Mohon tunggu...
Ahmad Khoiron
Ahmad Khoiron Mohon Tunggu... Guru -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pesan dari Masa Lalu

30 Oktober 2017   13:52 Diperbarui: 30 Oktober 2017   13:59 778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cita yang masih dalam gendongan bundanya tak tertarik melihat pak Salim. Pak Salim pun, mengerti akan tingkah Cita, beliau pun menerka akan keadaan cita, meski belum keadaannya yang sebenarnya.

"Arek Iki tak delok, ngaleme ora ndayani, senengane turu ae, lek turu kadang-kadang Moro kaget, ketok teko mripate..."

"Nyoba..  tak delok e jitok e..." Pak Salim kemudian menyentuh jitok cita yang masih dalam bopongan bundanya.

"Arek Iki lagi dipingini mbok buyute, mbok buyute lagi pingin nggendong, kangene puol-puolan, padahal arek Iki emoh, dadine saking kepingine mbok buyute, ndadekno howo alam sing digowo mbok buyute Iki kegowo Nang alam arek Iki, dadine arek Iki kepingine turun ae..." Pak Salim menjelaskan keadaan cita.

"Trus yok nopo? Biar cita Niki waras?" Ungkapku menimpali.

"Yo wes tak suwuk e, jenenge arek Iki sopo?"

"Cita...!"

"Trus, ibunya ini sopo jenenge?"

"Firda.." jawab bundanya cita.

Kemudian pak Salim pun, merapalkan doa Jawa yang tak kumengerti. Dengan memegang segelas air yang dimasuki kemenyan didalamnya.

Setelah selesai merapalkan doa Jawa, yang bagi saya terdengar lucu itu, akhirnya setelah selesai beliau memberikan ramuan obat buat cita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun