"Bah... Kulo masih tidak ingin menikah, saya masih ingin mondok dulu agar ilmu saya lebih matang"
"Kalau memang begitu keinginan mu, maka engkau saat mondok nanti harus sungguh-sungguh!"
"Inggeh Bah..."
1990
Setelah menyelesaikan kuliah, Suminah kemudian terpikat dengan pemuda tampan yang sabar, pemuda yang selalu mengerti akan dirinya. Pemuda yang nantinya akan memberikan Suminah 2 Putri dan 2 Laki-laki ini, adalah pemuda yang halus hatinya, dan pemuda ini saat di kampus adalah kakak tingkatnya. Pemuda tersebut bernama Amin, yang setelah menikah dengan Suminah, akhirnya mengajar di madrasah dekat rumahnya.
1992
Setelah 2 tahun berjalan, kebahagiaan mahligai rumah tangga mereka semakin bertambah, dengan hadirnya putri cantik yang kemudian diberi nama Alya. Sebuah nama yang kelak saat dewasa nanti, putrinya menjadi wanita yang memiliki "keluhuran Budi", yang patuh dan taat kepada kedua orang tuanya. Itulah harapan pak Amin dan Bu Suminah terhadap putrinya dimasa yang akan datang kelak.
2005
Alya sudah dewasa, pak Amin dan Bu Suminah pun dengan harapan yang tinggi agar Alya bisa lebih memahami nilai-nilai keagamaan, Alya dipondokkan pada sebuah pesantren didekat madrasah Aliyah, tempat Alya menuntut ilmu. Alya yang sangat kritis itu pernah suatu ketika saat di pesantren mendapat sindiran dari ustadznya, yang saat itu ustadz tersebut menyindir Alya dengan kata-kata yang diungkapkan secara langsung didepan teman-teman pesantrennya.
"Iki lho Alya, bapaknya itu teman dari kepala sekolah yang korup itu..." Ucap ustadz tersebut.
Alya mendengar ucapan tersebut, seketika menangis. Sejak saat itulah Alya mulai berpikir bahwa ternyata pesantren mengajarkan sikap untuk menyalahkan orang lain. Dan mulai saat itu, Alya seketika itu juga langsung minta boyong dari pesantren, dan mencari kos-kosan. Rasa yang menyakitkan saat di pesantren itu, dia tancapkan dalam hatinya, bahkan luka itu membekas dan tak kan pernah hilang.