Mohon tunggu...
Ahmad Jumadil
Ahmad Jumadil Mohon Tunggu... Administrasi - Fungsional Penata Kelola Pemilihan Umum dan Pemerhati Pemilu

Saya anak tertua dari dua bersaudara. Menjadi pelajar di Universitas Islam Bandung selama 4 tahun setengah sebelum memutuskan untuk pulang kampung dan bekerja di Jambi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

ASN dalam Pusaran Pilkada

20 November 2019   09:45 Diperbarui: 20 November 2019   09:50 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam waktu yang tidak lama lagi kita akan masuk kembali dalam tahun politik. Jika sebelumnya kita baru saja menyelesaikan lima jenis pemilu (pemilu DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten serta Presiden dan Wakil Presiden) tahun depan kita akan dihadapkan dengan pilkada serentak. Sebanyak 270 daerah akan melaksanakan pilkada. Dari 270 tersebut, 9 diantaranya merupakan provinsi, 224 kabupaten serta 37 kota.

Penyelenggaraan pilkada yang semakin dekat dimanfaatkan oleh para bakal calon kepala daerah untuk aktif menyosialisasi dirinya. Mulai dari spanduk, baliho, media massa sampai media sosial tak luput dari media sosialisasi bakal calon.

Yang tak kalah menjadi perhatian adalah gencarnya sosialisasi yang dilakukan Aparatur Sipil Negara (ASN) terhadap bakal calon dari petahana. Dimedia sosial kita akan melihat banyak sekali ASN yang secara masif condong mempromosikan bakal calon kepala daerah petahana yang notabene merupakan pimpinan mereka. Ada yang melakukannya secara terselubung ada pula yang secara terang-terangan.

Sosialisasi secara terang-terangan dilakukan dengan beberapa cara. Diantaranya adalah dengan membuat pernyataan dalam status facebook atau instagram dan media sosial lainnya. Ada lagi yang melakukannya dengan cara mengunggah foto diri yang sedang menunjukkan simbol-simbol yang identik dengan bakal calon tertentu dan lain-lain.

Hal ini sudah diamati oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Hasil kajian Bawaslu hampir 70 % ASN melakukan pelanggaran yang berlatar belakang keterpaksaan, 20 % karena niat pribadi serta 10 % karena peruntungan. Bahkan Bawaslu sudah mengirim imbauan kepada ASN melalui Kepala Daerah dan Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya (BKPSDM) di setiap instansi pemerintah daerah tentang kewajiban menjaga netralitas ASN dalam rangka pilkada serentak mendatang.

Mayoritas ASN yang ikut menyosialisasikan bakal calon petahana beralasan hal tersebut dilakukan diluar masa kampanye dan belum adanya calon kepala daerah (cakada) yang ditetapkan oleh KPU. Status bakal calon yang masih menggantung ini dijadikan dalih pembenaran oleh para ASN.

Fenomena ini terjadi akibat kurangnya pemahaman ASN tentang hubungan antara birokrasi dan politik. Kurangnya pemahaman tersebut disebabkan hubungan birokrasi dan politik yang disalahgunakan oleh politisi. Terlebih lagi politisi yang menjadi kepala daerah.

Kepala daerah, selain mejadi pejabat Negara ia juga adalah pejabat pembina kepegawaian. Hal itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Yang artinya kepala daerah berhak mengangkat, memindahkan dan memberhentikan dari jabatan sebagai pejabat eselon dilingkungannya.

Dengan wewenang tersebut, ASN yang memiliki jabatan atau bahkan tidak memiliki jabatan menjadi tersandera. Dengan dasar itu kepala daerah menekan pegawainya. Kalaupun tidak ditekan, pegawai ASN akan tertekan dengan sendirinya. Karena takut jika salah bersikap akan berimbas pada jabatan yang didudukinya. Atau bagi staf yang tidak memiliki jabatan akan takut dimutasi ke daerah pelosok.

Hal ini membuat ASN lebih memilih bersikap logis dan realistis. Dengan memilih untuk lebih mendekatkan diri kepada bakal calon petahana dengan cara menunjukkan gestur keberpihakan. Karena jika hal itu tidak dilakukan, kedudukan dan jabatan bisa menjadi taruhannya.

Sebenarnya sudah sejak lama ASN atau yang dulu disebut PNS menjadi komoditas dalam meraup suara. Pada masa orde baru ASN dijadikan alat untuk memenangkan partai tertentu atau golongan tertentu.

Pada tahun 1999 lahir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah. Habibie yang pada waktu menjadi presiden menginginkan daerah-daerah diberikan kewenangan seluas-luasnya untuk mengurus dan mengelola daerahnya masing-masing. Pola pemerintahan yang berubah ini membuat daerah memiliki kekuasaan sendiri.

Hal tersebut memicu hadirnya raja-raja di daerah. Pada masa ini, dominasi terhadap ASN yang dulunya berada ditangan presiden beralih ke raja-raja kecil yaitu Gubernur, Bupati dan Walikota. Peralihan kekuasaan dari terpusat menjadi tersebar di daerah-daerah ini membuat ASN menjadi bingung. Terlebih lagi ketika dihadapkan dengan pilkada.

Pada 23 September 2020 mendatang kita akan dihadapkan dengan Pemilihan Gubernur Jambi. Seperti yang kita ketahui saat ini ada beberapa bupati, walikota dan gubernur yang disinyalir akan mencalonkan diri menjadi gubernur. Dampaknya ASN yang menjadi lingkup bakal calon tersebut sudah mulai terjebak dalam pusaran pilkada. Secara naluriah mereka sudah mulai menyosialisasikan pimpinan mereka masing-masing lewat media sosial.

Melihat hal tersebut, kewibawaan ASN dimata masyarakat mulai hilang. Masyarakat mulai antipati dengan dan menganggap ASN hanya sekadar alat politik kepala daerah. Hilangnya kepercayaan masyarakat ini dapat berakibat buruk bagi demokrasi. Salah satunya ialah akan menaikkan angka golput. Atau jika tidak golput maka tingkat money politics dapat semakin meningkat. Karena masyarakat sudah tidak peduli lagi dengan siapa yang menang. Mereka akan mulai memikirkan perut mereka masing-masing.

Seyogyanya ASN adalah perangkat pemerintah yang wajib bersikap netral baik dalam pelaksanaan tugasnya maupun dalam sikapnya. ASN memiliki posisi penting untuk menyelenggarakan pemerintahan dan difungsikan sebagai alat pemersatu bangsa. ASN harus mampu menciptakan kondusifitas ditengah-tengah masyarakat dan menjadi teladan masyarakat.

ASN harus memahami posisi mereka yang berdiri diantara birokrasi dan politik. Ia harus mampu menjadi jembatan antara birokrat dan politisi tanpa harus terbawa arus permainan politik. Selain itu diperlukan pengkajian ulang terhadap sistem manajemen kepegawaian, sehingga dapat melindungi ASN dari tekanan-tekanan politik kepala daerah. Dengan tidak adanya tekanan politik diharapkan ASN dapat bekerja dengan baik yang berimbas pada membaiknya pelayanan kepada publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun