan. Sejarah peradaban selalu menunjukkan bahwa perubahan besar sering kali dimulai dari keberanian individu atau kelompok untuk melawan ketidakadilan.
Mari kita ingatkan kepada dosen-dosen di kampus dan kepada para mahasiswa lainnya, kebebasan berpikir adalah hak fundamental, dan mempertahankannya adalah tanggung jawab bersama. Kampus, sebagai simbol peradaban, harus merefleksikan ulang misinya dan memastikan bahwa setiap mahasiswa memiliki ruang untuk berpikir, berekspresi, dan berimajinasi tanpa takut represif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H