Mohon tunggu...
Ahmad Jumadil
Ahmad Jumadil Mohon Tunggu... Administrasi - Fungsional Penata Kelola Pemilihan Umum dan Pemerhati Pemilu

Saya anak tertua dari dua bersaudara. Menjadi pelajar di Universitas Islam Bandung selama 4 tahun setengah sebelum memutuskan untuk pulang kampung dan bekerja di Jambi.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Di Balik Turunnya Jumlah Anggota DPD RI Pada Pemilu 2024

30 April 2023   16:40 Diperbarui: 3 Mei 2023   07:49 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kotak Suara Pemilu(KOMPAS.com/AJI YK PUTRA) 

Jadwal pengajuan bakal calon pendaftaran bakal calon anggota Dewan Perwakilan Daerah telah resmi diluncurkan melalui Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2023. Dimulai pada tanggal 1 Mei sampai dengan 14 Mei 2023 mendatang bakal calon anggota DPD sudah bisa mengajukan pendaftaran ke KPU Provinsi masing-masing.

Ada yang berbeda dari pendaftaran bakal calon anggota DPD pada Pemilu 2024. Jumlah bakal calon anggota DPD dipastikan akan turun secara signifikan. Tahun ini hanya akan ada 620 bakal calon anggota DPD se-Indonesia.

Jumlah tersebut adalah yang terendah sejak pemilihan anggota DPD pertama kali di gelar. Bahkan jumlah tersebut bisa saja berkurang jika nantinya ada bakal calon yang tidak lolos verifikasi administrasi.

Dibandingkan dengan pemilu pada 2019 lalu yang memiliki 807 kandidat. Bakal calon anggota DPD Pemilu 2024 akan berkurang sekitar 187 kandidat.

Jika ditarik lebih jauh, pengurangan jumlah bakal calon anggota DPD seakan terjun bebas. Tercatat terdapat 920 calon anggota DPD pada Pemilu 2004. Lalu jumlah calon anggota DPD mencapai puncak tertingginya pada Pemilu 2009 yaitu sebanyak 1.116 kandidat. Sedangkan pada Pemilu 2014 ada 945 kandidat.

Penurunan jumlah calon anggota DPD dinilai sangat ironis ditengah bertambahnya jumlah daerah pemilihan di Daerah Otonomi Baru (DOB) di tanah Papua.

Turunnya Animo Menjadi Calon Anggota DPD

Turunnya minat kursi DPD diduga karena keterbatasan wewenang DPD di parlemen. Sehingga kontribusi DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sangat minim.

Profesor Jimly Ashiddiqie, anggota DPD periode 2019-2024 yang kini tidak mencalonkan diri lagi pada Pemilu 2024, menilai lembaga DPD harus dievaluasi karena ada tidaknya lembaga ini untuk negara tetap saja sama (kompas.id).

Tugas dan wewenang DPD diatur dalam Pasal 22d UUD 1945. Tugas dan wewenang tersebut terbatas pada kebijakan-kebijakan yang terkait dengan kedaerahan yang meliputi otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah hingga pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi di daerah.

Padahal kebijakan-kebijakan yang terkait dengan kedaerahan tersebut jarang sekali masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas). Usulan rancangan undang-undang (RUU) yang digagas DPD juga acapkali terabaikan oleh lembaga legislatif.

Dalam lima tahun terakhir (2017-2022) DPD telah mengusulkan lima RUU. Namun tidak ada satupun yang berhasil menjadi undang-undang.

Kelima RUU tersebut adalah RUU tentang Daerah Kepulauan, RUU tentang Bahasa Daerah, RUU tentang Badan Usaha Milik Desa, RUU tentang Ekonomi Kreatif, dan RUU tentang Wawasan Nusantara.

Selain itu, penurunan jumlah peserta pemilihan anggota DPD karena beratnya kontestasi yang dihadapi DPD dibandingkan dengan DPR.

Sebelum dapat mendaftarkan diri, calon anggota DPD harus mengumpulkan syarat dukungan minimal. Dalam Pasal 183 Undang-Undang Pemilu dukungan minimal calon anggota DPD disesuaikan dengan jumlah penduduk.

Contohnya di Provinsi Jambi yang memiliki penduduk diatas 3 juta, bakal calon DPD harus mengumpulkan minimal 2.000 dukungan sedangkan di Provinsi Jawa Tengah harus mengumpulkan 5.000 dukungan karena memiliki jumlah penduduk lebih dari 15 juta.

Selanjutnya, wilayah daerah pemilihan anggota DPD bisa lebih besar daripada anggota DPR. Daerah Pemilihan DPD mencakup satu provinsi sedangkan untuk DPR yang daerah pemilihannya untuk satu provinsi bisa lebih dari satu daerah pemilihan.

Luasnya daerah pemilihan ini otomatis berimplikasi pada modal yang dibutuhkan. Terlebih lagi bagi provinsi yang memiliki wilayah dan jumlah penduduk yang sangat besar tentunya butuh modal dan tenaga ekstra.

Akibatnya ongkos politik yang harus dikeluarkan oleh DPD tidak sebanding dengan kewenangan yang dimilikinya.

Memaksimalkan Peran DPD

Pada awalnya pembentukan DPD dimaksudkan untuk menjadi penyeimbang dalam mekanisme Check and Balances terutama untuk kebijakan di pusat dan di daerah.

Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah semula dimaksudkan dalam rangka mereformasi struktur parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bicameral) yang terdiri atas DPR dan DPD.

Dengan struktur bikameral itu diharapkan proses legislasi dapat diselenggarakan berdasarkan double-check yang memungkinkan representasi kepentingan seluruh rakyat secara relatif dapat disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas.

DPR merupakan cermin representasi politik (political representation), sedangkan DPD mencerminkan prinsip representasi teritorial atau regional (regional representation).

Namun dalam prakteknya kewenangan DPD tidak merepresentasikan kepentingan daerah secara maksimal.

Karena dalam legislasi DPD hanya sebatas ikut dalam pembahasan berupa penyampaian pandangan atau pendapat dan mengajukan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) secara tertulis. Akan tetapi DPD tidak ikut dalam pengambilan keputusan. Untuk menjalankan program legislasi harus bergantung pada DPR.

Dalam undang-undang yang mengatur tentang MPR, DPR, dan DPD (UU MD3) memberikan wewenang DPD hanya sebatas mengusulkan rancangan undang-undang, dapat memberikan pertimbangan atau membahas suatu rancangan undang-undang, dan mengawasi pelaksanaan undang-undang. Namun sekali lagi semua itu pelaksanaannya tergantung pada DPR.

Untuk memaksimalkan peran DPD, ia harus diberi ruang lebih untuk ikut ambil bagian dalam kebijakan yang diputuskan oleh DPR. Artinya dalam setiap keputusan yang dihasilkan DPR harus ada suara DPD di dalamnya yang secara signifikan dapat menentukan. Tidak terbatas pada rekomendasi-rekomendasi saja.

Bagaimana mekanismenya? Tentunya harus dipikirkan bersama-sama. Akan tetapi Profesor Jimly Asshidiqi pernah mengusulkan agar DPD diubah menjadi fraksi utusan daerah di DPR.

Dengan demikian, wakil dari daerah dapat ikut memutuskan kebijakan DPR dan tidak melulu ditentukan oleh partai politik yang sejatinya adalah kehendak dari ketua partai politik.

Sepertinya usul ini patut untuk di pertimbangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun