Padahal kebijakan-kebijakan yang terkait dengan kedaerahan tersebut jarang sekali masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas). Usulan rancangan undang-undang (RUU) yang digagas DPD juga acapkali terabaikan oleh lembaga legislatif.
Dalam lima tahun terakhir (2017-2022) DPD telah mengusulkan lima RUU. Namun tidak ada satupun yang berhasil menjadi undang-undang.
Kelima RUU tersebut adalah RUU tentang Daerah Kepulauan, RUU tentang Bahasa Daerah, RUU tentang Badan Usaha Milik Desa, RUU tentang Ekonomi Kreatif, dan RUU tentang Wawasan Nusantara.
Selain itu, penurunan jumlah peserta pemilihan anggota DPD karena beratnya kontestasi yang dihadapi DPD dibandingkan dengan DPR.
Sebelum dapat mendaftarkan diri, calon anggota DPD harus mengumpulkan syarat dukungan minimal. Dalam Pasal 183 Undang-Undang Pemilu dukungan minimal calon anggota DPD disesuaikan dengan jumlah penduduk.
Contohnya di Provinsi Jambi yang memiliki penduduk diatas 3 juta, bakal calon DPD harus mengumpulkan minimal 2.000 dukungan sedangkan di Provinsi Jawa Tengah harus mengumpulkan 5.000 dukungan karena memiliki jumlah penduduk lebih dari 15 juta.
Selanjutnya, wilayah daerah pemilihan anggota DPD bisa lebih besar daripada anggota DPR. Daerah Pemilihan DPD mencakup satu provinsi sedangkan untuk DPR yang daerah pemilihannya untuk satu provinsi bisa lebih dari satu daerah pemilihan.
Luasnya daerah pemilihan ini otomatis berimplikasi pada modal yang dibutuhkan. Terlebih lagi bagi provinsi yang memiliki wilayah dan jumlah penduduk yang sangat besar tentunya butuh modal dan tenaga ekstra.
Akibatnya ongkos politik yang harus dikeluarkan oleh DPD tidak sebanding dengan kewenangan yang dimilikinya.
Memaksimalkan Peran DPD
Pada awalnya pembentukan DPD dimaksudkan untuk menjadi penyeimbang dalam mekanisme Check and Balances terutama untuk kebijakan di pusat dan di daerah.