Sekilas Tentang Konflik Laut China Selatan
Laut China Selatan (LCS) punya lebih dari 250 pulau dan terumbu karang, dengan dua pulau besar yaitu Kepulauan Spratly dan Paracel. Wilayah ini membentang dari negara Singapura di Selat Malaka hingga Selat Taiwan.Sebagian besar pulaunya tidak berpenduduk dan terendam ketika air pasang. LCS dikelilingi oleh sepuluh negara pantai, yaitu China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Thailand, Kamboja, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Indonesia. Merujud data Britannica, LCS punya luas 3,685 juta kilometer persegi.
LCS merupakan salah satu perairan yang sangat strategis karena menjadi jalur pengiriman barang lewat laut tersibuk kedua di dunia. CFR Global Conflict Tracker mencatat, nilai perdagangan gas alam cair yang melintasi kawasan ini pada 2017 mencapai 40% dari total konsumsi dunia. Di samping itu, wilayah ini juga menyimpan sumber daya alam yang melimpah seperti minyak, gas alam, dan lainnya. Diperkirakan, kawasan ini punya 11 miliar barel minyak dan 190 triliun kaki kubik gas alam yang belum dimanfaatkan. Oleh karenanya, tidak heran jika wilayah ini diperebutkan oleh beberapa negara. Ada enam negara yang terlibat secara langsung dalam konflik di LCS, yaitu China, Vietnam, Filipina, Taiwan, Brunei, dan Malaysia.
China mengklaim kepemilikan 90 persen wilayah Laut China Selatan. Vietnam mengklaim Kepulauan Paracel dan Spratly. Filipina mengklaim Kepulauan Spratly dan Scarborough Shoal. Brunei dan Malaysia bagian selatan LCS dan sebagian Kepulauan Spratly. Masing-masing merasa bahwa mereka lah yang berhak atas wilayah yang diperebutkan itu. Mereka membangun pulau-pulau kecil dan pangkalan bersenjata untuk memperkuat klaim kepemilikan mereka. Klaim-klaim tersebut menyebabkan ketegangan dan konflik yang berkepanjangan di kawasan itu.
Konflik di LCS adalah sengketa yang sangat kompleks. Dalam sejarahnya, pihak yang menguasai wilayah LCS silih berganti. Pendudukan Inggris, Prancis, dan Jepang atas sejumlah kawasan itu sebelum Perang Dunia II juga membuat konflik ini menjadi semakin pelik. Terlebih pada 1947 China mengeluarkan peta teritorial dengan sembilan garis putus-putus sebagai batas pemisah imajiner untuk mengklaim kepemilikan 90 persen wilayah LCS. Ini kemudian dikenal dengan istilah Nine Dashed Line. Klaim China itu didasarkan pada latar belakang sejarah China kuno tentang wilayah kekuasaan kerajaannya dan kawasan tradisional nelayan China mengambil ikan (traditional fishing ground).
Pada dekade 1990-an dan 2000-an---dan bahkan hingga hari ini, konflik semakin memanas dengan adanya klaim yang tumpang tindih, pembangunan instalasi militer, dan insiden-insiden di laut seperti pencurian ikan (illegal fishing). Hal ini memicu ketegangan di kawasan dan meningkatkan risiko konflik terbuka. China, misalnya, secara agresif mendirikan pulau-pulau buatan, membangun fasilitas militer, menempatkan kapal-kapal perang, dan mengerahkan banyak penjaga pantai di sana untuk menjaga wilayah yang menjadi klaimnya itu.
Persoalannya, garis putus-putus yang dibuat China itu melintasi beberapa wilayah negara-negara yang bersangkutan tersebut. Dalam konteks Indonesia, garis itu masuk ke wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di utara Kepulauan Natuna. Hal itu bertentangan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982), di mana Indonesia punya hak hukum atas wilayah Natuna Utara.
Menjaga Kedaulatan Indonesia
Sengketa di Laut China Selatan sangat berkaitan dengan kepentingan politik, ekonomi dan pertahanan negara-negara pengklaim. Dari aspek politik, negara yang menguasai sebagian dan atau seluruh wilayah LCS akan punya daya tawar politik yang tinggi. Hal ini tentu akan berdampak secara ekonomi karena kawasan itu menyimpan kandungan minyak , gas, dan sumber daya alam lainnya yang melimpah. Negara yang menguasainya akan bisa memanfaatkannya untuk mendulang keuntungan ekonomi. Sementara secara pertahanan, Laut China Selatan adalah penghubung antara Selat Malaka dengan kawasan Asia Timur. Jadi, siapa saja yang menguasainya maka ia akan mendapatkan keuntungan strategis secara pertahanan.
Konflik di LCS harus ditangani dengan baik agar stabilitas keamanan Indonesia dan kawasan bisa tetap terjaga. Berbagai cara sudah diupayakan untuk mencegah konflik di LCS. Di antaranya Deklarasi Perilaku (Declaration of Conduct of Parties on the South China Sea)Â yang tidak mengikat pada 2002. Indonesia menjadi salah satu negara yang mendorong pihak-pihak yang berkonflik untuk menyepakatinya. Semua pihak sepakat untuk tidak menggunakan kekerasan atau ancaman dalam menyatakan klaim. Namun deklarasi itu gagal menjadi 'Kode Etik' yang mengikat. Pada 2013 Filipina membawa China ke Pengadilan Arbitrase Internasional di Den Haag, Belanda. Pengadilan menyatakan bahwa garis putus-putus China tidak punya dasar hukum. Akan tetapi, China menolak putusan itu dan mengabaikannya. Dan lain sebagainya.
Jika melihat fakta dan data di atas, setidaknya ada tiga implikasi konflik LCS terhadap kedaulatan Indonesia. Pertama, ancaman keamanan maritim. Konflik di Laut China Selatan dapat berdampak langsung terhadap keamanan dan kedaulatan Indonesia di wilayah perairan Natuna. Aktivitas militer yang meningkat serta insiden di laut dapat mengancam keselamatan dan kebebasan berlayar di wilayah yurisdiksi Indonesia. Kedua, potensi eskalasi krisis regional. Apabila konflik di LCS semakin memanas, hal ini dapat memicu eskalasi yang meluas dan menimbulkan krisis keamanan regional. Indonesia, sebagai negara terbesar di kawasan, dapat terseret dalam ketegangan yang tidak diinginkan. Ketiga, ancaman sumber daya alam. LCS kaya akan sumber daya alam, terutama minyak dan gas. Klaim yang tumpang tindih dapat menghambat akses Indonesia untuk memanfaatkan kekayaan alam di wilayah Natuna, yang secara ekonomi sangat penting bagi negara.